Dulu, Muhammadiyah sering dijuluki “Wahhabi” oleh golongan atau orang-orang yang tidak suka. Sebuah predikat yang kadang mengandung ejekan atau bersifat memojokkan, untuk menggambarkan organisasi Islam yang galak. Karena sudah terbiasa, tidak jarang julukan “Wahhabi” itu menjadi terasa tidak lagi negatif. Bahkan lama kelamaan bagi sebagian kecil warga Persyarikatan, mungkin merasa Muhammadiyah itu “saudara kembar” Wahhabi atau malah menisbahkan seolah sama sebagai pengikut paham Muhammad bin Abdul Wahhab dari Arab Saudi itu.
Kini, terdengar lagi ada suara mengaitkan Wahhabi dengan Muhammadiyah, meskipun samar-samar dan tidak langsung. Arahnya mengaitkan dengan pelaku bom bunuh diri atau tindakan teroris yang dikait-kaitkan ada sebagian di antaranya berlatarbelakan sosial keluarga Muhammadiyah. Ketika pelaku teror itu berlatarbelakang pesantren, dengan sigap dikatakan “bukan dari pesantren NU”, yang mengandung konotasi dari pesantren Islam yang lain. Suatu pengaitan yang ceroboh dan menyimpan maksud negatif untuk memojokkan kembali Muhammadiyah.
Pelaku yang ingin mengaitkan Wahhabi dengan Muhammadiyah atau organisasi Islam modern dengan maksud negatif itu tentu berasal dari latarbelakang yang sama dengan yang dulu. Yakni pihak yang tidak suka dengan Muhammadiyah dan mungkin masih warisan lama. Baginya baik Wahhabi maupun Muhammadiyah itu mungkin dianggap ancaman untuk basis massanya di akar-rumput yang terbiasa memelihara tradisi yang berbau syirk, bid’ah, dan khurafat atau “TBC”. Jika basis umatnya pudar tentu posisi para elite dan organisasinya ikut tercerabut dari akar-rumput. Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali menyodok kembali dengan menisbahkan atau mengaitkan keduanya dengan kasus negatif, yakni terorisme.
Sikap lama yang suka menyebar pandangan negatif terhadap sesama organisasi Islam rupanya masih mewarnai sebagian elite organisasi Islam saat ini. Padahal dunia sudah berubah seratus delapan puluh derajat ketimbang masa lampau. Bahwa Wahhabi atau Wahabiyah itu masa lalu, yang sebenarnya jika ditelusuri secara objektif ada nilai positifnya selain kekurangannya. Demikian pula organisasi dan paham-paham lain di dunia Islam itu, termasuk di Indonesia, ada nilai plus sekaligus minus sesuai situasi dan tempat di mana gerakan-gerakan Islam itu hadir. Setiap penyamarataan dan pemutlakan tentu akan ada masalah, sebaliknya setiap ikhtiar saling menyudutkan pun akan menimbulkan masalah. Maka yang diperlukan justru saling toleran dan pemahaman yang dewasa satu sama lain.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam tertua di Republik ini tentu dewasa dalam setiap menghadapi keragaman, termasuk yang menyudutkan dirinya. Muhammadiyah tidak perlu serius menyikapi setiap pandangan negatif, termasuk yang berusaha mengaitkannya dengan Wahhabi. Muhammadiyah sendiri yakin betul bahwa sebagai gerakan Islam yang membawa misi dakwah dan tajdid tidak terperangkap pada mazhab atau aliran tertentu, sehingga memiliki karakter atau jatidiri sendiri. Bahwa di sana sini terdapat kesamaan tertentu dengan gerakan atau pandangan Islam yang lain termasuk dari gerakan pembaruan Islam di dunia muslim sebelum ini, tidaklah menjadi halangan bagi Muhammadiyah sejauh hal itu sejalan dengan prinsip dasar ajaran Islam.
Sebagai gerakan tajdid atau pembaruan Muhammadiyah memiliki karakter pada pemurnian ajaran Islam, tetapi juga pada pengembangan atau dinamisasi, yang boleh jadi memiliki persentuhan atau kesamaan pada aspek-aspek tertentu dengan gerakan pembaruan lainnya. Namun Muhammadiyah memadukan kedua dimensi tajdid itu dalam gerakannya sehingga menampilkan Islam yang berkemajuan secara mendasar dan luas, yang menunjukkan keseimbangan. Muhammadiyah dengan menghargai setiap gerakan Islam yang lain, memiliki kepribadian sendiri sebagai gerakan Islam. Muhammadiyah bukan gerakan Islam yang lain, Muhammadiyah ya Muhammadiyah. Muhammadiyah juga bukan Wahhabi atau Wahhabiyah. Jadi, Muhmmadiyah lā Wahhabiyah.