Oleh : Imron Nasri
Persoalan korupsi, sepertinya masih akan menjadi fokus perhatian di tahun 2016 ini. Beberapa kasus korupsi yang melibatkan pejabat, mantan pejabat dan tokoh masyarakat, di tahun ini telah dibawa ke meja hijau. Tidak menutup kemungkinan di tahun 2016 ini, akan ada lagi pejabat atau tokoh masyarakat yang tertangkap KPK dalam kasus korupsi.
Mungkin, kita sependapat bahwa, korupsi di Indonesia sudah merupakan bagian yang melekat pada sistem pemerintahan kita. Bagaimana kita mau memberantas korupsi, jika elit-elit politiknya sendiri yang dipusat kekuasaan itu tidak melakukan pembersihan, mulai dari lingkaran kekuasaan itu sendiri, maka sulit untuk dilakukan pemberantasan korupsi.
Korupsi mungkin dapat juga menunjuk pada asimilasi kelompok baru ke dalam sistem politik dengan cara-cara yang menyimpang, sebab sistem tidak cukup mampu mengadoptir dan menyajikan berbagai tujuan absah yang dapat diterima secara memuaskan. Adakalanya, kekuasaan politik digunakan sebagai sarana untuk mengumpulkan kekayaan, sementara uang dapat digunakan untuk memperoleh kekuasaan politik. Keduanya memiliki persamaan, yakni diperjual belikan dengan keuntungan pribadi.
Bagaimana mungkin pelaksanaan hal tersebut secara konkrit, jika sebagian besar tergantung pada sejauhmana hukum itu mendapat dukungan masyarakat luas. Perlu disadari bahwa hukum tersebut akan hancur berantakan bila tidak diikuti dengan pengawasan efektif, dan sejumlah keuntungan akan terbuka bagi segelintir orang.
Dalam segala bentuknya, korupsi tentu melibatkan adanya pertukaran aksi politik dengan kepentingan ekonomi. Kehadiran modal raksasa asing di negara-negara muda di dunia ketiga secara khusus juga mendorong tindak pidana korupsi, sebab pemilik modal luar negeri hampir-hampir tidak keberatan melanggar norma hukum masyarakat negara tuan rumah di mana mereka beroperasi. Selain itu, kendali mereka atas sumber-sumber pendapatan penting guna mendorong pertumbuhan ekonomi, merangsang naluri kewiraswastaan mereka untuk bisa menggapai keuntungan optimal lewat jalur politik..
Korupsi merupakan persoalan akut untuk ukuran Indonesia dan sampai saat ini belum ada obat yang efektif untuk menyembuhkannya. Sejarawan Onghokham, sebagaimana dikutip dalam buku ‘Korupsi Dalam Perspektif Agama-agama’ (2004), menyebutkan bahwa korupsi mulai dikenal sebagai suatu penyimpangan ketika birokrasi atau suatu sistem melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Dalam konsep kekuasaan tradisional tidak dikenal model pemisahan keuangan tersebut. Prinsip pemisahan antara kepentingan dan keuangan pribadi seorang pejabat negara dengan kepentingan dan keuangan jabatannya ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan dinegara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggeris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19. Sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.
Korupsi kebanyakan terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, karena terkait dengan transisi pemerintahan dan status jajahan. Ditandai dengan modus operandinya juga semakin beragam dengan pola yang semakin sulit untuk dideteksi dan diungkap serta tipologis korupsi yang beraneka ragam seperti: korupsi transaktif, korupsi yang memeras adalah korupsi yang dipaksakan kepada satu pihak yang biasanya disertai ancaman terhadap kepentingan, orang-orang dan hal-hal yang dimilikinya, korupsi investif adalah memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan di masa depan, korupsi perkerabatan, korupsi defensive adalah pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalamnya, korupsi otogenik adalah “korupsi yang dilakukan seorang diri”, tidak ada orang atau pihak lain yang terlibat di dalamnya, dan korupsi suportif, tidak melibatkan orang atau pihak lain. (Alatas, 1980).
Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia, mengakibatkan upaya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Berbagai lembaga dan badan pemberantasan korupsi yang dibentuk pemerintah hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang baik. Korupsi yang dilakukan secara sistemik dan melibatkan pelaku yang luas hanya bisa ditanggulangi dengan pendekatan yang komprehensif, strategis dan massif, baik struktural maupun kultural. Pendekatan struktural diarahkan pada penguatan isu-isu korupsi yang berkaitan dengan lembaga publik, sedangkan pendekatan kultural diarahkan pada usaha membangun kesadaran publik untuk memperkuat gerakan anti korupsi.
Kini, diperlukan upaya pemberantasan korupsi sistemik dan berkelanjutan, bukan tambal sulam seperti menjahit kain yang sobek, dan hangat-hangat tahi ayam. Bukan isu politik, melainkan tindakan politik. Bukan komitmen, melainkan program aksi. Bukan ilmu, melainkan perilaku.
Namun itu semua tidak akan bisa terlaksana, tanpa ada keberanian dan kemauan dari semua pihak. Terutama pemerintah dan aparat penegak hukum. Tanpa itu semua, korupsi akan jalan terus.*****