Siasat Menghadapi Perusakan Budaya di Tingkat Makro dan Mikro
Oleh: Mustofa W Hasyim
Pemaksaan ke Arah Monokultur
Perubahan budaya sekarang, pada tingkat makro (global) ditandai dengan gejala pemaksaan perubahan ke arah monolkultur. Kalau di dalam wacana budaya global ada kampanye tentang perlunya multikultur bahkan multikultur telah dijadikan isme (multikulturalisme), itu semuanya adalah omong kosong belaka. Sebab dalam praktik, dalam wilayah aksi yang terjadi adalah penggiringan wajah budaya global menuju budaya global yang tunggal. Yaitu dunia yang berwajah Barat, berwajah Amerika, berwajah sekuler, berwajah hedonis dan serba materialis. Sebuah dunia yang oleh salah seorang penulis disebut sebagai McWorld.
Upaya monokulturisasi wajah budaya global ini menjadi relatif efektif karena telah menjadi agenda global kelompok atau kekuatan ekonomi neoliberal. Kekuatan ekonomi neoliberal yang mencita-citakan adanya otonomi ekonomi yang bertumpu pada otonomi uang (modal) dan pasar. Bagi mereka ekonomi adalah tuan besar dengan modal dan pasar sebagai panglima penakluk kehidupan manusia. Hal lain, selain ekonomi hanyalah instrumen belaka bagi berprosesnya kekuasaan dan penguasaan ekonomi neoliberal ini. Maka dalam perubahan (perusakan) budaya makro/global ini politik, teknologi, hukum, seni, olahraga, pendidikan, bahkan juga agama hanya dijadikan instrumen belaka.
Dengan panglima penakluk kehidupan bernama modal dan pasar kita sekarang menyaksikan bagaimana negara nyaris tidak berfungsi, batas-batas negara juga tidak berfungsi. Yang namanya UU saja draftnya dibuat oleh konsultan dari pemilik paham neoliberal itu. Politik dijadikan instrumen untuk mengabdi mereka. Kita saksikan bagaimana teknologi, teknologi militer dan teknologi komunikasi misalnya dipergunakan untuk memaksakan kehendak atau untuk merayu warga dunia agar mau mengikuti kemauan mereka. Hukum internasional yang menyangkut perdagangan dan moneter misalnya, juga menjadi isntrumen.
Lalu, kita saksikan juga bagaimana seni, olahraga dan pendidikan kemudian hanya menjadi komoditas belaka. Dijadikan hiburan dan menghasilkan para pemuja keindahan dan pemuja pertunjukan olahraga. Pendidikan dilucuti fungsi sosial dan fungsi kulturalnya dan hanya disisakan fungsi finansialnya. Agama, dan paham agama yang cenferung ekstrim menjadi makanan empuk karena dapat dijadikan umpan masuk bagi penguasaan sebuah negara oleh kekuatan neoliberal ini. Misalnya mereka dipompa semangatnya sehingga kehilangan kewaspadaan dan mau meempuh jalan kekerasan.
Agama sebagai kekuatan moral sering dipecundangi oleh ekspresi kecabulan misalnya, karena ekspresi kecabulan merupakan komoditas laris yang didukung oleh modal besar yang mempergunakan infratstuktur politik dan ekonomi. Maka kalau RUU Antipornografi dan Pornoaksi mentah terus itu karena yang dihadapi adalah kekuatan neoliberal global.
Lantas apakah nafsu untuk menjadikan agar dunia hanya berwajah tunggal, wajah monokultur yang hedonis, sekular, dan materialis ini akan berhasil? Belum berhasil dan mungkin tidak berhasil. Sebab selama masih ada umat Islam sebagai kekuatan alternatif selama itu upaya pemaksaan kehendak itu akan berhadapan dengan kekuatan korektif , kekuatan penyelimbang. Dan umat Islam memiliki potensi yntuk menjadi kekuatan alternatif itu. Mengapa? Karena dalam Islam ada ajaran untuk mengendalikan diri. Juga ada ajaran untuk senantiasa berbuat yang seimbang, berbuat baik dan adil. Islam pun mengajarkan adanya keberagaman hidup yang menjadi dasar-dasar bagi praktik multikulur yang sejati. Yaiut multikultur pada tataran sosiologis dan antropoligis. Nilai-nilai dasar seperti ini kalau diefektifkan sesungguhnya dapat melumpuhkan kekuatan neoliberal. Untuk ini diperlukan siasat yang canggih dan berjangka panjang.
