Yogyakarta– Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memberikan ruang kepada siapa pun dalam bidang apapun secara adil. Baik di ranah domestik maupun di ranah publik, Islam mendorong laki-laki dan perempuan untuk memperoleh akses dan ruang yang sepatutnya dan sesuai kodratnya.
Prinsip keadilan gender sudah dimulai semenjak ajaran wahyu itu turun. Namun, masih banyak yang tidak memahami ide dasar substansif dari ajaran pembebasan dan pemihakan kepada kaum perempuan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
“Khatijah itu berperan sebagai CEO bisnis yang sukses,” ujar Dr Muhammad Azhar, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di hadapan ratusan peserta seminar bertema “Perempuan Muda Muslim, Gerakan Responsif untuk Mencerahkan Bangsa”. Acara yang diselenggarakan oleh IMM Sleman itu bertempat di aula perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada Rabu (24/02/2016).
Menurut Azhar, laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan kedudukan di hadapan Allah. Kedua jenis kelamin ini juga memiliki kesempatan yang sama untuk beribadah, untuk ikut berperan dalam berbagai aspek kehidupan, untuk berkonstribusi kepada umat, serta berhak mendapat penghargaan yang adil sesuai dengan amalnya. Namun tidak dipungkiri, keduanya memiliki ranah dan wilayah tersendiri dalam hal tertentu sesuai dengan kodrat kemanusiaan. Misalnya dalam hal hubungan antara suami dan istri.
Dalam paparannya, dosen Universitas Muhammadiyah Yogykarta itu menjelaskan beberapa interpretasi dari teks ayat-ayat al-Quran dan hadis yang secara sekilas terkesan misoginis. Semisal hadis “Lan yaflaha qaum wallauw amrahum imra’at. Arti tekstualnya, tidak akan beruntung suatu kaum (bangsa) manakala menyerahkan urusan (kepemimpinan) nya kepada seorang wanita.”
Asbabun nuzul hadis itu ditujukan kepada bangsa Persia. Ketika itu mereka mengangkat Putri Kirsa yang juga cucu sang raja, sebagai ratu penguasa mereka, setelah wafatnya Raja Persia. Kemampuan perempuan ini memang diragukan sejak awal, di tambah kondisi politik yang labil. Di tengah kondisi instabilitas peralihan politik tersebut, Nabi bersabda, “Lan yaflaha qaum wallauw amrahum imra’at”. Secara historis, peristiwa ini juga masih berkaitan dengan rangkaian peristiwa sejarah dua tahun sebelumnya, ketika Nabi mengirim utusan membawa surat ajakan masuk Islam kepada penguasa Persia, dengan congkaknya mereka malah mengabaikan dan merobek-robek surat tersebut.
Menurutnya, dalam hal kepepimpinan merupakan urusan ijtihad. Islam hanya memberikan arahan untuk memilih pemimpin yang memenuhi criteria adil, amanah, bertanggung jawab, berintegritas dan sesuai sifat-sifat terpuji lainnya. Dikatakannya, “Pemilihan Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali berbeda-beda.” Jadi, urusan teknis pemilihan pemimpin adalah berada di ranah ijtihad, yang sewaktu-waktu bisa berubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. (Ribas)