Oleh: Lutfi Effendi
Saat itu tahun 1921, Pemuda Hadjid berusaha menghindar jika bertemu Kyai Dahlan, Ketua HB Muhammadiyah yang juga gurunya. “Saya takut dan segan mendekati Kyai Dahlan,” pengakuan KH Hadjid.
Siang malam Kyai Dahlan waktu itu memikirkan ayat 17-23 surat Al Fajr. “Jangan demikian, bahkan kamu sekalian tidak memuliakan dan menghargai anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan kepada orang miskin. Dan suka memakan harta benda pusaka dengan melampui batas. Dan kamu masih mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat. Jangan demikian (kamu akan sangat menyesal) apabila telah digoyangkan dan dihancurkan bumi ini sehancur-hancurnya. Tuhanmu datang diiringi beberapa malaikat yang berbaris-baris/berderet-deret. Pada hari itu didatangkan neraka jahanam, baru pada hari itulah manusia sama ingat (akan tetapi untuk apakah ia ingat?), sudah tak ada faedahnya.”
Saat itu Kyai Dahlan selalu mengajukan pertanyaan kepada siapa saja yang ia temui, termasuk santri-santri atau murid-muridnya. Pertanyaannya, antara lain: Apakah engkau berani membuang kebiasaan mencintai harta benda? Beranikah engkau menjalankan agama Islam dengan sesungguh-sungguhnya, dengan menyerahkan harta bendamu, dirimu, di bawah perintah Allah? Beranikah engkau mengorbankan harta bendamu kepada jalan Allah? Apakah kamu tidak akan takut akan siksa Allah di hari kiamat? Apakah tidak kamu fikirkan akibat yang akan menimpa pada dirimu?
Pertanyaan-pertanyaan itu rupanya yang membuat Hadjid muda enggan bertemu dengan Kyai Dahlan. Sebab walaupun telah membaca dua kalimah syahadat dan sudah menjalankan shalat lima waktu tetapi merasa belum Islam dan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan Kyai Dahlan, apalagi melaksanakan dalam amal nyata.
Memang sudah watak Kyai ketika mengajarkan sesuatu , terutama Al Qur’an, tidak hanya berhenti pada tataran ilmu saja tetapi harus mencapai tataran amal. Karenanya, ia tak segan mengajarkan suatu ayat sampai berbulan-bulan meski sebetulnya hanya cukup beberapa hari selesai sebelum ayat tersebut diamalkan.
Baginya Islam memang harus diamalkan dan tidak hanya dimengerti saja. Dalam hal amalan agama ini Kyai Dahlan berkata: “Aku mengerti barang yang haq dan barang bathil seperti aku mengerti agama Nasrani/Kristen dan belajar agama Nasrani dan mengerti agama Nasrani. Tetapi apabila aku tidak mengerjakan agama Nasrani aku bukan orang Nasrani. Demikian juga umpamnya aku mengerti cara-cara mencuri, menipu, menindas tetapi aku tidak menjalankan mencuri, menipu atau menindas maka aku bukan pencuri, penipu dan penindas. Demikian juga aku mengenal agama Islam, mengerti amal shaleh, tetapi aku tidak mengerjakan agama Islam dan amal shaleh itu, aku tetap bukan orang Islam dan tetap bukan orang sahaleh”. Bagaimanakah dengan kita? (***)