Meninjau dari penyebab terjadinya penyimpangan seksual, terdapat beberapa faktor pendukung yang mampu mendorong seseorang ataupun anak mengidap penyimpangan tersebut. Rita Pranawati, SS MA, Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengatakan bahwa dari beberapa kasus yang ditemukannya, penyebab anak di kemudian hari mengalami penyimpangan seksual itu sangat beragam. Sebagai contoh, berdasarkan kasus yang ditemukannya, penyimpangan itu disebabkan karena riwayat anak menjadi korban kekerasan seksual.
“Akibatnya anak korban kekerasan seksual ini mengidentifikasi dirinya sebagai double gender. Kadang berperan perempuan kadang juga berperan laki-laki tergantung kondisi dan situasi,” Rita memaparkan.
Hal ini tidak bisa diidentifikasi dengan perilaku yang muncul ketika si anak bermain dan bergaul dengan teman dan keluarganya, karena kebanyakan prilaku yang ditunjukkan pada saat iitu akan mengikuti jenis kelamin bawaannya. Akan tetapi berbeda jika hasrat seksualnya muncul, prilakunya akan berubah menjadi sebaliknya.
“Biasanya anak atau orang dewasa korban kekerasan seksual, lebih berpotensi berperilaku seksual menyimpang. Ini disebabkan oleh perasaan dendam bukan karena hasrat seksualnya. Sebagian ada karena keinginan hasrat seksualnya, namun lebih sedikit dibanding motif dendam,” lanjut Rita.
Selain faktor kekerasan seksual, Rita pun menyebutkan bahwa faktor kemungkinan kedua adalah kesalahan pengasuhan oleh orang tua. Seperti contoh yang mungkin beberapa dari kita familiar dengan kasus ini, bahwa seorang bapak atau ibu yang menginginkan anak perempuan namun yang terjadi sebaliknya. Karena adanya keinginan kuat tersebut, menyebabkan orang tua tadi memperlakukan anaknya laki-lakinya sebagaimana perempuan. Ia membelikan boneka untuk anaknya bahkan mengajarkan anaknya kencing sebagaimana anak perempuan.
“Akibat adanya pembiasaan itu, anak tersebut hingga usia remaja contohnya akan lebih nyaman masuk toilet perempuan dari pada toilet laki-laki,” ujarnya.
Dalam hal ini, Rita menekankan bahwa kesalahan ada di tindakan asuh orang tua atau orang tua itu sendiri. Bukan karena anak yang memiliki pilihan untuk berperilaku seksual menyimpang, namun karena adanya stimulus yang menjadikan anak cenderung memiliki perilaku seksual menyimpang.
Selain akibat kekerasan seksual dan faktor asuhan keluarga, Rita pun menambahkan bahwa lingkungan dan gaya hidup mampu menjadi pemicunya.
“Jangan dikira penyimpangan itu didapatkan di lingkungan dan pergaulan yang tidak baik dan cenderung bebas. Terkadang di lingkungan yang kita anggap baik pun pengaruhnya bisa masuk. Seperti lingkungan sekolah dan pondok pesantren,” tambahnya.
Bahkan, Rita sendiri mengakui bahwa ada di antara anak sekolah sekolah usia remaja SMP dan SMA bahkan mahasiswa, yang melakukan perilaku seksual menyimpang itu lantaran takut menghamili anak orang ataupun takut hamil.
“Hal tersebut mereka lakukan akibat terlalu sering mereka mengakses sesuatu yang berbau porno. Mereka ingin melampiaskan hasrat seksualnya, tapi mereka juga tidak ingin kena resiko hamil maupun menghamili anak orang. Maka perilaku seksual sesama jenislah yang mereka lakukan,” papar Rita kembali.
Untuk itu, betapa pentingnya perlindungan yang dilakukan orang tua kepada anak dalam menangkal pengaruh-pengaruh seperti ini. Orang tua kerap kali melakukan pola komunikasi yang kurang pas terutama terhadap fase perkembangan anak. Baik anak saat dalam kandungan, bayi, balita, anak-anak, remaja, hingga dewasa. Tidak sedikit orang tua yang menerapkan pola komunikasi terhadap anak yang cenderung kaku dan mengekang. Akibatnya anak merasa canggung ketika ingin mengatakan sesuatau terhadap orang tuanya.
“Untuk itu, pola komunikasi orang tua dan anak adalah kunci utama dalam menjalankan proses membesarkan, mendidik, dan mengasuh anak,” tandas Rita. (gsh-ed Thari)