Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam (Era Kebangkitan Kembali Islam)

Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam (Era Kebangkitan Kembali Islam)

Foto Dok Ilustrasi

Oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.

 Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan Islam. Bagaimana hubungan Muhammadiyah dengan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam? Masalah ini perlu dikaji untuk mengetahui benang merah sejarah pembaruan Islam, sekaligus keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berwatak tajdid di Indonesia.

Muhammadiyah sejak kelahirannya di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah atau 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah memang memiliki karakter atau watak kuat sebagai gerakan tajdid. Kyai Haji Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah dikenal pula sebagai mujadid atau pembaru karena sejumlah gagasan dan langkah gerakannya yang bertsifat pembaruan. Kelahiran Muhammadiyah dan ketokohan Kyai Dahlan pada awal abad ke-20 di negeri tercinta ini memang benar-benar membawa pembaruan ketika saat itu umat Islam berada dalam kondisi jumud (statis) dari segi paham dan pemikiran keagamaan serta tertinggal dalam kondisi kehidupan.

Bermacam-macam istilah diberikan untuk gerakan pembaruan di dunia Islam. Selain istilah yang paling populer yaitu tajdid fi al-Islam (pembaruan Islam) juga muncul istilah lain yakni kebangkitan Islam (al-sahwa al-Islamy, al-ba’ats al-Islamy) atau revivalisme Islam (the revival of Islam, gerakan pemurnian atau menghidupkan kembali paham salaf (muhyi atsari al-salaf ), gerakan membangun dunia baru Islam (the new world of Islam), modernisme Islam, reformisme Islam, dan sebagainya. Setiap istilah memiliki pandangan atau konsep tertentu, namun untuk Muhammadiyah sebenarnya bermuara pada sifat dan orientasi gerakan pembaruan, yakni gerakan yang memperbarui cara pandang atau paham tentang Islam guna menjawab persoalan-persoalan kehidupan yang bersifat kekinian.

Kendati dalam sejumlah hal memiliki kekhasan watak dan fokus gerakannya, karena itu kelahiran Muhammadiyah sering dikaitkan dengan gerakan-gerakan pembaruan di dunia Islam yang terjadi sebelumnya. Muhammadiyah merupakan matarantai gerakan pembaruan Islam yang memiliki spirit dan pemikiran yang terjalin dengan gerakan kebangkitan Islam di dunia Islam khususnya yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha. Tokoh-tokoh ternama tersebut merupakan lokomotif gerakan kebangkitan atau pembaruan di dunia Islam. Kyai Haji Ahmad Dahlan memiliki semangat dan pemikiran yang lekat dengan para pembaru Islam tersebut, kendati menurut sebagian pendapat pendiri Muhammadiyah itu jauh lebih dekat pemikiran dan gerakannya dengan Muhammad Abduh ketimbang dengan lainnya.

Kelahiran gerakan pembaruan atau kebangkitan di dunia Islam tidak terlepas dari situasi umat Islam sedunia yang kala itu mengalamai kemunduran setelah berlalunya masa kejayaan atau keemasan Islam di abad ke-7 sampai ke-13 masehi. Sebagaimana sejarah menunjukkan bahwa abad ke-13 masehi merupakan era kemunduran peradaban Islam setelah kekuasaan Islam di Spanyol (Cordova) jatuh ke tangan pihak Nasrani usai kekalahan pasukan Islam di Las Navas de Tolosa tahun 1213 masehi dan puncaknya lagi pasca kejatuhan Baghdad pada tahun 1258 akibat serangan tentara Mongol. Pasca kejatuhan Islam tersebut bukan hanya dari segi politik dan militer dunia Islam terus mengalami kekalahan dan pelemahan, tetapi juga mengimbas ke krisis aqidah dan paham keagamaan yang mengalami penyimpangan dan kejumudan.

