Yogyakarta–Persyarikatan Muhammadiyah yang sudah melewati usia satu abad memiliki ragam entitas. Keanekaragaman unsur yang terdapat di dalam Muhammadiyah menjadi identitas dan sekaligus sebagai kekuatan dari Muhammadiyah itu sendiri, terutama ketika dipadukan dengan daya lentur terhadap budaya lokal. Kekhasan dan identitas menjadi penting dalam konteks Islam Kosmopolit yang diketengahkan oleh Muhammadiyah belakangan ini, guna bisa saling berbagi dengan publik internasional, dan tidak hanya mengadopsi kekhasan Islam dari luar.
Prof. Munir Mulkhan misalkan menyebut ada varian Marhenis-Muhammadiyah (Marmud), Muhammadiyah-NU (MUNU). Sementara Abdul Mu’ti memiliki klasifikasi Kristen-Muhammadiyah (Krismuha). Selain itu, masih ada wajah Muhammadiyah-Jawa, Muhammadiyah-Sumatera, hingga Muhammadiyah-Iran. Perpaduan multi wajah itu menjadikan Muhammadiyah tidak bisa dilihat dari satu sisi saja. Mark Woodmark sendiri menyebut ada varian Muhammadiyah-Jogja, yang sedikit berbeda dengan Muhammadiyah-Solo, Muhammadiyah-Klaten Muhammadiyah-Sumbar, Muhammadiyah Sulawesi, dan lainnya.
“Di Muhammadiyah itu tidak monolitik. Sama dengan Islam yang karakternya tidak tunggal. Karakter inilah yang menjadikan Muhammadiyah unik,” ujar Dr. Ahmad Najib Burhani dalam Diskusi Bulanan Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, pada Sabtu siang (05/03/2016) di gedung PP. Muhammadiyah Jl. KH. Ahmad Dahlan 103, Yogyakarta.
Menurutnya, Muhammadiyah juga memiliki banyak sebutan, baik dari peneliti maupun dari kalangan internal. Sebut saja julukan sebagai gerakan Islam modernis, Islam reformis, Islam puritan, Islam wahabi, hingga belakangan diidentikkan dengan Islam Berkemajuan. Julukan tersebut mengalami pergeseran makna seiring waktu. Penamaan itu juga memiliki alasan tersendiri, semisal penyebutan istilah puritan. Dahulu, etos puritan Protestan dimaknai secara positif, berupa; etos kerja keras, berpikiran global, kedermawanan, dan humanitarian.
Di bagian lain, ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah ini menguraikan, “Muhammadiyah dibangun dari perpaduan dua tradisi; santri dan priyayi. Priyayi merupakan unsur dari Keraton Yogyakarta.” Dalam sesi diskusi, salah satu peserta, Bapak Sanusi mengutip pernyataan Sultan Hamengkubuwono X pada saat resepsi milad Muhammadiyah di UMY, yang menyebutkan bahwa Keraton tidak bisa dipisahkan dari Muhammadiyah, demikian sebaliknya, banyak konstribusi Keraton kepada Muhammadiyah. Pendapat lain justru menyebutkan Muhammadiyah dahulu pernah menjadi proyek Keraton dalam membendung Kristenisasi.
Muhammadiyah termasuk organisasi modernis dan reformis di Indonesia yang memiliki karakter Jawa yang kuat. Peneliti LIPI ini kemudian menyebut beberapa contoh penjelmaan budaya Jawa dalam kehidupan pendiri Muhammadiyah; KH. Ahmad Dahlan, yang notabena merupakan anggota Budi Utomo yang terlibat aktif dan loyal hingga wafatnya. Bahkan kongres Budi Utomo pernah dilaksanakan di rumah KH. Ahmad Dahlan. Padahal, Budi Utomo sendiri dikenal sangat kental berusaha membangkitkan dan menjaga kebudayaan Jawa. Tidak hanya KH. Ahmad Dahlan, hampir semua pendiri awal Muhammadiyah merupakan anggota Budi Utomo.
Ahmad Najib Burhani juga menekankan bahwa meskipun lentur terhadap budaya, Muhammadiyah sebagaimana halnya Budi Utomo ikut mengkritik beberapa item inner culture dari masyarakat Jawa, yang dinilai bertentangan dengan nilai Islami dan prinsip egalitarian, yang ketika itu dipengaruhi oleh sistem kolonial. Sehingga dikenal istilah rasionalisasi, moderniasi, demistifikasi dan demitologisasi. Muhammadiyah juga melakukan penyederhanaan simbolisme yang dinilai berlebihan dalam kehidupan masyarakat Jawa, dan disesuaikan dengan asas nilai al-Quran dan kebudayaan yang Islami. (Ribas)