Oleh: A. Rosyad Sholeh
Kalau kita mencermati kehidupan masyarakat kita sekarang ini kita harus merasa prihatin. Akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda kehidupan kita, disusul dengan terjadinya krisis keuangan global, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin bertambah besar. Mereka hidup dalam bayangan kelaparan yang sangat memilukan, apalagi harga barang-barang kebutuhan pokok akhir-akhir ini cenderung naik, ditambah adanya ancaman berbagai macam penyakit, seperti flu burung, demam berdarah dan sebagainya. Situasi ini semakin diperburuk dengan terjadinya musibah berupa gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin puting beliung dan sebagainya di berbagai daerah.
Melihat keadaan ini, mestinya hati kita terpanggil untuk mengurangi dan meringankan penderitaan mereka dengan jalan menyisihkan sebagaian rezeki yang kita terima untuk membantu dan menolong mereka, bukan sebaliknya besikap acuh tak acuh, tidak perduli dan bersikap kikir terhadap mereka.
Kikir adalah merupakan sebuah sikap mental yang harus kita jauhi. Sikap mental kikir selain akan mendatangkan kerugian bagi orang lain, juga akan menjerumuskan diri sendiri ke lembah kehinaan. Oleh karena itulah Rasul Allah Muhammad saw mengajarkan , agar kita selalu berdo’a , mohon kehadirat Allah SwT, dilindungi dari memiliki sikap mental kikir dan sikap mental lain yang merugikan. Do’a itu, yang oleh Nabi dianjurkan untuk dibaca pada setiap kesempatan adalah sebagai berikut: “Ya Allah, aku berlindung kepada Mu dari sikap mental hammi atau ragu-ragu, khuzni atau dukacita, ‘ajzi atau lemah, kasli atau malas, bukhli atau kikir, jubni atau penakut, dililit hutang dan intimidasi orang lain”.
Kikir atau bakhil adalah merupakan keadaan jiwa seseorang yang menyebabkan ia mempunyai sikap atau kelakuan menahan atau tidak bersedia memberikan sesuatu, yang seharusnya diberikan. Seseorang yang oleh Allah SwT dikaruniai nikmat berupa harta kekayaan yang melimpah misalnya, seharusnya jiwanya tergerak untuk mengeluarkan zakat, infaq shadaqah dan sebagainya, guna mensucikan hartanya sendiri dan sekaligus meringankan beban orang yang tidak berkemampuan dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Tetapi dalam praktik, seseorang yang telah dikaruniai harta kekayaan yang melimpah itu justru tidak bersedia mengeluarkan zakat dan infaqnya. Jiwanya tidak tergerak, bahkan merasa berat dan sayang mengeluarkan sebagian hartanya untuk diberikan secara cuma-cuma kepada orang lain. Keadaan jiwa serupa itu, yang muncul kepermukaan dalam bentuk sikap atau kelakuan menahan harta yang seharusnya diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya, inilah yang disebut sikap mental kikir atau bakhil itu. Demikian pula disebut kikir, seseorang yang punya kelebihan harta, tetapi sama sekali ia tidak bersedia mengulurkan tangan, memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang lain yang menderita kesusahan atau menghajatkan pertolongan, seperti misalnya orang yang sedang dilanda bencana alam, kelaparan dan sebagainya. Jiwanya merasa lebih tenang melihat kesusahan yang sedang melanda orang lain, daripada ia harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk meringankan beban dan penderitaan orang lain itu.
Termasuk juga dalam pengertian kikir atau bakhil adalah seseorang yang dikaruniai ilmu pengetahuan dalam berbagai macam disiplin, tetapi ia enggan dan tidak bersedia mengajarkan dan menyebarkannya kepada orang lain yang memerlukan. Jiwanya sedikitpun tidak merasa terpanggil untuk memberantas kebodohan dan keterbelakangan yang melanda masyarakat di sekitarnya. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu adalah hasil jerih payahnya sendiri, dan hasil usaha yang telah menelan banyak pengurbanan, baik waktu maupun beaya. Maka itu ia merasa sangat sayang kalau harus mengajarkan ilmunya itu kepada orang lain. Ia baru bersedia mengajar dan memberikan ilmunya kepada aorang lain, apabila diberi imbalan dan penghargaan yang tinggi. Tanpa adanya imbalan yang cukup, ia tidak sudi menyampaikan ilmu pengetahuan yang dikuasainya itu, meskipun ia tahu bahwa masyarakat sangat memerlukan keterangan dan penerangan.
