Populasi kelas menengah Indonesia meningkat pesat dan pengaruh mereka pun bertambah besar. Mereka senang dengan politik dan memiliki kecenderungan beragama yang konservatif. Hal ini disampaikan Prof Gerry van Klinken, peneliti senior dari KITLV Leiden pada diskusi “Konservatisme dan Pengalaman Beragama Kelas Menengah Indonesia” dalam rangka milad ke-52 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Jakarta (8/3).
Gerry menambahkan, kelas menengah ini tidak menempati kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya namun menempati kota-kota “menengah”di tingkat provinsi seperti Kupang, Pekalongan, dan cenderung mendekatkan diri dengan kalangan birokrat. Berbeda dengan keleas menegah di Amerika dan Inggris. “Kelas menengah Indonesia lebih mencitai negara, menolak pasar besar, mengutamakan putra daerah, dan menguasasi daerahnya melalui jalur informal”, jelasnya.
Sementara Sudarnoto Abdul Hakim dari PP Muhammadiyah pada forum yang sama mengatakan, terbentuknya kelas menengah merupakan keberhasilan dari pendidikan. Sama seperti Gerry, Sudarnoto setuju bahwa kelas menengah menjadi faktor dominan dalam perubahan sosial dan politik. Selain pendidikan, faktor ekonomi seperti perkembangan dunia perdagangan internasional turut membantu mobilisasi traditi, budaya, ide bahkan ilmu pengetahuan dan turut memperngaruhi faktor pendidikan. “Dalam suatu perubahan sosial, dimana masyarakat memegang peranan, maka kelas menengah lah yang paling berperan”, ujar Sudarnoto yang juga Ketua Dewan Pakar Koordinator Nasional FOKAL (Forum Komunikasi Alumni) IMM ini.
Pada diskusi itu, Jajang Jahroni dari PB Nahdlatul Ulama, salah satu pemateri, sependapat dengan yang lain, bahwa telah terjadi peningkatan jumlah kelas menengah di Indonesia yang signifikan. Menurutnya, Kelas menengah ini begitu sadar terhadap kemajuan teknologi dan terhadap pentingnya akses ekonomi setelah era reformasi. (Alpha-Ed.gsh)