Tidak sedikit Al-Qur’an menceritakan sosok pemuda ideal. Tidak sekadar memuji, Al-Qur’an bahkan menjadikannya sebagai teladan zaman. Ada Ibrahim, potret pemuda yang gigih menegakkan tauhid di tengah para penggiat syirik. “Sungguh Ibrahim adalah imam yang layak dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia bukanlah pelaku syirik.” (Qs An-Nahl [16]: 120).
Putra beliau, Ismail, adalah tipe pemuda yang berhati jujur dan suci. Ketika Ibrahim mengabarkan wahyu Allah untuk menyembelih dirinya, jawaban Ismail adalah, “Wahai Ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah aku termasuk orang-orang yang sabar.” (Qs As-Shaffat [37]: 102).
Al-Qur’an juga mengabadikan kisah Yusuf. Pemuda tampan ini sungguh luar biasa. Ketika dirayu Zulaikha, wanita cantik yang juga istri pembesar Mesir, Yusuf sanggup menundukkan gelombang syahwatnya sebagai lelaki normal. Dia lebih memilih penjara ketimbang berbuat mesum. “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.” (Qs Yusuf [12]: 33).
Dan, yang juga terkenal adalah kisah Ashabul Kahfi. Cave of the Seven Sleepers, itulah nama situs bersejarah di Jordania yang jadi saksi atas tujuh pemuda bersama anjing mereka. Ngumpet demi mempertahankan akidah, mereka diselamatkan Allah dari kedzaliman penguasa setempat. Tujuh pejuang tauhid itu ditidurkan Allah selama 309 tahun. “Sungguh mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula petunjuk untuk mereka.” (Qs Al-Kahfi [18]: 13).
Cukuplah cuplikan kisah pemuda teladan itu. Yang penting kita cermati, masing-masing pemuda itu hebat ternyata bukan sekadar berotak cerdas atau berbadan kesatria. Mereka punya idealisme iman. Dan, kita tahu, iman adalah kemantapan hati yang diikrarkan dengan lisan, kemudian dinyatakan via tindakan. Itulah kunci keunggulan dan kehebatan diri.
Sekarang mari kita bercermin: sudahkah pemuda kita punya ke-imanan prima itu? Minimal berusaha mematut-matutkan diri agar dapat seperti mereka. Kita tengok masjid kita. Berapa banyak pemuda kita yang aktif jamaah di sana? Juga dalam majelis taklim?
Jika mau jujur, masjid-masjid kita selama ini lebih dipenuhi oleh kaum tua. Padahal, kesediaan memakmurkan masjid adalah indikator keimanan seseorang.
“Sungguh yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanya orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada apa pun) selain kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs At-Taubah [9]: 18).
Orang yang hatinya terpaut dengan masjid, berarti dia berhasil menjaga stamina iman. Buat apa bicara muluk-muluk tentang agama, kalau melaksanakan shalat jamaah di masjid secara rutin saja susah. Apa arti lulusan kampus terkenal kalau ke masjid saja enggan. Apa guna membaca buku segudang kalau mengaji Al-Qur’an saja jarang-jarang. Dalam Hadits sahih, Rasulullah saw menegaskan bahwa di antara tujuh golongan yang kelak mendapat payung dari Allah di hari Mahsyar ialah orang yang hatinya tertambat di masjid.
Jadi, tidak sepatutnya pemuda Muhammadiyah meremehkan ibadah di masjid ini. Kenapa sering muncul pemuda nakal? Kadang malah sudah bodoh, bermasalah lagi. Menurut salah seorang pakar pendidikan, penyebabnya ada tiga. Pertama, dia jauh dari masjid. Kedua, dia jauh dari Kitab Suci. Ketiga, dia jauh dari orang alim. Benar. Dalam kenyataan sehari-hari, pemuda atau bahkan siapa saja yang jauh dari ketiga hal itu kerap kerontang motivasi iman dan ilmunya. Sering bertindak di luar kontrol agama dan moral, karena memang kekurangan vitamin jiwa.
Terakhir, tapi tidak kalah penting, adalah selektif memilih teman. Tidak sedikit pemuda gagal juga disebabkan salah pilih teman. “Seseorang itu mengikuti agama temannya. Hendaklah setiap kamu memperhatikan siapa temannya,” tutur Rasulullah saw dalam Hadits sahih. Maka jangan lagi mengira bahwa memilih teman itu wujud sikap pongah. Sama sekali bukan. Memilih teman yang baik adalah ajaran Islam.
Kinilah saatnya masjid-masjid kita ramai oleh jamaah pemuda, bukan hanya kaum tua. Kita lakukan upaya-upaya di atas dengan ikhlas dan istiqamah. Menjadi baik, haruskah menunggu tua?•