Futūr Al-Muballigh: Menimbang Risiko Internal Dan Eksternal

Futūr Al-Muballigh: Menimbang Risiko Internal Dan Eksternal

Oleh: Muhsin Hariyanto

Lemahnya kompetensi para mubaligh bisa menjadi bumerang bukan saja bagi
sang mubaligh, tetapi juga bagi setiap gerakan dakwah dan umat. Karena,
betapa pun baiknya sebuah gerakan dakwah ditata oleh sebuah institusi
dakwah dan kuatnya ghirah keislaman umat, tetap akan berisiko ketika
aktivitas dakwah dipandu oleh pelaku-pelaku dakwah (mubaligh) yang kurang
atau bahkan tidak kompeten.

Oleh karenanya, penguatan kompetensi para
mubaligh — dengan cara apa pun — menjadi sebuah keniscayaan, kapan pun,
di mana pun dan bagi siapa pun, demi kepentingan sang mubaligh, setiap
gerakan dakwah dan umat.

Citra Mubaligh sebagi pelaku dakwah kadang memudar karena faktor internal
mubaligh sendiri. Ada dinamika internal yang ‘mandek’, sehingga melemahkan
potensi dan keberhasilan dakwahnya.

Sebenarnya para mubaligh pada umumnya paham bahwa memelihara semangat,
mengembangkan potensi dakwah bukan merupakan sesuatu yang mudah. Mungkin
karena sesuatu yang terkait langsung dengan kompetensi metodologis maupun
substantif para mubaligh sendiri, maupun kematangan pribadinya yang
terkait dengan motivasinya sebagai seorang “mubaligh” yang semestinya
sudah terbangun sejak awal ketika yang bersangkutan berhimmah untuk
memilih “dakwah” sebagai jalan hidupnya.

Dakwah, sebagai sebuah pilihan hidup, bukanlah sesuatu yang serba
menjanjikan. Bahkan dalam banyak hal merupakan jalan terjal-berliku yang
penuh tantangan. Dan di ketika sang mubaligh tidak cukup kokoh dalam
mempersiapkan dirinya, maka bukan tidak mungkin pada saatnya dia akan
mengalami kerugian, baik dalam menjaga citra pribadinya maupun dalam
meraih capaian-capaian yang diinginnya dalam berdakwah. Di samping itu,
dampak negatif eksternalnya pun tidak mungkin dihindari. Karena, betapa
pun keberhasilan setiap gerakan dakwah akan ditentukan oleh kompetensi
para mubalighnya.

Memahami Peran Mubaligh

Dakwah bukan sekadar melaksanakan kegiatan pengislaman dalam arti formal.
Lebih jauh dari itu, Dakwah diartikan sebagai upaya menyeluruh untuk
menumbuhkembangkan kondisi ideal dalam takaran “Islam”. Sehingga rumusan
tujuannya selalu mengarah pada “pengislaman” dalam arti yang
sebenar-benarnya (Islam dalam pengertian esensialnya).

Kegiatan dakwah yang sebegitu kompleks harus dikemas dengan kemasan proses
yang ideal, yang tentu saja tidak mungkin dilaksanakan oleh para pelaku
dakwah yang tidak atau kurang kompeten, baik dalam pengertian intektual
mapun moral.

Di saat sebuah gerakan dakwah diinginkan untuk menjadi sebuah
mesin-penggerak yang efektif, maka penyiapan para mubaligh yang handal
sudah menjadi sebuah keniscayaan. Karena, betapa pun baiknya sebuah
institusi dakwah, ia tidak akan pernah menjadi sesuatu yang bermakna
ketika tidak diisi oleh pelaku-pelaku dakwah yang kompeten.

Kompentensi mubaligh terkait dengan dua hal penting, di samping
kesemaptaan fisik dan keterampilan manajerial yang yang tidak boleh tidak
harus dimilikinya. Pertama, kompetensi intelektual, yang bermakna
penguasaan materi dan metode dakwah. Kedua, kompetensi moral, yang
bermakna kesemaptaan kepribadian dalam arti spiritual.

Seringkali mubaligh kita tampil dalam sebuah kemasan dakwah dengan
tampilan-tampilan kosmetikal. Bahkan, karena tuntutan publik seseorang
mubaligh ditampilkan dan menampilkan diri dengan topeng-topeng kesalehan
dan kemampuan retorika yang dilatihkan secara instan. Para mubaligh instan
ini bisa jadi muncul di mana-mana dan sebegitu dikagumi oleh umat dengan
kekaguman yang berlebihan karena tampilan kosmetikalnya. Bahkan
akhir-akhir ini ada gejala idolatry yang kurang sehat dalam dunia dakwah,
sehingga sebuah kemasan dakwah yang direduksi menjadi sebuah pertunjukan
‘hiburan’ dianggap menjadi lebih penting daripada sebuah gerakan dakwah
yang sistemik dan sistematik.

Dalam konteks dakwah dalam pengertian ‘awam’, peran para mubaligh instan
ini sangat dirasakan penting oleh umat. Bahkan dalam realitas dakwah, yang
sudah direduksi menjadi kemasan tablīgh bil lisān, pengaruh merekalah
(para mubaligh instan) yang banyak mendominasi pemahaman keislaman umat
Islam. Terkadang sikap kritis umat – yang sudah sebegitu mengidolakan para
mubalighnya — tidak tumbuh subur. Bahkan ironisnya, sikap taqlid terasa
lebih menjamur daripada sikap kritis umat Islam dalam memahami pesan-pesan
dakwah para mubaligh instan ini. Pelajaran-pelajaran mereka tidak jarang
dijadikan sebagai catatan kaki oleh penggemar fanatik mereka, dan bahkan
tidak jarang dijadikan sebagai alas berpikir, bersikap dan bertindak.

