*Oleh : M Muchlas Abror
KH Ahmad Dahlan ketika lahir pada tahun 1868 oleh KH Abubakar, ayahnya, diberi nama Muhammad Darwisy. Ibu yang melahirkannya bernama Siti Aminah binti KH Ibrahim (Penghulu Kraton Yogyakarta). Ia anak ke empat dari tujuh bersaudara. Selain ia yang anak laki-laki adalah adiknya yang bungsu ialah Muhammad Basyir. Lima lainnya adalah perempuan. Tentu kelahirannya disambut dengan kegembiraan dan kesyukuran oleh kedua orangtua serta kerabatnya. Karena ia adalah anak laki-laki yang pertama.
Muhammad Darwisy mendapat pendidikan agama Islam pertama kali dari orangtuanya. Kepada ayahnya, ia belajar mengaji Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama Islam. Kemudian ia berguru kepada kedua kakak iparnya, yaitu KH Muhammad Shalih, kepadanya ia belajar fiqh dan kepada KH Muhsin, ia belajar nahwu. Ia juga berguru kepada KH Muhammad Nur (kakak iparnya pula) dan KH Abdulhamid tentang berbagai ilmu agama Islam. Selain itu, ia belajar ilmu falak antara lain kepada KH Dahlan Semarang, menantu Kyai Saleh Darat Semarang.
Muhammad Darwisy/KH Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji dua kali, ketika dalam usia masih muda. Pertama, ia menunaikan ibadah haji yang menjadi Rukun Islam yang ke-lima, pada tahun 1890, ketika berumur 22 tahun. Setelah kembali dari menunaikan haji, ia berganti nama baru Ahmad Dahlan. Ayahnya memberi kepercayaan kepadanya untuk memberi pengajian pada awalnya kepada kanak-kanak, berikutnya kepada para remaja, dan selanjutnya kepada orang-orang dewasa. Apalagi setelah ayahnya meninggal tahun 1896 (ibunya telah mendahului meninggal tahun 1890), ia menggantikannya menjadi khatib tetap Masjid Gedhe (Masjid Kraton) Kauman, Yogyakarta. Bahkan Kraton menetapkannya sebagai anggota Raad Agama Islam Hukum Kraton. Karena itu, kita dapat memahami kalau kemudian melekat pada dirinya dan masyarakat menyebut atau memanggil namanya KH Ahmad Dahlan. Kedua, ia menunaikan ibadah haji lagi tahun 1903, ketika berumur 35 tahun. Ini berarti ia telah dewasa penuh serta jiwanya lebih stabil dan lebih mantap daripada waktu berhaji sebelumnya.
Dua kesempatan tersebut selain digunakan oleh KH Ahmad Dahlan untuk menunaikan ibadah haji dengan sebaik-baiknya, juga dimanfaatkan untuk studi lanjut mendalami ajaran-ajaran Islam kepada beberapa ulama Indonesia yang telah lama mukim di Tanah Suci. Di samping kepada ulama lainnya. Dengan demikian, setelah selesai menunaikan ibadah haji, baik yang pertama maupun yang kedua, ia tidak segera kembali ke Indonesia. Pada waktu haji yang pertama, ia berada di Tanah Suci selama delapan bulan. Sedangkan pada haji yang kedua, lebih lama lagi ia berada di sana, sekitar dua tahun. Dari studi lanjut yang dilakukannya itu, tentu ia bertambah ilmunya, makin paham dan mendalam pengetahuannya tentang Islam dan hakikatnya, serta keyakinannya pun makin mantap.
Selagi berada di Tanah Suci, KH Ahmad Dahlan mendengar, membaca, dan bersentuhan dengan gerakan pembaharuan dalam Islam yang di Timur Tengah, misal, di Mesir. Apalagi ia menyadari bahwa dirinya berada dalam ruang dan waktu. Maka ia berusaha ingin tahu apa sebenarnya yang telah, sedang, dan akan terjadi. Ia manfaatkan keberadaannya itu untuk banyak membaca berbagai kitab dan buku yang dikarang para tokoh Gerakan Pembaharuan dalam Islam antara lain Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah, Jamaluddin Al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Melalui kitab dan buku yang dibaca itu, ia dapat berkenalan dan mengetahui pokok-pokok pikiran mereka. Dari perkenalan secara tidak langsung itu, ia mendapat pelajaran berharga, memperoleh inspirasi, dan memiliki motivasi kuat untuk melakukan pembaharuan.
