Saya dulu pernah mendengarkan sebuah dongeng Israiliyat tentang kebakhilan umat Nabi Musa. Namanya juga dongeng, sudah tentu tidak perlu dibahas kesahihan periwayatannya. Pasti tidak sahih. Dongengnya begini.
Konon, pada suatu masa, sepeninggal Nabi Musa, mulai tumbuh suatu budaya “aneh” di kalangan Bani Israel. Mereka sangat suka memberi hadiah kepada para pejabat dan orang kaya daripada berderma kepada orang miskin yang membutuhkan.
Dengan memberi hadiah ke pejabat dan orang kaya, mereka pasti akan mendapatkan balasan dalam bentuk lain. Bisnis menjadi lancar atau bisa naik pangkat secara tidak semestinya. Kalau memberi kepada orang miskin pasti tidak akan mendapatkan imbalan apapun.
Mereka juga rajin beribadah namun ibadah mereka tidak lebih sebagai upaya mereka “menyuap” Tuhan. Mereka rajin beribadah kepada Allah dengan aneka pamrih duniawi. Puasa dan shalat malam karena ingin lulus ujian atau biar bisa menjadi pegawai negeri, dapat jodoh kaya, atau lainnya.
Setiap kali mereka mengadakan perjamuan (pesta pernikahan atau hajat apapun) mereka hanya mengundang kaum kaya yang mempunyai relasi bisnis besar serta para pejabat yang dapat memuluskan karier dan roda usahanya.
Orang miskin yang ada di sekitarnya tidak ada yang diundang. Jangankan mendapat bagian, mendekat saja mereka akan langsung diusir.
Budaya seperti ini merisaukan satu orang alim yang masih tunduk pada ajaran Nabi Musa. Orang alim itu berupaya menasehati masyarakatnya. Namun seluruh nasehatnya tidak didengarkan.
Hingga suatu hari, tanpa ada angin dan tanpa ada hujan, orang alim itu membunyikan lonceng dengan irama tanda kebangkrutan. Seketika itu seluruh warga berkumpul di halaman rumahnya untuk melelang semua harta yang tersisa.
Sebenarnya para tetangga itu agak heran, mengapa orang alim itu bisa bangkrut. Orang alim itu tampaknya tahu rasa penasaran para tetangganya. Dia kemudian berpidato singkat.
“Saya akan melelang semua harta saya bukan karena saya bangkrut dan terlilit hutang. Saya akan melelang semua harta saya untuk menyelenggarakan pesta besar, minggu depan. Pesta besar dan mewah melebihi perjamuan yang belum pernah ada di kota ini. Juga akan dihadiri tamu besar”.
Salah seorang tetangga bertanya, “Apakah perjamuan itu akan dihadiri seorang Bupati?”
Orang alim itu menjawab “Tamu yang hasir itu kuasanya lebih besar dari Bupati. Kuasanya melebihi kekuasaan Gubernur, Amir, Presiden, Raja, Kaisar, ataupun Sultan. Kekayaannya melebihi jutawan kota ini, konglomerat kelas dunia juga akan kalah kalau bertanding kaya dengan Dia”
Karena orang alim itu dikenal sebagai orang yang tidak pernah bohong selama hidup. Mereka langung percaya dengan pidato itu. Mereka lalu bermusyawarah dengan saling berbisik.
Hasil musyawarahnya, mereka sepakat untuk patungan membiayai pesta besar itu. Orang alim itu tidak perlu melelang hartanya, cukup menyerahkan daftar nama para donatur yang menyumbang dan nominalnya ke tamu agung tersebut. Kesepakatanpun tercapai.
Ketika malam perjamuan itu tiba. Semua pejabat lokal dan orang kaya dari berbagai kota datang lebih awal dari waktu yang ditentukan. Mereka berharap bisa menyapa sang tamu agung.
Namun tamu agung yang ditunggu itu tak kunjung tiba. Mereka mulai gelisah. dan dada jam yang dijanjikan, yang datang malah seorang tua renta bemata buta yang berpakaian compang-camping. Gerak-geriknya menunjukan rasa lapar yang sangat. Dia datang meminta sedikit makanan.
Mereka mengusir orang buta itu. Orang buta itupun pergi dengan perut tetap kosong dan tangan tetap hampa. Setelah itu, datang lagi seorang anak kecil yang juga kelaparan, mereka kembali mengusirnya. Kemudian seorang pengemis perempuan tanpa kaki, yang datang dengan melata. Dia juga diusir.
Sampai tengah malam, saatnya pesta itu bubar, mereka telah mengusir dan memaki-maki kedatangan sembilan puluh sembilan tamu yang tidak mereka kehendaki.
Keesokan harinya, mereka mendatangi orang alim itu sambil marah-marah.
“Sampai kemarin kami percaya, kalau kamu adalah orang yang tidak bisa bohong. Tapi tidak mulai hari ini. Kami juga akan merampas semua hartamu untuk ganti biaya pesta tadi malam!” teriak mereka sambil mengancam.
Saat itu orang alim itu menjawab dengan tenang, “Adakah tamu yang tidak kamu kenal datang di pesta tadi malam?”
Mereka menjawab, “Ya, sembilan puluh sembilan pengemis dan gelandangan miskin tanpa nama”.
Orang laim itu kembali berkata, “Bukankah dalam ajaran Nabi Musa disebutkan bahwa Allah SWT, Tuhan semesta alam ini adalah Mahakaya dan Makuasa? Kekayaan dan kekuasaa-Nya tidak bisa ditandingi siapapun?”
Mereka menjawab, “Ya. Lantas apa hubungannya dengan para tamu miskin tak berguna itu”.
“Ketahuilah, para orang lemah dan miskin yang kamu usir itu adalah “wujud” dari Tuhan kita semua. Bukankah dalam ajaran Musa telah disebutkan kalau menolong orang miskin dan orang papa adalah sama dengan menolong Tuhan? Tadi malam, 99 kali Tuhan datang ke pestamu tapi 99 kali pula kalian mengusir-Nya. Mengapa kaku tidak menjamu-Nya”
Mendengar jawaban itu mereka hanya bisa pulang dengan bersungut-sungut. Namun, sebagian dari mereka ada yang merasa tersindir dan dipaksa mengingat kembali ajaran Nabi Musa supaya lebih peduli pada nasib orang-orang yang kurang beruntung.
–isngadi marwah atmadja, sekretaris Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting PP Muhammadiyah