Menyikapi fenomena ini, tentu saja kita tidak boleh diam. Sudah seharusnya
fenomena ini menjadi keprihatinan bersama. Karena, betapa pun umat Islam
harus diselamatkan dari idolatry semacam ini dengan solusi yang tepat.

Ketika kita melihat dengan kasat mata betapa para mubaligh tersebut
benar-benar telah menjadi orang-orang yang telah berhasil mempengaruhi,
bukan saja cara berpikir umat Islam, bahkan sampai pada gaya hidup mereka
(umat Islam), sudah saatnya kita cerdaskan umat Islam dengan menampilkan
para mubaligh yang berkualitas memadai untuk menjadi panutan umat. Tugas
kita tentu saja tidak ringan, karena gejala idolatry ini sudah menjadi
bagian yang tak tepisahkan dari umat kita. Idolatry yang bukan saja kepada
para mubaligh handal (yang tidak dapat dibenarkan), lebih parah lagi
kepada para mubaligh instan yang dalam hal ini kurang memiliki kehandalan
baik dalam pengertian intelektual maupun moral.

Pendidikan dan Pelatihan Mubaligh: Sebuah Solusi Alternatif

Bagi Muhammadiyah kegiatan pengkaderan Mubaligh bukan merupakan kegiatan
baru. Tetapi, pertanyaannya, sudahkah Muhammadiyah melakukan kegiatan
pengkaderan mubaligh ini secara sistemik dan sistematik dalam sebuah
kegiatan pendidikan dan pelatihan terpadu dalam sebuah proses yang
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan?

Kini Muhammadiyah sebagaimana sejak dirinya menapakkan dirinya sebagai
gerakan dakwah “amar ma’ruf nahi munkar” tidak pernah tidak memiliki
majelis tabligh. Dan dalam konteks pengembangan pendidikan tingginya
memiliki semumlah fakultas, jurusan dan program studi yang berlabel atau
bermakna “dakwah”. Ada Fakultas Dakwah, Ada Fakultas Agama, Jurusan Dakwah
dan ada pula Program Studi Dakwah dengan label beragam.

Dari majelis tabligh, dengan pelbagi perubahan nama dan bentuknya, dan
sejumlah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
dakwah, sudah adakah kegiatan monitoring dan evaluasi terpadu yang
dilakukan oleh Muhammadiyah yang padairnya melahirkan hasil penelitian
yang dapat dipertanggungjawabkan validitas dan reliabilitasnya secara
ilmiah? Benarkah mereka telah melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan
dakwah yang relevan dengan kebutuhan dakwah Muhammadiyah, saat ini dan
masa mendatang?

Dalam hal ini penulis memiliki asumsi yang agak pesimistik. Dengan melihat
problematika dakwah Muhammadiyah sendiri, penulis tidak begitu yakin bahwa
Muhammadiyah, melalui majelis tablighnya dan lembaga-lembaga pendidikan
formalnya belum melakukan proses pendidikan dan pelatihan dakwahnya dengan
‘tepat dan benar’. Barangkali, masih banyak celah yang perlu diperbaiki
dalam hal penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan dakwah
Muhammadiyah, sehingga benar-benar akan melahirkan mubaligh yang handal,
yang selamanya akan terus diperlukan, baik oleh kalangan Muhammadiyah dan
umat.

Satu hal yang mungkin ditawarkan adalah: “perlunya sinergi yang tertata
antara Persyarikatan Muhammadiyah dan amal usaha Muhammadiyah dalam
menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatikan mubaligh secara
berkesinambungan” untuk menjawab tantangan dakwah saat ini dan masa
mendatang dan mencukupi kebutuhan para mubaligh yang memadai bagi umat
yang haus tuntunan Islam yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Bahaya Futūr, baik bagi para mubaligh atau pun umat Islam yang selalu
menantikan tuntunan para mubaligh, dengan melihat realitas kehidupan
sosial-keagamaan kita sudah bukan sekadar menjadi sebuah kekhawatiran
belaka. Keterpurukan umat dalam ketidaksalehan vertikal dan horisontal
telah bisa kita lihat dengan kasat mata.

Lahirnya para mubaligh instan dan idolatry yang menjadi gejala masif,
sudah semestinya kita sikapi dengan tindakan kongkret. Dengan salah
satunya: “menyiapkan para mubaligh handal, yang kita proses dengan sebuah
kegiatan pendidikan dan pelatihan terpadu”, untuk menggantikan peran
mereka (para mubaligh instan) yang kadang-kadang dengan hanya berbekal
semangat keagamaan dan tampilan-tampilan kosmetikal “maju” ke tengah medan
dakwah dengan semangat heroik. Yang akibatnya bisa kita lihat sendiri:
“banyak di antara mereka yang terpaksa harus menanggung dosa kolektif umat
yang terseok dalam pemahaman yang kurang dapat dipertanggungjawabkan dalam
berislam, baik dalam pengertian intelektual maupun moral.

Dan ironisnya, dalam kesalehan minimal mereka, yang sudah sepantasnya
segera kita gantikan dengan kehadiran wajah baru Islam yang dapat
dipertanggungjawabkan, kita pun kadang-kadang kurang peduli.

————————————-
Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

 

Exit mobile version