Pemurnian dan Pengayaan

Pemurnian dan Pengayaan

Gerakan “ruju‘ ila al-Qur’an wa as-Sunnah” yang dirintis Kyai Haji Ahmad Dahlan yang kemudian melahirkan Muhammadiyah, selain mengajak agar umat Islam kembali pada sumber ajaran Islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahihah/maqbulah.

Lebih dari itu, setelah kembali pada sumber ajaran yang murni kemudian mengaktualisasikan ajaran Islam itu dalam kehidupan nyata umat Islam di tengah-tengah kehidupan zaman yang dihadapi. Bahwa kembali pada pemurnian Islam bukan sekadar asal kembali, tetapi untuk menghadirkan Islam itu sendiri sebagai agama rahmatan lil-‘alamin.

Islam sebagai agama kehidupan. Itulah tajdid Muhammadiyah yang disebut pemurnian (purifikasi) sekaligus pembaruan atau dinamisasi (reformasi, modernisasi). Muhammadiyah itu “pemurnian yes, pembaruan yes”. Bukan “pemurnian yes, pembaruan no”.

Dengan gerakan pemurnian Islam yang bercorak pembaruan, maka Muhammadiyah sangat berbeda dengan pemurnian ala gerakan-gerakan yang sekadar mengusung kembali pada pemurnian dan cenderung menolak pembaruan, yang pemurniannya pun terbatas pada aspek-aspek parsial seperti tata cara berpakaian dan hal-hal yang simbolik lainnya.

Pemurnian Muhammadiyah juga tidak bersikap konservatif, artinya menolak pikiran-pikiran maju. Sejak awal Kyai Dahlan dan Muhammadiyah yang didirikannya justru memelopori gerakan kemajuan atau pembaruan. Lebih-lebih jika pikiran-pikiran maju itu selain untuk kemaslahatan umat, bangsa, dan dunia kemanuaiaan, juga membawa spirit ijtihad yang sejak awal menjadi ikon utama gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam. Jadi, bukan pemurnian yang parsial, juga tidak bersifat konservatif.

Karena itu, agar pemurnian Islam yang ditawarkan itu bersifat mendasar dan menyeluruh, serta tidak mengarah pada gerakan anti-kemajuan atau anti-pembaruan, maka diperlukan pengayaan-pengayaan. Pertama pengayaan substansi atau isi ajaran. Bahwa Islam “murni” atau Islam “autentik” yang selama ini dijadikan topik utama gerakan, haruslah lahir dari pemahaman Islam yang mendasar dan komprehensif, sehingga benar-benar kaya isi dan pesan.

Jangan mudah mengatakan Islam garis lurus atau Islam murni sebelum benar-benar menampilkan kekayaan Islam yang mendasar, luas, dan menyeluruh. Satu isi atau pesan Al-Qur’an atau Hadis harus dikaitkan dengan pesan-pesan dari ayat Al-Qur’an atau Hadis lain, sehingga bukan pemahaman yang terbatas. Jadi, dari pesan ajaran yang disampaikan tidak serpihan-serpihan.

Kedua, pengayaan metodologi pemahaman. Sudah saatnya gerakan Islam murni dilengkapi dengan tafsir dan metode pemahaman yang multi-dimensi atau multi-disiplin. Tafsir klasik dipadukan dengan tafsir kontemporer secara kritis dan cerdas.

Aspek tekstual selain diperkaya juga harus dikaitkan dengan kontekstual. Manhaj pemahaman burhani, bayani, dan irfani yang dipakai Majelis Tarjih merupakan terobosan yang cerdas dan kokoh, tinggal bagaimana menyebarluaskan dan mengaplikasikannya dalam gerakan pemahaman Islam yang mendasar, luas, dan menyeluruh tadi. Anggota, lebih-lebih kader Muhammadiyah perlu diberi pemahaman mengenai manhaj Tarjih yang luas itu.

Ketiga, pengayaan orientasi. Bahwa pemurnian Islam harus satu paket dengan pembaruan, itulah ciri Muhammadiyah sejak awal. Jika sementara orang ada yang menyatakan Muhammadiyah dalam hal aqidah mengikuti paham Salafiyah, maka Salafiyah Muhammadiyah tampaknya lebih kuat sebagai “Salafiyah Tajdidiyah” atau Salafiyah Reformis. Muhammadiyah dengan pemurniannya juga merambah dunia kehidupan multi-dimensi dengan semangat pembaruan Islam. Jadi, betapa gerakan pemurnian Islam itu tidaklah serpihan dan konservatif, tetapi sangat luas dan berkemajuan. [redaksi]

Exit mobile version