Hukum Wasiat (1)

Hukum Wasiat (1)

Al-Baqarah 180-182:

(180) Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya dengan cara yang baik, (ini adalah) hak atas orang-orang yang bertakwa. (181) Barangsiapa mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (182) Tetapi barangsiapa khawatir bahwa pemberi wasiat berlaku berat sebelah atau berbuat salah, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidak dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Setelah Allah SwT menjelaskan pada kelompok ayat 178 dan 179 tentang qishas dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia sebagai hukuman terhadap perbuatan tindak pidana pembunuhan, maka pada kelompok ayat 181, 182 dan 183 Allah SwT menjelaskan masalah hukum wasiat bagi orang Islam yang memiliki harta dan telah merasakan adanya tanda-tanda kematian (datangnya ajal) untuk menghadap Sang Pencipta. Salah satu dari tanda-tanda kematian yang dimaksud, yaitu dijatuhkannya sanksi hukum qishas, sehingga pada saat itulah semestinya diucapkan wasiat atas sebagian harta yang ditinggalkan kepada pihak-pihak yang disebutkan pada ayat di atas. Di samping itu, di antara tanda-tanda kematian (al-maut) adalah datangnya penyakit kronis pada seseorang, dan sebagainya. Doktrin ayat ini berlaku umum kepada siapa saja yang telah merasakan adanya tanda-tanda kematian agar senantiasa berwasiat terhadap sebahagian hartanya, sehingga di akhir hayatnya dapat ditutup dengan kebaikan.
Kata khairan () pada ayat 180 di atas berarti kebaikan, lawan dari kata syarr (keburukan). (Ahmad Al-Fayyumi, Mishbah al-Munir, hlm 81). Kata khair dapat juga berarti harta yang banyak, (Ibn Manzhur, Lisan Al-Arab, jilid 4, hlm. 265) seperti tercantum pada Qs. Al-‘Adiyat [100]: 8,


Sesungguhnya dia karena cintanya kepada harta sangat kikir.
Di samping itu, kata khair dapat juga menjadi kata sifat yang berarti lebih baik, seperti tercantum pada Qs. Al-Baqarah [2]: 184,


Berpuasa lebih baik bagimu
Al-Washiyyah () berasal dari kata al-isha’ yang berarti ’ahhada ilaih (memberikan janji/ pesan). Arti wasiat secara istilah adalah janji atau pesan seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan pekerjaan setelah ia meninggal. (Al-Jurjani, At-Ta’rifat: hlm 326). Sebagian ulama mengartikan wasiat sebagai perintah untuk melakukan sesuatu setelah terjadi kematian, dan perintah untuk melakukan donasi (tabarru’) atas harta benda setelah kematian. (Wahbah, Fiqih Islam, jilid 10, hlm. 154-155). Kata wasiat disebutkan dalam Al-Qur’an beberapa kali, seperti pada Qs. al-Baqarah [2]: 180 ini dan Qs. al-Baqarah [2]: 240 (); pada Qs. an-Nisa [4]: 12; (); dan pada Qs. al-Maidah [5]: 106: (). Penyebutan kata wasiat ayat 180 ini merupakan yang paling sempurna dibanding dengan ayat-ayat yang lain. (Al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, jilid 2, hlm. 257).
Secara umum kelompok ayat di atas menjelaskan bahwa orang-orang yang telah menyadari datangnya tanda-tanda kematian, baik karena usia yang sudah lanjut atau karena adanya penyakit kronis yang ia derita, dan memiliki harta (bila harta itu banyak) senantiasa berkewajiban untuk memberi wasiat kepada keluarga yang akan ditinggalkan, agar sebahagian dari hartanya dapat disisihkan untuk diberikan kepada bapak-ibu dan karib kerabatnya dengan cara yang baik (secara adil dan wajar).