Lothrop Stoddard (1966: 29) melukiskan dengan tepat, bahwa pada abad ke-13 masehi itu dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan yang terdalam. Di manapun tidak ada tanda adanya tenaga sehat dan di mana-mana terdapat kemacetan dan pembekuan. Kerusakan budi dan moral amalah parah. Apa yang masih tinggal dari kebudayaan Arab lenyap ditelan kemewahan yang di luar batas oleh segolongan kecil maupun besar yang juga mengalami degradasi. Pengajaran atau pendidikan pun terhenti. Sejumlah universitas yang masih ada terdampar pada pembekuan. Masyarakat muslim hidup miskin dan tak diacukannya. Pemerintahan Islam menjadi despotik, kadang terjadi anarkhi dan berbagai pembunuhan. Pegawai pemerintahan yang curang memeras dan merampas rakyat habis-habisan. Petani dan orang kota patah semangat hidupnya untuk bekerja dan berusaha. Pertanian dan perdagangan pun jatuh dan merosot sekali. Sedangkan agama pun membeku, ketauhidan yang diajarkan Nabi Muhammad telah diselubungi khurafat dan paham kesufian. Masjid-masjid ditinggalkan golongan besar awam. Golongan awam itu menghias diri dengan azimat, penangkal penyakit, dan tasbih sambil belajar pada darwis-darwis dan menjiarahi kuburan-kuburan orang-orang yang dikeramatkan. Orang-orang awam itu tidak lagi hirau dengan aklak yang diajarkan Al-Quran, bahkan minum arak dan melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Akhlak merosot dan rusak kehormatan diri. Kota Makkah dan Madinah tak lagi berwibawa. Pendek kata, kehidupan Islam telah lenyap, meninggalkan ritus dan tak berjiwa, serta dilanda kenunduran yang meluas.

Jadi, sejak kejatuhan Cordova dan Baghdad itulah dunia Islam diliputi kegelapan. Itulah era kemunduran peradaban dan kebudayaan Islam. Agama Islam kehilangan kemurniannya, artinya para pemeluknya tidak lagi mempraktikkan Islam yang autentik (murni, aseli) sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad dan generasi Salaf al-Shalih (generasi sahabat, tabi‘in, dan tabi‘ut tabi‘in). Praktik Islam melenceng dari sumbernya yang utama, yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbulah). Sementara itu pintu ijtihad ditututp rapat-rapat dan sebaliknya taklid berkembang, sehingga umat Islam jatuh dalam kejumudan (statis) dan kehilangan daya hidup serta kemajuan.

Kehadiran pasukan Mongol ke jantung peradaban Islam di Baghdad telah menimbulkan dua kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik kehidupan dan keagamaan yang bersifat mitis dan kemudian mencemari aqidah dan moral umat kala itu, yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam. Kedua, kejatuhan politik Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral, lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan. Dalam kondisi yang demikian itulah maka muncul gerakan untuk memurnikan kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan sebagaimana dipelopori oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (1263-1328) untuk memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam.

Tema utama pemikiran Ibn Taimiyah ialah gerakan al-ruju‘ ila al-Quran wa al-Sunnah, yakni mengajak kembali pada sumber ajaran Islam yang aseli atau murni yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan tekanan pada pemunrian aqidah (tandhif al-‘aqidah al-Islamiyyah), gerakan ini sering disebut dengan muhyi atsar al-salaf, yakni menghidupkan kembali ajaran Salaf yang salih, yakni praktik ajaran Islam zaman Nabi dan tiga generasi sesudahnya yakni generasi para sahabat, tabi‘in, dan tabi’ut tabi‘in. Jadi konteks pemurnian Ibn Taimiyah saat itu memang karena ada kondisi pencemaran praktik ajaran Islam dari syirk, tahayul, bud’ah, dan khurafat sebagai pengaruh dari kehadiran bangsa Mongol dan juga Persia yang membawa atau menghidupkan kembali paganisme. Gerakan dan pemikiran pemikir Islam abad tengah ini memiliki spirit pula dengan pemikiran Imam Ibn Hanbal, yang menghidupkan salafisme (salafiyyah), tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran aqidah, tetapi terbuka pada ijtihad. Namun karena Ibn Taimiyah sendiri kaya akan pemikiran, maka warna pemurnian Islam yang dibawanya bersenyawa dengan spirit ijtihad dan orientasi pada membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dan kejumudan.

Pembaruan yang dipelopori Ibn Taimiyah memperoleh dukungan kuat dan dilanjutkan oleh muridnya Ibn Qayyim al-Djauziah (1292-1350) terutama dengan tekanan pada pemurniannya, bahkan tiga abad setelah itu digelorakan kembali oleh Muhammad bin Abdil Wahhab (1703-1787) di jazirah Arabia dengan corak dan warna pemurnian yang lebih keras, yang dikenal pula dengan gerakan Wahhabiyah atau Wahabi. Setelah itu, gerakan pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh sentuhan politik yang kuat dan meluas melalui tokoh pembaru Jamaluddin Al-Afghani (1838-1797), kemudian di bidang pemikiran dan pendidikan oleh pembaru dari Mesir Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya yang lebih keras Syekh Muhammad Rashid Ridla (1856-1935). Sedangkan pembaruan di Anak Benua India ialah Sayyid Ahmad Khan (1817-1897).

Dalam matarantai pembaruan Islam di dunia muslim pasca kejatuhan peradaban Islam itulah lahir Muhammadiyah sebagai salah satu pelopor gerakan pembaruan Islam di Indonesia.

Exit mobile version