Oleh: Prof Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA
Sebagai sebuah organisasi, Persyarikatan Muhammadiyah sangat peduli kepada anak sebagai penerus perjuangan. Karenanya, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah pada periode ini akan menyusun Fikih Anak.
Berbicara soal Fikih Anak ataupun Fikih Perlindungan Anak, ada baiknya kita melihat penjelasan Al-Qur’an mengenai tipologi anak. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa ada empat tipologi anak.
Pertama, dijelaskan pada surat Al-Kahfi ayat 46, al-maalu wa al banuuna ziinatun al-hayaati ad-dunyaa wa al-baaqiyaatu ash-shalihaatu khairun ‘inda rabbika tsawaaban wa khairun amalan. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
Jadi berdasarkan ayat di atas, anak merupakan perhiasan kehidupan dunia. Artinya adalah, walaupun seseorang sudah memiliki pasangan hidup, sudah menjadi suami istri dan hidup bahagia dengan pasangannya, tetapi terasa kurang lengkap kebahagiaan itu jika belum lahir anak dari hubungan mereka.
Seperti orang yang mengenakan pakaian, namun orang tersebut merasa kurang indah pakaian yang ia kenakan karena tidak melengkapinya dengan perhiasan. Dengan menambahkan perhiasan dalam pakaian, penampilan orang menjadi terasa lengkap.
Namun demikian, subtansi ayat ini tidak berhenti pada anak sebagai perhiasan orangtua, melainkan adalah bagaimana kemudian orangtua itu menjadikan anak-anaknya sebagai anak yang shalih. Karena menjadikan anak yang shalih itu lebih pokok dari pada sekadar perhiasan dunia. Bayangkan jika ada orang yang bermewah-mewah mengenakan perhiasan tapi lupa pakai baju atau celana? Tentu akan kelihatan aneh. Bagitu juga dengan anak, yang pokok orangtua menjadikan anaknya shalih dan bukan semata-mata menganggap anak sebagai pelengkap hidup.
Kedua, anak sebagai fitnah atau ujian, wa a’lamuu annamaa amwaalukum wa aulaadukum fitnatun. Ketahuilah bahwa harta bendamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian (al-Anfaal: 28).
Karena anak itu bagian dari ujian, maka orangtua harus lulus dalam ujian tersebut. Yaitu ujian membesarkan anak, mengasuh anak, dan mendidik anak.
Fenomena sekarang, banyak orangtua yang menyerahkan sepenuhnya anak kepada sekolah, setelah itu orangtua cenderung lepas tangan dan tidak mau tahu bagaimana perkembangan anaknya. Akibatnya, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan orangtua hanya bisa menyalahkan sekolah.
Bahkan jika kenakalan anaknya sampai berurusan dengan polisi, sering kali orangtua berkelit kalau prilaku anaknya ketika di rumah baik dan tidak nakal. Inilah yang terjadi. Orangtua hanya tahu apa yang dilakukan anaknya ketika di rumah tetapi banyak tidak tahu apa yang dilakukan anaknya ketika berada di luar rumah.
Ketiga, anak sebagai musuh, inna min azwaajikum wa aulaadikum ‘aduwwan lakum fa ahdzaruuhum. Sesungguhnya di antara pasangan hidupmu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka (At-Taghaabun: 14).
Musuh di sini bisa berarti nyata, karena tidak sedikit perkara anak dan orangtua yang masuk ke meja pengadilan sampai berkelahi. Tapi yang lebih berbahaya lagi adalah musuh secara maknawi, yaitu musuh dalam cita-cita dan musuh gaya hidup. Di satu sisi orangtuanya melakukan amar ma’ruf nahi munkar, di sisi lain anaknya melakukan amar munkar nahi ma’ruf. Itu musuh.
Keempat, anak sebagai permata hati, firman Allah dalam bentuk do’a, rabbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyaatinaa qurrata a’yun waja’alnaa li al-muttaqinaa imaaman. Permata hati, cahaya mata itu adalah anak yang shalih.
Anak yang shalih itu tidak dilahirkan, tapi dibentuk. Untuk membentuk anak yang shalih harus dimulai sejak dini yaitu mulai dari perkawinan. Bukan setelah anak itu ada, kemudian baru dibentuk menjadi anak shalih. Akan tetapi sebelum anak itu lahir pembentukan itu harus sudah dimulai yaitu dari perkawinan bahkan mulai dari memilih pasangan hidup. (gsh)
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 5 Tahun 2016