Hukum Wasiat
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan ayat di atas dalam menetapkan hukum wasiat. Perbedaan itu timbul karena ayat di atas diturunkan sebelum turunnya ayat-ayat waris, (Lihat : Qs. an-Nisa [4]: ayat 7, 11, 12 dan 176) meskipun mereka sepakat bahwa secara redaksional ayat tersebut menggambarkan adanya hukum wajib dalam melaksanakan wasiat. Landasan kesepakatan ulama tersebut adalah ayat di atas dibuka dengan kata kutiba () yang berarti ditetapkan atau diwajibkan, sebagaimana ayat yang mewajibkan puasa:  (diwajibkan atasmu puasa), dan ayat mengenai sanksi qishas: (diwajibkan atas kamu qishas). Dalam kaitan ini ulama terbagi kepada beberapa pendapat, yaitu:
Pendapat pertama mengatakan bahwa ayat di atas dikategorikan sebagai ayat muhkamah yang secara zahir bersifat umum, namun memiliki arti khusus, yaitu wasiat menjadi wajib kepada kedua orangtua yang tidak mendapat kewarisan seperti orang tua yang berbeda agama. Pendapat ini dipelopori oleh Thawus, adh-Dhahhak dan al-Hasan. Ibn Munzir mengatakan bahwa ulama sepakat bahwa wasiat boleh diberikan kepada orang tua dan karib kerabat yang tidak mendapat kewarisan. (Lihat: asy-Syaukanī, Fath Al-Qadir, jilid 1, hlm. 178).
Pendapat kedua mengatakan bahwa ayat di atas di-nasakh (dibatalkan hukumnya) oleh ayat-ayat waris, sehingga hukum wasiat menjadi sunnah bukan wajib, pendapat ini diplopori oleh Imam Malik, Asy-Sya’biy dan An-Nukha’iy, seperti halnya menjadi pendapat Ibn Umar dan Ibn Abbas. (Abu Hayyan al-Andalus[2], Tafsīr al-Bahr al-Muhīth, jilid 2, hlm. 21). Dasar dari pendapat ini adalah firman Allah pada Qs. Al-Anfal [8]: 75,


Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa ayat di atas tidak dinasakh (dibatalkan hukumnya) oleh ayat-ayat apapun, sehingga kedudukan wasiat tetap menjadi wajib tetapi hanya ditafsir dengan ayat-ayat waris. Maknanya: diwajibkan atasmu apa yang diwasiatkan oleh Allah tentang pewarisan kedua orang tua dan karib kerabat, sebagaimana firman Allah Qs. an-Nisa` [4]: 11:


(Allah mensyariatkan tentang pembagian warisan untuk anak-anakmu). Pendapat ini dipelopori oleh Abu Muslim al-Ashfahani dan Ibn Hazm. (Ibn Hazm, al-Muhalla, jilid 9, hlm. 312, Ibn Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Azhīm, jilid 1, hlm. 212).
Mayoritas ulama tafsir menguatkan pendapat Ibn Abbas yang beranggapan bahwa ayat di atas bersifat umum, artinya pada awal keislaman ayat tersebut pernah dijadikan dasar dalam penetapan hukum, dan wasiat terhadap kedua orang tua dan karib kerabat pada saat itu hukumnya wajib, sampai turunya Qs. An-Nisa (4):7:


Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peningggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Ayat tersebut me-nasakh (membatalkan hukum) ayat wasiat (Qs. al-Baqarah [2]: 180). Dengan demikian, orangtua dan karib kerabat yang telah memperoleh hak waris, baik sebagai bagian dari ashhab al-furudl atau ashhab al-ashabah, seperti yang tercantum dalam Qs. an-Nisa [4] ayat (11, 12, dan 176) tidak boleh mendapat wasiat, sebagaimana ditegaskan dalam HR Ahmad, Ibn Majah, At-Turmuzi, dan Abu Daud dari Syurahbil bin Muslim:


Dari Syurahbil bin Muslim, ia berkata: Rasululah saw bersabda: Bahwasanya Allah telah memberikan hak bagi setiap orang berhak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris (HR Ahmad, Ibn Majah, At-Turmuzi, dan Abu Daud).• Bersambung

Exit mobile version