Pemaksaan ke Arah Ketergantungan Individu
Perubahan (perusakan) budaya sekarang, pada tingkat mikro ditandai oleh gejala pemaksaan ke arah ketergantungan individu. Setiap individu dikonstruksi dan diformat oleh, lagi-lagi kekuatan ekonomi neoliberal, hanya sebagai konsumen. Setiap individu dikonstruksi sebagai pasar dari aneka macam produk industri. Kita lihat bagaimana seluruh tubuh kita telah dijadikan hamba konsumsi produk-produk itu.
Proses perubahan budaya sekarang ini dapat dilihat hanya sebagai proses produksi dan reproduksi ketergantungan itu. Kita menjadi tergantung pada materi, uang, dan juga pasar. Hiburan, dan cita-cita pun dapat dibuat tergantung pada iklan, misalnya. Lantas apa yang tersisa?
Dalam konteks ini, ajaran Islam dapat menjadi kekuatan alternatif untuk membalik keadaan, dari keadaan ketergantungan individu menjadi kemandirian individu.. Ajaran Islam dapat menjadi amunisi untuk menciptakan arus balik. Kenapa? Karena dalam Islam diajarkan konsep kemandirian (qiyamuhu binafsihi). Di dalam Islam juga dikenal adalah konsep ikhtiar (memilih kemugkinan terbaik), dan amal (memecahkan masalah).
Siasat Budaya yang Paling Mungkin
Di tengah upaya pemaksaan global ke arah dunia yang berwajah monokultur dan pemaksaan budaya ke arah ketergantungan individu, lantas siasat macam mana yang paling mungkin dipilih untuk menghadapi dan melawannya? Ada banyak langkah yang perlu dilakukan. Pertama, langkah penyadaran akan masalah. Kedua, langkah pemetaan masalah. Ketiga, langkah penyadaran akan potensi kita. Keempat, langkah pemetaan potensi. Kelima, langkah mengatasi masalah berdasar peta masalah dan peta potensi.
Untuk ini perlu disadari bahwa apa yang disebut peta masalah dan peta potensi itu tidak tetap (statis) tetapi selalu mengaami perubahan (dinamis). Untuk ini diperlukaan kepekaan dan ketrampilan untuk menangkap dinamika masalah dan dinamika potensi itu sendiri. Dalam hal ini tentu saja peta masalah pemaksaan monkultur dan ketergantuan individu yang harus dihadapkan pada alternatif kekuatan untuk membalik keadaan berdasar peta potensi yang juga selalu berubah dinamis itu. Nilai-nilai dalam ajaran Islam sebagaimana tersebut diatas perlu kita elaborasi dan kita perkaya dengan aneka tafsir dan pemaknaan baru. Dengan demikian nilai-nilai dasar Islam iut dapat selalu kompatible ketika dihadapkan pada situasi dan kondisi terbaru budaya kita.
Dan yang lebih penting dari itu, ada siasat yang paling jitu untuk menghadapi perubahan (perusakan) budaya pada tingkat makro dan mikro. Yaitu dengan selalu melakukan refungsionalisasi ajaran Islam. Maksudnya, membuat ajaran agama Islam selalu befungsi dalam kehidupan ini.
Penulis adalah Anggota Dewan Redaksi Suara Muhammadiyah, anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta, anggota Lembaga Seni Budaya dan Olahraga LSBO PP Muhamamdiyah, Wakil Ketua Forum Musyawarah Seniman Budayawan Muslim Yogyakarta, Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin