Fenomena orang dengan HIV/AIDS (ODHA) serta Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) rupanya sudah ditangkap jauh hari oleh dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Rinekso Kartono MSi. Melalui disertasinya berjudul “Fenomena Perilaku Sakit ODHA di Malang Raya”, Rinekso mengungkap bahwa epidemi HIV/AIDS di Malang Raya terus mengalami peningkatan yang signifikan, dan hal tersebut memiliki keterkaitan dengan eksistensi kalangan LGBT.
Hal itu, kata Rinekso, merupakan turunan dari fakta bahwa Indonesia, menurut Joint United Nations Programme on HIV and AIDS atau UNAIDS, merupakan salah satu negara dengan epidemi paling cepat di Asia pada 2010. Sementara di Malang Raya, berdasarkan data yang dikumpulkan Rinekso, sepanjang 2008 terdapat 830 ODHA, 2009 meningkat menjadi 900 orang, dan di 2010 naik mencapai 1636.
“Tren kenaikan ini terus terjadi, sampai 2013 terdapat sekitar 2650 orang. Ini menempatkan Malang sebagai daerah nomor dua jumlah ODHA terbanyak di Jawa Timur,” ungkapnya pada kegiatan Bedah Disertasi yang diadakan oleh Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM, Kamis (25/2) di Ruang Sidang Senat UMM.
Fenomena ini, lanjutnya, baru merupakan puncak gunung es saja. Selama ini, sebagian besar ODHA ternyata berusaha menyembunyikan identitas barunya agar tidak diketahui orang lain. Rinekso menyebut perilaku ini dengan istilah close status atau non-self disclosure. “Sikap inilah yang akhirnya menjadikan kelompok atau komunitas mereka sebagai hidden population. Mereka berusaha menyembunyikan penyakitnya dari keluarga, saudara, pasangan hidupnya, dan teman-temannya,” kata Rinekso.
Penyakit HIV/AIDS, ucap Rinekso, awalnya berkembang di kelompok-kelompok LGBT, pengguna jarum suntik, dan pekerja seks komersial. Kini bahkan sudah menjangkiti ibu-ibu rumah tangga dan bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV/AIDS. “Yang paling berbahaya saat ini adalah penularan melalui transfusi darah yang tidak steril. Semua orang saat ini bahkan berpotensi tertular karena semakin besar jumlah penderita, semakin besar pula resiko orang tertular, terutama melalui transfusi darah,” ujarnya.
Ditanya tentang pencegahannya, ia menjelaskan tidak bisa sepenuhnya menghapus sumber-sumber penyakit ini, misalnya menghilangkan lokalisasi. “Yang kita bisa saat ini ya hanya membatasi gerak mereka dan memberikan aturan dalam perbatasan tersebut. Mau menghilangkan seluruhnya ya hampir mustahil karena itu adalah problem sosial yang selalu ada setiap saat,” katanya.
Masyarakat juga tidak perlu melakukan upaya diskriminasi terhadap para penderita ODHA. Perlunya pendampingan dan dukungan sosial terutama dari keluarga menjadi saran penting agar memperlakukan ODHA secara manusiawi. “Perlu diambil langkah-langkah untuk mencegah perkembangan HIV/AIDS di Indonesia, dengan cara mengedukasi ODHA untuk terbuka pada pasangan seksualnya, konsisten menggunakan kondom dalam hubungan seks, menjauhi narkoba terutama dalam menggunakan jarum suntik secara bergantian, dan mengontrol tempat-tempat yang berpotensi sebagai sumber-sumber penyakit ini,” tutur Rinekso. (Humas UMM)