Memahami Waktu

Memahami Waktu

time concept, selective focus point, special toned photo f/x

Bertahun baru, tanpa sengaja sebenarnya sedang memasuki arena batasan waktu, yakni batasan satu tahun. Bagi waktu sendiri sebenarnya tidak ada batasannya, dia akan berjalan mengalir secara linier.
Setidaknya terdapat tiga sifat waktu. Pertama, waktu itu tak terbatas. Sementara manusia terbatas. Yang terbatas tidak akan dapat memahami sesuatu yang tak terbatas secara sempurna. Wajar jika kita sering berbeda menentukan waktu, karena ketidaksempurnaan kita. Itulah yang terjadi pada kasus penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, 10 Dzulhijjah, dsb.
Agar waktu yang tak terbatas itu dapat dipahami oleh manusia yang terbatas, maka dibuatlah batasan waktu. Detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, tahun, dan abad adalah batasan waktu. Dengan tanggal, hari, dan jam tertentu manusia dapat memahami waktu.
Kedua, waktu selalu berbeda. Tidak ada waktu yang sama. Tanggal 1 Januari 2016 hanya terjadi satu kali sepanjang zaman. Tahun depan akan ada tanggal 1 Januari, tetapi sudah dengan tahun yang berbeda.
Ketiga, waktu tak dapat diulang, waktu hanya terjadi satu kali sepanjang zaman seperti contoh di atas. Shalat telah ditentukan waktunya, maka tidak ada qadha shalat karena waktu tak dapat diulang. Itulah sebabnya shalat harus tepat waktu. Misalnya, shalat ‘Ashr harus pada waktu ‘Ashr, tidak boleh shalat ‘Ashr pada waktu Maghrib. Jika terpaksa tertidur hingga Maghrib sementara belum shalat ‘Ashr, maka shalat ‘Ashr yang dilakukannya ibaratnya hanya untuk memenuhi beban hutang karena ada beban kewajiban yang belum ditunaikan. Sementara ibarat shalat adalah absensi, maka absensi tetap kosong karena waktu ‘Ashr telah lewat.
Hampir seluruh ibadah dalam Islam terikat dengan waktu. Shalat, zakat, dan haji terikat dengan waktu. Setiap pergeseran waktu, di sana ada shalat, baik wajib maupun sunnah. Begitu matahari tergelincir di situlah kita shalat Dhuhur hingga bayangan benda lebih panjang dari bendanya, sebab saatnya shalat ‘Ashr. Matahari tenggelam saatnya masuk waktu shalat Maghrib hingga hilangnya sinar merah (syafaq). Sinar merah hilang saatnya shalat Isya hingga tengah malam, walaupun masih bisa sampai datangnya Shubuh, tetapi sebenarnya memasuki sepertiga malam bukan untuk shalat Shubuh tetapi saatnya shalat Tahajjud. Sementara afdhalnya shalat Isya adalah hingga tengah malam. Sepertiga malam terakhir selesai terbitlah fajar, saatnya shalat Shubuh hingga terbit matahari. Matahari terbit selesai masuklah waktu dhuha dan disunnahkan shalat sunnah Dhuha hingga matahari di tengah untuk selanjutnya kembali ke waktu Dhuhur, begitulah selanjutnya secara terus menerus berputar tanpa akhir sepanjang zaman.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya shalat itu mempunyai batas awal waktu dan akhir waktu, dan sesungguhnya awal waktu shalat Dhuhur ialah apabila matahari telah condong dan akhir waktunya ialah bila telah masuk waktu shalat ‘Ashar, dan sesungguhnya awal waktu shalat ‘Ashar ialah bila telah masuk waktunya dan waktu akhir waktunya ialah bila cahaya matahari telah menguning, dan sesungguhnya awal waktu shalat Maghrib ialah bila matahari terbenam dan akhir waktunya ialah bila cahaya di ufuk telah menghilang, dan sesungguhnya awal waktu shalat ‘Isya` ialah bila ufuk telah tenggelam dan akhir waktunya ialah hingga pertengahan malam, dan sesungguhnya awal waktu shalat Fajar (Shubuh) ialah bila fajar telah terbit dan akhir waktunya ialah bila matahari mulai terbit.” (Lidwa Pusaka, Musnad Ahmad: 6875)
Terdapat banyak makna mengapa shalat terikat dengan waktu. Pertama, ibarat lingkaran  roda, shalat adalah jeruji yang membuat kita selalu terhubung dengan pusat lingkaran, pusat perputaran. Hidup adalah perputaran dengan sentral perputarannya adalah tauhid, Allah SwT, adalah Sang Khaliq, Ilah, dan Rabb kehidupan. Oleh karena itu setiap saat seorang Muslim harus senantiasa tersambung berkomunikasi dengan Allah SwT dan shalat adalah alat berkomunikasinya itu. Kedua, dengan shalat setiap pergeseran waktu, dapat menjadi alat kontrol manusia agar senantiasa berada pada jalan lurus. Manusia adalah makhluk dualisme moral yang setiap langkahnya selalu berhadapan pada dua pilihan baik atau buruk, benar atau salah, bengkok atau lurus. Itulah sebabnya mengapa shalat dapat mencegah fakhsya dan munkar karena manusia dikendalikan dirinya melalui shalat. Jika sudah shalat masih berbuat fakhsya dan munkar juga itulah orang yang shalat tetapi sebenarnya dia tidak shalat.
Shalat yang setiap saat kita lakukan sebenarnya memberi kita kesadaran betapa manusia selalu terikat dengan waktu, demikian juga sebaliknya, waktu yang ada tak boleh sedetikpun kita tak tersambung dengan titik sentral kehidupan: Allah SwT.•

________________
Tafsir, Ketua PWM Jawa Tengah dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang

Exit mobile version