Oleh: Mustofa W Hasyim, Anggota LSBO PP Muhammadiyah, Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta.
Pentingnya Kecerdasan Budaya
Salah satu kunci penting untuk meraih sukses hidup anak-anak kita di masa depan adalah kecerdasan budaya. Anak yang memiliki kecerdasan budaya tinggi lebih memiliki peluang untuk sukses hidup ketimbang anak-anak yang kecerdasan budayanya rendah. Sebab anak yang memiliki kecerdasan budaya tinggi mampu memandang hidup ini secara positif, penuh peluang sukses dan mampu merancang sukses hidupnya lewat pilihan-pilihan yang tepat. Selain itu, ia memiliki kekayaan nilai-nilai budaya positif yang ditimba dari kearifan nilai-nilai agama, kearifan nilai-nilai keluarga, kearifan nilai-nilai masyarakat (budaya lokal), kearifan nilai-nilai pergaulan yang lebih luas (budaya nasional dan global).
Sayang sekali banyak di antara kita yang mengabaikan kecerdasan budaya ini. Kita cenderung larut (liberal) dalam gelombang budaya sehari-hari, atau sebaliknya, kita cenderung menutup diri (isolatip) terhadap doinamika budaya yang ada. Padahal, terlalu terbuka banyak madlorotnya, demikian juga terlalu menutup diri. Yang tepat, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah dalam Al Qur’an, kita berada di tengah-tengah, atau mengambil posisi tengah-tengah. Tidak terlalu terbuka dan tidak terlalu tertutup. Lantas kapan kita harus bersikap terbuka, dan kapan kita harus mengambil sikap tertutup? Untuk menekan apakah tombol open atau tombol close yang harus ditekan pada suatu saat, sangat dibutuhkan kecerdasan budaya.
Selama ini kita menganggap enteng masalah itu.
Akibatnya, anak-anak kita sering mengalami kesulitan dalam meraih sukses hidup. Anak-anak kita tidak siap menghadapi gelombang perubahan budaya yang berlangsung setiap detik. Coba dihitung berapa banyak anak-anak kita yang larut, hilang kepribadian, menjadi pecandu televisi, menjadi pecandu mall, supermall, supermarket atau hipermarket, atau hidup penuh bayang-bayang ketakutan oleh roh halus, dan semata-mata lahir ke dunia ini seolah-olah hanya punya satu pilihan. Menjadi obyek, menjadi sasaran, menjadi target, menjadi makmum, menjadi penonton,menjadi korban dan dikorbankan. Tubuhnya ditimbuni racun makanan cepat saji, makanan ringan penyebab kanker dan paru-parunya kenyang dengan udara beracun.
Anak-anak kita telah ditaklukkan, kemudian dijajah oleh sesuatu yang tidak nampak oleh kita. Oleh berbagai perubahan budaya yang dioperatori atau digerakkan oleh orang lain. Sangat mungkin, anak-anak kita akan hilang dalam pusaran zaman. Tidak pernah punya konsep diri, tidak pernah sadar diri, tidak pernah sadar lingkungan (lingkungan budaya ini apa munkar apa makruf mereka bingung menilainya), akibatnya tidak pernah sadar langkah. Lalu yang paling enak ya ambil jalan pintas, menjadi makhluk hedonis, menjadi makhluk materialis sekaligus sekularis dalam arti sebenarnya
Itulah tantangan kita di masa depan. Sebuah tantangan yang amat berat tetapi harus tetap dihadapi dan diatasi.
Agenda Pengembangan Kecerdasa Budaya
Karena kecerdasan budaya memang merupakan salah satu senjata atau bekal yang cukup andal dalam menghadapi tantangan di masa depan maka harus ada agenda pengembangamn kecerdasan budaya dalam praktik pendidikan kita. Baik dalam pendidikan yang terlembaga secara formal, misalnya dalam sistem persekolahan, maupun dalam pendidikan yang tidak begitu terlembaga seperti dalam masyarakat dan keluarga.
Adapun beberapa agenda pengembangan kecerdsan budaya yang cukup penting disebut antara lain; Pertama, kita perlu senantiasa berupaya untuk terbuka dalam menafsirkan ajaran dan nilai-nilai agama secara baru dan segar. Kedua, kita perlu senantiasa berupaya untuk terbuka dan memandang hidup dan dunia ini secara baru dan segar.