Demikian pula termasuk dalam kategori sikap mental kikir atau bakhil, adalah seseorang yang memiliki keahlian dan ketrampilan tertentu, tetapi ia tidak bersedia memberikan bantuan dan pertolongan kepada orang yang benar-benar memerlukan pertolongan, hanya karena orang tersebut tidak mampu memberikan imbalan yang cukup atas jasa yang telah diberikannya itu.
Juga termasuk dalam pengertian kikir atau bakhil, adalah seseorang yang dikaruniai hidayah atau petunjuk dan seseorang yang mengerti kebenaran, tetapi ia tidak bersedia menerangkan kebenaran itu kepada orang lain, bahkan sengaja menggelapkannya, padahal masyarakat sangat menghajatkan keterangan dan penerangan. Orang-orang Yahudi tempo dulu, tidak bersedia dan enggan memberikan keterangan kepada kaumnya tentang kedatangan Nabi dan Rasul Allah terakhir, yaitu Nabi Muihammad saw, bahkan mereka sengaja menggelapkan keterangan Allah SwT dalam kitab suci mereka tentang akan datangnya Nabi dan Rasul penutup itu, sehingga banyak sekali kaumnya yang tidak sempat mendapatkan keterangan tentang hidayah Islam, dapatlah dikategorikan sebagai sikap mental kikir atau bakhil juga.
Sikap mental kikir atau bakhil, terhadap harta misalnya, dapat tumbuh dan berkembang pada diri seseorang, ini disebabkan oleh berbagai macam faktor. Antara lain adalah akibat dorongan nafsu memiliki dan menguasai harta kekayaan secara berlebihan. Artinya, seseorang yang karena cintanya terhadap harta kekayaan sangat berlebihan, ia punya keinginan dan hasrat yang sangat kuat untuk mengumpulkan dan menguasai harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Dan karena cintanya terhadap harta kekayaan yang berlebihan itu, iapun akhirnya merasa sayang pula untuk mengeluarkan dan membelanjakan hartanya itu, meskipun ia tahu bahwa sebenarnya ia wajib membelanjakan hartanya itu. Ada juga sementara orang, yang karena sangat cintanya kepada harta kekayaan, sampai ia merasa sayang membelanjakan hartanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan keluarganya. Ia lebih senang menderita, hidup dalam serba kekurangan daripada ia harus membelanjakan harta kekayaan yang sangat dicintainya itu. Kikir kepada diri sendiri, tentu saja merupakan sikap mental yang sudah keterlaluan.
Orang yang bersikap mental kikir itu punya anggapan bahwa dengan sikapnya itu ia akan mendapatkan manfaat dan keuntungan. Dengan hartanya yang bertumpuk itu ia merasa kehidupan diri dan keluarganya bahkan keturunannya akan terjamin. Orang yang kikir tidak menyadari, bahwa justru dengan sikapnya itu ia akan mendapatkan banyak kesulitan dan kerugian, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Orang yang kikir, betapapun tinggi pangkat dan kedudukannya dan betapapun melimpah harta kekayaannya, masyarakat akan menjauhinya. Dalam kehidupan sehari-hari, ia akan dipencilkan. Bila pada suatu ketika ia mengalami kesulitan, maka tidak ada seorangpun yang sudi dan bersedia menolongnya. Kalaupun ada yang bersedia membantunya, adalah semata-mata dengan maksud menjilat atau mencari keuntungan tertentu, tidak didasarkan pada keikhlasan dan rasa simpati. Sedang di akhirat kelak, jelas harta kekayaan yang dikikirkannya itu akan menjadi baban dan menambah lebih beratnya siksa dan azab Allah. Na’uzubillah.