Oleh: Isngadi Marwah Atmadja
Semua orang Islam pasti sudah tahu bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang sangat dahsyat. Tidak ada yang bisa membantah kebenaran isinya. Tidak ada pula yang bisa menandingi keasliannya.
Semua orang Islam juga percaya bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi umat manusia dalam menjalani hidup agar selamat di dunia dan di akhirat. Walau begitu, tentang cara memperlakukan Al-Qur’an ternyata beraneka ragam. Salah satunya adalah seperti yang didongengkan Ayah kepada saya. Dongeng itu kata Ayah terjadi pada zaman Pajang.
Konon pada masa itu ada satu desa yang semua penduduknya buta huruf, namun semua penduduk di desa itu beragama Islam. Islam yang masih sangat awam. Mereka juga belum pernah melihat dan membuka kitab suci Al-Qur’an. Penduduk desa itu juga masih sangat percaya pada tuah benda pusaka.
Sebagai orang Islam yang merasa awam, mereka sangat menghormati kaum santri yang bisa membaca dan memahami kitab suci.
Pada suatu hari, ada orang asing yang datang di desa itu. Dia mengaku sebagai seorang santri murid salah seorang wali yang terkenal dan hendak tinggal di desa itu. Singkat cerita dia diterima di desa itu dan dijadikan menantu kepala desa.
Santri itu mengaku dia membawa kitab Al-Qur’an yang sangat sakti, yang diberi nama Kiai Kitab Watu Abang. Karena kitab suci itu tidak boleh disentuh dan dilihat oleh siapapun, kitab itu diletakkan dibungkus kain dan diletakkan di atas almari yang cukup tinggi.
Kepada keluarganya, santri itu berpesan siapapun yang berani menyentuh kitab itu akan celaka, dan yang berani membuka bungkusnya akan buta.
Hingga suatu hari, karena tidak sanggup menahan rasa penasaran, saat santri itu kewarung, anak kepala desa yang sudah jadi istri si santri, mengajak bapak dan ibunya untuk melihat seperti apa wujud kitab sakti yang bisa mencelakakan orang itu.
Karena takut menyentuhnya, mereka mengungkit bungkusan kitab suci dengan sebilah kayu. Diungkit dari bawah almari.
Malang tidak dapat ditolak, saat diungkit bungkusan kitab suci dengan cepat meluncur jatuh tepat mengenai kening kepala desa yang mengungkitnya. Seketika itu juga kepala desa itu menjerit keras untuk kemudian pingsan dengan kepala benjol.
Rupanya, bencana pertama itu tidak pula memadamkan rasa penasaran mereka bertiga. Setelah kepala desa siuman, dengan menahan nafas mereka membuka bungkus kitab sakti itu. Apa yang terjadi?
Mereka tidak melihat kitab apapun, yang terlihat hanyalah tuga batu-bata besar tebal terikat menjadi satu.
Saat itu itu juga mereka menangis dan membungkus kembali kitab suci itu sambil menyembah-nyembah memohon maaf. Mereka percaya mata mereka nyaris menjadi buta karena kekuatan ghaib si kitab sakti, sehingga mereka melihat kitab sakti sebagai batu-bata.
Mereka semakin percaya bahwa orang awam seperti mereka bertiga memang tidak pantas membuka kitab suci Al-Qur’an yang berisi petunjuk ke jalan yang benar itu.