Oleh : Prof Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA
Setelah menempuh perjalanan jauh yang melelahkan sampailah Musa di kota Madyan. Di dekat sebuah mata air Musa duduk beristirahat, memperhatikan beberapa orang sedang berdesak-desak menimba air dari sebuah sumur untuk memberi minum binatang ternak mereka. Allah SwT berfirman:
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdo`a: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”. (Qs. Al-Qashash [28]: 23-24)
Di sana, di tempat yang agak rendah, Musa melihat dua orang gadis memegang dan menahan tali kambingnya yang selalu hendak menuju ke arah orang-orang mengambil air karena kehausan. Melihat hal itu timbullah rasa santun dan kasihan dalam hati Musa, lalu ia dekati kedua gadis itu menanyakan kenapa mereka tidak ikut bersama orang banyak mengambil air dan memberi minum kambing mereka. Mereka menjawab: “Kami tidak dapat mengambil air kecuali sesudah orang-orang itu selesai, karena kami tidak kuat berebut dan berdesak-desakan dengan orang banyak itu. Bapak kami sudah sangat tua, karena itu tidak pula sanggup datang kemari untuk mengambil air. Itulah sebabnya kami terpaksa duduk saja di sini menunggu orang-orang itu pergi. Kami hanya dapat mengambil air, jika ada sisa-sisa air yang ditinggalkan mereka.”
Tanpa diminta oleh kedua gadis itu Musa segera turun tangan membantu memberi minum kambing-kambing mereka. Sesudah itu karena lelahnya ia berlindung di bawah sebatang pohon. Memang dia sangat lelah dan merasa lapar karena sudah beberapa hari tidak makan kecuali daun-daunan. Kemudian Musa memohon kepada Tuhan: “Ya Tuhanku, aku sangat membutuhkan rahmat dan kasih sayang Engkau, berilah aku apa saja yang dapat melenyapkan penderitaanku ini.” Yang paling diinginkan oleh Musa waktu itu adalah makanan.
Kalau Musa mau, dia tentu bisa meminta upah untuk jasa yang telah diberikannya kepada kedua gadis tersebut. Tapi dia merasa tidak punya hak, karena dia tadi menolong mereka tulus karena Allah tanpa mengharapkan imbalan apa-apa secara materi.
Tapi rupanya kedua puteri tersebut adalah orang-orang yang berbudi tinggi, dari keluarga yang dipimpin oleh seorang laki-laki pilihan yang tentu juga berbudi tinggi. Mereka dapat menghargai budi baik yang diberikan oleh pemuda Musa. Sekalipun tidak ada perjanjian, baik secara lisan apalagi tertulis untuk membayar jasa yang diberikan Musa, tapi itu tidak diperlukan untuk pribadi yang memiliki budi yang tinggi. Allah SwT berfirman:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan) mu memberi minum (ternak) kami”. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu`aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya). Syu`aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu”. (Qs. Al-Qashash [28]: 25)
Atas suruhan bapaknya, salah seorang dari puteri itu dengan agak malu-malu datang menyampaikan undangan bapaknya untuk datang ke rumah mereka sekadar membalas budi baik Musa yang telah menolong mereka mengambil air minum dan memberi minum binatang ternak mereka. Musa dapat memahami bahwa kedua wanita itu adalah dari keluarga orang baik-baik, karena melihat sikapnya yang malu-malu waktu dia datang kepadanya dan mendengar bahwa yang mengundang datang ke rumahnya itu bukan dia sendiri, karena kalau gadis itu sendiri yang langsung mengundang, mungkin timbul pengertian yang tidak baik terhadapnya. Sebagian Mufassir menyatakan bahwa bapak kedua gadis itu adalah Nabi Syu’aib as.
Setelah sampai di rumah keluarga yang baik budi itu, Musa memperkenalkan diri kepada Nabi Syu’aib seraya tidak lupa menjelaskan tentang Fir’aun dan bagaimana dia menjadi buronan Fir’aun untuk dibunuh. Orang tua itu mendengarkan cerita Musa baik-baik. Setelah Musa selesai bercerita, orang tua itu berkata: “Jangan engkau merasa takut dan khawatir, karena engkau telah lepas dari kekuasaan orang-orang zalim itu. Mereka tidak akan dapat menangkapmu, karena engkau telah berada di sini, suatu daerah yang tak termasuk dalam kerajaan mereka.” Dengan demikian hati Musa merasa tenteram, karena ia sudah dapat berlindung di rumah seorang pemuka agama yang besar pengaruhnya.
Rupanya orang tua itu tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak pula mempunyai pembantu. Oleh sebab itu yang mengurus semua urusan keluarga itu hanyalah kedua puterinya saja, sampai keduanya terpaksa menggembala kambing mereka, di samping mengurus rumah tangga. Melihat Musa sebagai pemuda yang jujur dan kuat tenaganya, salah seorang puterinya mengusulkan kepada bapaknya untuk mempekerjakan Musa di rumah tangga tersebut. Allah SwT berfirman:
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. (Qs. Al-Qashash [28]: 26)
Dalam mencari pekerja, yang dilihat tidak hanya tenaganya atau profesionalitasnya semata, tapi juga dan tidak kalah pentingnya adalah kejujuran calon pekerja tersebut. Puteri Nabi Syu’aib mengusulkan kepada ayahnya yntuk mempekerjakan Musa karena Musa adalah seorang yang al-qawiy al Amin. Untuk mengetahui jujur atau tidaknya seseorang antara lain dapat dilihat dari simbol-simbol ketaatan beragama yang tampak pada dirinya. Misalnya dari segi cara berpakaian. Tapi sayangnya pada zaman sekarang ini karena tidak mengerti atau apriori banyak pengusaha yang justru khawatir mempekerjakan tenaga tenaga yang memperlihatkan simbol-simbol ketaatan beragama yang kuat. Padahal secara obyektif, tenaga profesional yang taat beragama lebih menguntungkan perusahaan baik dari segi produktivitas, apalagi dari segi pengamanan dari segala macam bentuk penipuan.
Usul puterinya tidak hanya disetujui oleh bapaknya, tetapi malah lebih jauh sang bapak menawarkan kepada Musa untuk menjadi menantunya dengan mahar bekerja di sana selama delapan tahun, dan bila Musa menyanggupi sepuluh tahun dengan suka rela itulah yang lebih baik. Usulan itu diterima oleh Musa dengan segala senang hati. Allah SwT berfirman:
“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”.Dia (Musa) berkata: “Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan”. (Qs. Al-Qashash [28]: 27-28)
Demikianlah, semenjak itu tinggallah Musa di Madyan sebagai menantu Nabi Syu’aib dan sekaligus pekerja di peternakan dan pertanian keluarga Nabiyullah tersebut.• (Bersambung)