Oleh: Dr Mohammad Damami
Orang yang ber-tauhid tidak sekedar menerima saja konsep “tauhid” secara pasif (ditelan bulat-bulat, taken for granted), melainkan penerimaan konsep “tauhid” tersebut perlu melewati proses-proses kritis (critical) dari manusia berdasar mekanisme kerja akalnya (rasionalisasi) yang kemudian dilanjutkan proses-proses internalisasi (pengendapan dalam alam batin).
Karena itu tampilan luar dari ber-tauhid adalah: pikir (karena adanya proses rasionalisasi) dan dzikir (karena adanya proses internalisasi).
Cara berakidah atau ber-tauhid seperti ini digambarkan Al-Qur’an, paling tidak, dalam dua model, yaitu pembebasan keingintahuan (kuriositas) seperti yang dialami Nabi Ibrahim (Q.s. Al-An’aam, [6]: 75-79), dan keseimbangan renungan kritis seperti yang dilakukan para “Uulu-‘l Albaab” (Q.s. Ali Imran, [3]: 190-191).
Kalau cara berakidah atau ber-tauhid dipahami, setidak-tidaknya seperti di atas, maka setiap individu umat Islam tidak perlu grogi atau tidak percaya diri dalam menghadapi seluruh realitas kehidupan yang ada, terutama terhadap dunia kebudayaan.
Seperti diketahui, seluruh hasil atau produk kebudayaan manusia adalah produk karya budi manusia, baik itu sifatnya kebudayaan immaterial (berupa pandangan hidup yang diformat menjadi religi setempat, pengetahuan, bahasa, seni, sistem organisasi dan sistem mata-pencaharian hidup), maupun kebudayaan material (berupa peralatan hidup buah teknologi). Dasar kerja untuk menghasilkan produk kebudayaan adalah cara berpikir induktif seperti disinggung di depan.
Seperti diketahui produk kebudayaan manusia adalah paralel dengan tuntutan kebutuhan hidup sepanjang sejarah kemanusiaan manusia. Karena itu hal-hal yang sudah tidak dibutuhkan lagi, atau dianggap telah usang, maka sebuah produk kebudayaan tidak dapat berkembang lagi, bahkan lenyap.
Jadi, produk kebudayaan itu dapat berakumulasi naik, dapat juga mengalami kemerosotan atau lenyap. Karena itu pula produk kebudayaan itu sangat mungkin mengalami konjungtur naik-turun.
Patut ditegaskan pula di sini, bahwa produk kebudayaan manusia telah berjasa besar dalam mempertahankan kehidupan manusia sesuai dengan kondisi lingkungan di mana si manusia bertempat tinggal dan hidup. Dengan bermodalkan produk budaya yang diciptakan itulah si manusia bertahan hidup dari kemungkinan seleksi alam (survival of the fittest). Karena itu penciptaan produk budaya adalah sebuah keniscayaan (conditio sine qua non) bagi manusia di planet bumi ini.
Dalam konteks Islam, berakidah atau ber-tauhid tidak dapat lepas dari keniscayaan berproduk budaya di atas. Artinya, pada dasarnya berakidah atau ber-tauhid itu adalah kebutuhan manusia, bukan merupakan kebutuhan Tuhan. Sebab Tuhan tidak dapat dimiripkan sama sekali dengan realitas makhluk (alam semesta) ini (Q.s. Al-Ikhlaash [112]: 4), justru Tuhan adalah sumber permintaan manusia (Q.s. Al-Ikhlaash [112]: 2), karena Allah SwT adalah Maha Kaya dan Maha Terpuji (Q.s. Luqmaan [31]: 26), apa saja yang ada di planet bumi yang hanya satu-satunya ini dan isi langit alam semesta adalah milik Allah SwT.
Kalau logika berakidah atau ber-tauhid dari perspektif keniscayaan berbudaya ini diterima, maka: cara berakidah dan ber-tauhid perlu terus-menerus dipahami secara up to date tanpa mengurangi sedikitpun konsep yang termuat dalam istilah “tauhid”.
Dewasa ini kebudayaan immaterial maupun kebudayaan material sudah sangat maju dan canggih. Untuk masa depan kedua macam kebudayaan tersebut akan terus-menerus mengalami kemajuan dan kecanggihan yang mungkin sekarang belum dapat dibayangkan secara terukur. Dalam konteks yang demikian ini, sudah tentu cara berakidah dan dalam memaknai konsep “tauhid” barangkali perlu diparalelkan dengan kemajuan dan kecanggihannya.
Pada tahun 1990-an, M Amien Rais mulai mengenalkan istilah “tauhid sosial” (lihat: Tauhid Sosial. karya M. Amien Rais, 1995), maka kontekstualisasi “tauhid” ini perlu diperluas dan diperlebar lagi, misalnya berupa “tauhid pandangan hidup/filsafat”, “tauhid pengetahuan”, “tauhid bahasa”, “tauhid seni”, “tauhid sistem organisasi sosial”, “tauhid matapencaharian”, dan “tauhid peralatan hidup/teknologi”. Mengapa tidak?
Ada bahasa simbolik yang mungkin mudah dipahami dalam konteks penyapaan akidah terhadap kebudayaan ini, yaitu: bagaimana cara yang harus diusahakan agar Allah SwT “bekerja” dalam seluruh urat dan tubuh kebudayaan yang terus-menerus mengalami kemajuan dan kecanggihan ini?