Yogyakarta– Negara secara institusi masih menindas hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang. Kaum perempuan kerap menerima kenyataan marjinalisasi secara politik, ekonomi, kesehatan, dan sosial budaya. Untuk mengatasi persoalan ini, maka harus ada akselerasi budaya hukum dan gerakan penyadaran di Indonesia. Demikian dikemukakan oleh ketua umum Nasyiatul Aisyiyah Norma Sari, M. Hum., pada Rabu (24/02/2016) di Teatrikal UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Dosen Universitas Ahmad Dahlan ini mencontohkan tentang hak cuti menyusui yang diabaikan oleh negara terhadap para PNS sebagai bentuk penindasan terhadap perempuan. Padahal mendidik anak merupakan salah satu upaya dalam mempersiapkan masa depan bangsa yang lebih cerah. Belum lagi dalam ruang politik yang meliputi akses dan ruang politik yang terbatas, serta kegagapan perempuan yang dibentuk oleh proses panjang budaya yang tidak mendorong dan memberi kesempatan bagi perempuan untuk tampil.
“Dalam bidang ekonomi, akses terhadap sumber-sumber ekonomi sangat terbatas, perempuan dianggap tidak produktif, dan ruang berkarya yang tidak ramah terhadap perempuan dan anak. Demikian halnya dalam ranah kesehatan, kuasa anggaran di domestik dan publik sangat rendah, kebijakan kesehatan tidak pro perempuan, dan tidak tersedianya akomodasi kebutuhan spesifik perempuan,” ujar aktivis yang terlibat dalam pemihakan kepada kaum perempuan semenjak mahasiswa.
Menyikapi permasalahan itu, Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah mengusung “Gerakan Ramah Perempuan dan Anak” sebagai visi perjuangan yang aktif dan massif. Menurutnya, perubahan budaya patriarkhi harus dilakukan dengan dua strategi; secara legal hukum dan melalui gerakan penyadaran.
Senada, aktivis Solidaritas Perempuan Kinasih Sana Ullaili, menyatakan bahwa perubahan harus dimulai secara bertahap. “Perubahan dimulai dari perubahan pengetahuan. Berlanjut pada perubahan nilai. Tidak berhenti di situ, setelah perubahan nilai maka harus ada perubahan tindakan yang reponsif. Tindakan yang diulang-ulang ini kemudian akan membentuk kebiasaan. Pada akhirnya kebiasaan berubah menjadi suatu budaya, yang adil terhadap perempuan.”
Norma Sari juga sempat menyinggung tentang kasus pembegalan yang menewaskan salah satu aktivis NA Sulawesi Selatan Musyarrafah, belum lama ini. Dirinya menganggap bahwa ini merupakan persoalan serius yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Norma dan jajaran Pimpinan Pusat Nasyiatul Asyiyah sudah melayangkan surat audiensi kepada Presiden Jokowi untuk menindaklanjuti kasus ini.
Selain, Ketua PP NA Norma Sari, M.Hum., turut hadir sebagai pembicara dalam seminar bertema “Perempuan Muda Muslim, Gerakan Responsif untuk Mencerahkan Bangsa” itu adalah Dr. Muhammad Azhar dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, dan Sana Ullaili mewakili aktivis LSM Solidaritas Perempuan Kinasih. (Ribas)