Oleh: Lutfi Effendi
Kyai Haji Ahmad Dahlan setiap subuh memberikan pengajaran pada murid-muridnya. Pada satu periode pengajarannya, berkali-kali KH Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surat Al-Maun, hingga berhari-hari tidak ditambah-tambah. Dengan kondisi seperti itu, ternyata mengusik hati salah seorang muridnya.
“Kiai, mengapa pelajarannya tidak ditambah-tambah?” tanya Soedja.
“Apa kamu sudah mengerti betul?” tanya beliau
“Kita sudah hafal semua, Kiai.” Jawab Soedja.
“Kalau sudah hafal, apa sudah kamu kerjakan?” tanya beliau lagi.
“Apanya yang diamalkan? Bukankah surat Al-Maun sudah berulangkali kami baca sebagai rangkaian surat Fatihah, disaat kami shalat?” jawab Soedja.
“Bukan itu yang saya maksudkan, Diamalkan artinya, dipraktekkan, dikerjakan. Rupanya saudara-saudara belum mengamalkannya. Oleh karena itu mulai hari ini, saudara-saudara pergi berkeliling mencari orang miskin. Kalau sudah dapat, bawa mereka pulang ke rumah masing-masing. Mandikan dengan sabun yang baik, beri mereka pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, serta tempat tidur di rumahmu. Sekarang juga pengajian saya tutup. Dan saudara-saudara silahkan melakukan petunjuk-petunjuk saya tadi.” Ujar Kiai Dahlan
Apa yang dilakukan Kyai Dahlan ini amat langka pada saat itu. Umumnya pengamalan Al Qur’an hanya sebatas pada lisan saja. Dibaca tiap hari, baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Di luar shalat dibaca pada saat-saat tertentu, bahkan ada yang mengkhususkan ayat tertentu dan surat tertentu saja. Misalnya membaca surat Yasin saat malam Jumat dan sebagainya.
Penafsiran Al Qur’an hingga sampai ke pengamalannya inilah yang disebut Tafsir Amali dalam tulisan ini. Dalam hal ini, Kyai Dahlan boleh dikata sebagai pelopor Tafsir Amali yang tatkala itu masih asing dan bahkan hingga saat ini belum masuk khasanah ilmu Tafsir. Kyai Dahlan dengan penafsiran beberapa ayat ternyata telah mampu menafsirkan hingga amal nyata.
Beberapa orang atau institusi setelah itu mencoba untuk mencoba tafsir seperti ini. Ada yang berhasil dan ada pula yang gagal dan bahkan tersesat jalan. Ada yang mencoba dengan model tematik dan ada pula yang mencoba dengan urut-urutan ayat. Mengumpulkan ayat yang berhubungan dengan sedekah kemudian menjadi ahli sedekah. Mengumpulkan ayat yang terkait dengan jihad kemudian menjadi jihadis. Tetapi ada juga yang mencoba menafsirkan urut-urutan ayat turunnya Al Qur’an menjadi orang yang tersesat jalan karena mengganggap sholat bukan suatu kewajiban.
Kalau selama ini orang menilai Kyai Dahlan tidak meninggalkan ilmu, karena Kyai tidak meninggalkan sebuah kitab yang tertulis sebagaimana umumnya ulama besar. Sebetulnya Tafsir Amali Kyai Dahlan ini merupakan ilmu tersendiri yang menghasilkan karya nyata yang dampaknya sangat bagus dan luas dalam kehidupan manusia.
Tafsir Amali Kyai Dahlan ini bisa disebut ilmu karena sudah ada metode yang ia kemukakan tentang bagaimana cara melakukan penafsiran. Meski metodenya sederhana, tetapi dapat diterapkan dalam penafsiran suatu ayat.
Dalam hal metode ini, Kiai Dahlan pernah menerangkan bagaimana cara mempelajari Al-Qur’an, yaitu ambillah satu, dua atau tiga ayat, dibaca dengan tartil dan tadabbur (dipikirkan). Pertama, bagaimana artinya? Kedua, bagaimanakah tafsir keterangannya? Ketiga, bagaimana maksudnya? Keempat, apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan itu? Kelima, apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? Sudahkah kita menjalankannya.
Tinggal sekarang bagaimana kita mampu mengembangkan ilmu tafsir ini lebih jauh. Mampukah kita? (***)