Yogyakarta– Tidak berbeda jauh dengan kehidupan seorang manusia, keberadaan suatu organisasi juga tidak bisa sepenuhnya lepas dari lingkungan tempat ia tumbuh dan berkembang. Demikian halnya dengan Persyarikatan Muhammadiyah yang karakternya dibentuk oleh konteks sosial dan budaya Keraton Ngayogyakarta. Yogyakarta sendiri merupakan bagian dari Jawa, yang dinilai otentik dan bisa dijadikan representasi. Dari sini, Muhammadiyah bisa diidentikkan dengan identitas Islam dan berkarakter Jawa, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Mitsou Nakamura.
“Tidak ada agama keculi dengan kebudayaan. Kelompok paling ekstrim sekalipun tetap menggunakan media kebudayaan. Minimal unsur bahasa, tata cara makan dan minum. Muhammadiyah selalu dalam kebudayaan Indonesia, utamanya Jogja yang terdiri dari unsur Keraton dan Budi Utomo.” Demikian dikatakan oleh Dr. Mark Woodwark dalam acara diskusi bulanan “Muhammadiyah dan Budaya Jawa”, yang diselenggarakan oleh Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, pada Sabtu (5/3/2016), bertempat di aula gedung PP Muhammadiyah Jl. KH. Ahmad Dahlan 103, Yogyakarta.
Menurutnya, sejak tahun 1920-an, Muhammadiyah sudah menguasai Keraton Yogyakarta. Keberadaan Keraton menjadi sangat dekat dan berpengaruh dalam kehidupan bergama warga Muhammadiyah di Yogyakarta. Semisal tradisi di masjid Gedhe Kauman dan Masjid Pakualaman yang dikelola oleh Muhammadiyah, tidak jauh berbeda dengan pola yang terbangun di masjid-masjid lain di seluruh penjuru Jawa. Demikian halnya dalam perlakukan terhadap kuburan.
Di bagian lain, Ahmad Najib Burhani menekankan bahwa meskipun lentur terhadap budaya, Muhammadiyah sebagaimana halnya Budi Utomo ikut mengkritik beberapa bentuk inner culture dari masyarakat Jawa, yang dinilai bertentangan dengan nilai Islami dan prinsip egalitarian, yang ketika itu dipengaruhi oleh sistem kolonial. Sehingga dikenal istilah rasionalisasi, moderniasi, demistifikasi dan demitologisasi. Muhammadiyah juga melakukan penyederhanaan simbolisme yang dinilai berlebihan dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Kegiatan ini menghadirkan pembicara Dr. Ahmad Najib Burhani, selaku penulis buku Muhammadiyah Jawa dan Dr. Mark Woodwark selaku peneliti tentang kebudayaan Jawa dan fenomena agama di Indonesia, yang juga sebagai penulis buku Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta. Turut hadir peneliti Muhammadiyah Prof. Hyun-Jun Kim, Dr. Chairil Anwar dari Majelis Diktilitbang yang sekaligus membuka acara, serta para pimpinan dan tamu undangan lainnya. (Ribas)