Sebagai seorang yang alim, KH Ahmad Dahlan memiliki banyak kitab. Bermacam kitab yang menjadi pegangan ulama dan dikaji di pondok pesantren, ia punya dan mendalaminya dengan baik. Bahkan sebagai seorang alim yang berpikiran maju yang berkehendak membawa Islam yang berkemajuan, ia banyak membaca kitab-kitab baru yang mengilhami dalam hidup dan perjuangannya. Di antara beberapa kitab bacaannya adalah Kitab Fil Bid’ah dan At-Tawassul wal Wasilah karangan Ibnu Taimiyyah, Kitab Tauhid, Kitab Tafsir Juz Amma, dan Kitab Al-Islam wan Nashraniyyah (ketiganya karangan Muhammad ‘Abduh), Kitab Tafsir Al-Manar karangan Rasyid Ridha, Kitab Dairatul Ma’arif karangan Farid Wajdid, dan Majalah Al-Urwatul Wutsqa.
Mengenai Majalah Al-Urwatul Wutsqa dan Tafsir Al-Manar berikut ini penjelasan sekadarnya. Majalah Al-Urwatul Wutsqa : Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, ketika tinggal di Paris, menerbitkan majalah Al-Urwatul Wutsqa. Melalui Majalah ini, mereka bermaksud menyebarluaskan ide-ide pembaharuan. Selain itu, mereka berharap agar Majalah ini menjadi media pembentuk opini masyarakat dan media pembinaan umat Islam di dunia. Cita-cita Jamaluddin untuk menggalang persatuan dan kesatuan umat Islam se dunia inilah yang dinamakan Pan Islamisme. Majalah ini mendapat sambutan hangat. Tapi Majalah ini hanya dapat terbit sampai No. 18. Karena Inggeris, kemudian diikuti para penjajah lainnya, melarang Majalah ini beredar di negeri-negeri jajahannya. Tafsir Al-Manar : Rasyid Ridha adalah murid terdekat Muhammad Abduh. Ia berotak cemerlang serta mempunyai bakat mengarang dan menulis. Selagi kuliah di Universitas Al-Azhar, ia mengikuti dan mencatat semua kuliah tafsir oleh Muhammad Abduh. Atas persetujuan gurunya itu, diterbitkan majalah kampus Al-Manar dan ia menjadi pemimpin redaksinya. Setiap terbit, Al-Manar memuat tulisan kuliah yang disusun oleh Rasyid Ridha dalam bentuk karangan teratur setelah dikoreksi oleh Muhammad Abduh. Kuliah tafsir oleh Muhammad Abduh (tahun 1899 – 1905/akhir hayat) yang dimuat dalam Al-Manar hanya sampai ayat 125 dari QS. An-Nisa’. Pada nomor-nomor berikutnya, tafsir Al-Manar tidak lagi oleh Muhammad Abduh malainkan sepenuhnya oleh Rasyid Ridha sendiri.
KH Ahmad Dahlan telah banyak mengenal tulisan Muhammad Abduh. Deliar Noer dalam bukunya “Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942” menulis, “Diceriterakanlah bahwa suatu kali Dahlan dan Soorkatti (Syekh Ahmad Soorkatti, seorang alim, asal Sudan, diundang oleh Al-Jam’iyat al-Khairiyah untuk menjadi guru, kemudian ia bergabung dengan Al-Irsyad, pen) duduk berhadap-hadapan di dalam sebuah gerbong kereta-api, dalam suatu perjalanan. Keduanya, satu sama lain, tidak saling mengenal. Untuk menghabiskan waktunya, Dahlan, pada waktu itu, membaca Tafsir Al-Manar dari Muhammad Abduh. Hal ini sangat menarik perhatian Soorkatti yang tidak menyangka seorang pribumi dapat membaca kitab yang sangat ilmiah itu. Hal ini menimbulkan percakapan antara keduanya yang menyampaikan pada janji bersama bahwa mereka akan bekerja untuk menyebarkan pemikiran Abduh di dalam masyarakat masing-masing, yaitu kalangan Arab dan Indonesia.”
Demikian beberapa kitab bacaan KH Ahmad Dahlan yang turut mempengaruhi pemikirannya untuk melakukan pembaharuan dalam Islam di Indonesia. [*]