Ketiga, kita perlu senantiasa berupaya membekali diri kita dan anak-anak dengan nilai-nilai dasar (nilai agama, nilai budaya, nilai kemanusiaan, misalnya), ilmu-ilmu dasar (berbagai bahasa secara aktif, berhitung, ilmu alam, ilmu hayat, humaniora, misalnya) ketrampilan dasar (ketrampilan berekspresi, ketrampilan mempertahankan hidup, ketrampilan mengembangan hidup, ketrampilan berteknologi misalnya) dan wawasan dasar yang luas dan utuh (wawasan agama, wawasan budaya, wawasan sosial, wawasan ekonomi, wawasan politik, misalnya.
Keempat, kita perlu senantiasa berlatih dan melatih untuk menghadapi persoalan, menyelesaikan persoalan, dan memilih alternatif terbaik dalam menyelesaikan persoalan. Jangan sekali-sekali kita lari dan meninggalkan persoalan.
Kelima, ita perlu senantiasa menyadari dan menjadikan kesadaran kita itu sebagai bahan pertimbangan dalam bertindak, bahwa dalam kehidupan yang makin rumit sekarang dan nanti hampir selalu ada salinghubungan dan salingketergantungan antara apa yang terjadi dalam diri kita dengan apa yang terjadi dalam keluarga, dengan apa yang terjadi dalam masyarakat, dengan apa yang terjadi dalam negara dan dengan apa yang terjadi dalam dunia internasional global sekarang. Untuk ini kita perlu mengembangkan kemampuan niteni agar salinghubungan dan salingketergantungan itu tidak merugikan kita. Misalnya, kalau presidennya ganti apa menterinya banyak yang pro Islam apa tidak,lantas apa saja sumber alam kita yang dicaplok orang asing ada tidak, dan sebagainya.
Keenam, kita perlu senantiasa memupuk motivasi untuk berpreastasi (muluknya, motivasi untuk menaklukkan dunia agar dapat memenangkan akhirat), senantiasa melakukan reorientasi jika keadaan berubah sewaktu-waktu dan senantiasa memfungsikan hati nurani, akal, fikiran, perasaan secara optimal ketika memutuskan untuk melakukan tindakan.
Ketujuh, kita perlu juga senantiasa berupaya untuk melakukan berbagai transformasi (transformasi budaya, transformasi sosial, transformasi pendidikan, transformasi politik, transformasi ekonomi, transformasi kepemimpinan agama) yang bertumpu pada kreativitas yang prima. Tanpa upaya transformasi kehidupan kita akan macet dan hanya menghadapi jalan buntuk.
Bagaimana dengan Anak Kita
Begitulah berbagai agenda yang perlu dipertimbangkan jika kita ingin mengembangkan kecerdasan budaya bagi diri kita dan anak-anak kita. Kita tahu di masa silam banyak pemimpin nasional tumbuh karena mereka memiliki kecerdasan budaya. Kalau KHA Dahlan lebih memilih kedudukan empuk sebagai penghulu maka tidak akan lahir Muhammadiyah, kalau Soekarno lebih memilih menjadi arsitek kaya beristri cantik maka dia tidak akan menjadi Presiden, kalau Mohammad Hatta lebih memilih menjadi pegawai Belanda maka tidak akan ada dwitunggal prokalamator kita, kalau Mohammad Natsir lebih memilih mengambil beasiswa yang diberikan Belanda, bukannya pergi ke Bandung untuk berguru kepada A Hassan maka tidak pernah ada Perdana Menteri dari Masyumi yang kinerjanya selalu dipuji orang, kalau Jenderal Sudirman lebih asyik menjadi guru dan tidak cerdas memanfaatkan pendidikan militer yang ditawarkan oleh Jepang maka tidak pernah lahir seorang Panglima Besar yang amat konsisten perjuangannya sehingga dengan paru-paru separo mau dan mau memimpin gerilya dari gunung-gunung. Kalau seorang Heri Zudianto lebih suka hidup mapan menjadi akuntan pada sebuah pabrik batik milik orang lain di Solo maka tidak mungkin lahir Al Fath dan grupnya dan tidak mungkin ada Walikota Yogyakarta yang lahir dari keluarga besar Muhammadiyah. Kalau seorang Amien Rais lebih suka menikmati gaji dan fasilitas sebagai dosen maka tidak pernah ada reformasi dan suksesi di negeri ini. Kalau Emha Ainun Nadjib lebih suka menjadi sarjana ekonomi maka sulit kita membayangkan dia muncul sebagai budayawan yang berkelas dunia.
Para pemimpin itu memiliki kecerdasan budaya Bagaimana anak-anak kita?