Oleh: Deni al Asy’ari *)
Dalam sebuah kalimat bijaknya, seorang ulama besar Buya Hamka sering menyampaikan, “ Kalau makan sekedar makan, babi di hutan juga makan, dan kalau kerja sekedar kerja, monyet di hutan juga kerja”. Ungkapan Buya Hamka ini menyadarkan kita, tentang makna dari sebuah pekerjaan. Sebab sebagai makhluk hidup, hari-hari perjalanan kita, tidak bisa lepas yang namanya pekerjaan. Baik bekerja sebagai ibu/bapak rumah tangga, bekerja sebagai karyawan toko, bekerja sebagai jurnalis, bekerja sebagai penulis, bekerja sebagai pedagang, bekerja sebagai birokrat, bekerja sebagai dosen dan guru, bekerja sebagai dokter, bekerja sebagai pejabat publik, bekerja sebagai petani, bekerja sebagai nelayan, dan banyak aktitas lainnya yang kita sebut sebagai sebuah pekerjaan.
Namun bagaimana manusia memaknai pekerjaan, tentu jawabannya sangat beragam. Akan tetapi dari sekian banyak pandangan manusia tentang hakikat dan makna kerja, secara garis besar, dapat disimpulkan dalam dua kalimat ini, 1) bahwa kerja untuk hidup atau, 2) kerja untuk kehidupan. Dua kalimat ini memiliki makna dan tujuan yang berbeda. Kalimat pertama ( kerja untuk hidup), memiliki makna, bahwa kerja adalah semata-mata urusan untuk mencari materi. Dalam pandangan ini, manusia tidak ubahnya menempatkan diri sebagai budak dari pekerjaanya. Sementara kalimat yang kedua ( kerja untuk kehidupan), memiliki makna bahwa kerja adalah wujud atas eksistensi diri yang memiliki nilai tambah (added value) bagi diri dan kehidupan. Dalam pandangan kedua ini, manusia menempatkan dirinya sebagai tuan atau raja atas pekerjaannya.
Kalimat bijak Buya Hamka di atas, tentu bukan ditujukan untuk pandangan kedua, namun sepertinya untuk pandangan pertama, dimana kerja hanya untuk kerja atau kerja hanya untuk materi. Sebab cara pandang yang seperti ini, sesungguhnya secara tidak langsung, membatasi hakikat manusia sebagai insan yang memiliki pikiran, perasaan, cita-cita, tujuan,dan harapan akan masa depan kehidupan ini. Dengan menguburkan hakikat kedirian manusia sebagai insan yang sempurna, justru memaksa manusia menjadi budak dari pekerjaannya.
Bagi mereka yang bekerja di depan komputer, mulai pagi hari hingga sore jam pulang kerja, ia sudah disibukkan oleh perintah kerja komputer atau perintah kerjaan reguler yang ada untuk di jalankan demi memperoleh materi/finansial. Bagi mereka yang bekerja sebagai karyawan toko, setiap hari hingga pulang kerja, ia dinanti oleh seabrek kerja penjualan, begitu pula dengan kerja-kerja lainnya. Bagi pandangan ini, bekerja dengan tujuan dapat hidup dan dapat memperoleh materi, adalah puncak kepuasan yang tinggi. Oleh karenanya, tipe pandangan ini, tidak memiliki orientasi dan mental inovasi, mental kreatif, mental bereksperimen, mental yang lebih progresif. Sebab dengan pekerjaan yang rutin dijalankan, sudah cukup untuk ia memperoleh materi.
Bahkan bagi pekerja kantor misalnya, dia tidak akan mau membuang-buang energi dan waktunya untuk berinovasi dan berkreasi, karena lantaran pendapatan yang diperolehnya dalam bekerja tidak berbeda dengan dia bekerja biasa. Sehingga, tidak heran, jika kadang muncul celotehan “ gaji cuman segitu, cukup kerjaan begini saja” atau dalam bahasa lain, “ buat apa untuk meningkatkan kualitas kerja dengan berinovasi, berkreasi dan bereksperimen, jika pendapatan juga tetap sama”.
Memang sekilas tampak, ia akan memperoleh kenikmatan dalam bekerja karena tidak harus buang-buang waktu untuk berinovasi dan bereksperimen, namun ia tetap memperoleh materi. Akan tetapi justru secara diam-diam ia mengubur eksistensi dirinya sebagai manusia yang super dan luar biasa dibandingkan makhluk lainnya. Dan lama-kelamaan, sebagai manusia atas mesin-mesin atau pekerjaan yang diciptakan, bukan menjadikannya sebagi raja bagi pekerjaanya, namun justru ia menjadi budak yang harus mengikuti perintah kerja sebagai tuannya.
Berbeda dengan pandangan kedua “ kerja untuk kehidupan”. Dalam pandangan ini, kerja sebagai perwujudan eksistensi dirinya sebagai manusia super dan luar biasa dibandingkan makhluk lainnya. Bagi pandangan ini, setiap pekerjaan harus memiliki nilai tambah ( added value) dari apa yang dikerjakan. Atau dalam makna lain, pekerjaan yang dikerjakan memiliki nilai manfaat bagi dirinya maupun bagi kehidupan (to leave e legacy). Sehingga, dengan memposisikan pekerjaan sebagai bagian yang memiliki nilai tambah dan manfaat bagi kehidupan, setiap insan, akan selalu membangun kreativitas dan meningkatkan kemampuannya dalam menjalankan pekerjaan. Sebab baginya, kerjaan adalah wahana, agar dia bisa menjadikan dirinya sebagai pribadi yang sempurna, dengan memberikan aspek manfaat dari pekerjaan yang dikerjakannya.
Menurut Al Manawi, pengarang kitab Faydh al Qadit, nilai manfaat itu bisa diberikan melalui ihsan, yakni kemampuan kita berbagi kebaikan kepada orang lain, baik melalui harta (bi al mal), maupun melalui kuasa (bi al-jah) yang kita miliki. Disamping itu, nilai manfaat dari pekerjaan juga bisa diberikan dalam bentuk kerativitas, pemikiran dan pengalaman, motivasi, serta kinerja yang lebih dibandingkan dari apa yang kita dapatkan.
Sebab jika seseorang membatasi kualitas kerjanya dengan gaji atau pendapatan yang diperolehnya, maka sesungguhnya dia membatasi kualitas dirinya sebatas materi yang dia peroleh. Namun berbeda dengan mereka yang berpikir dan bekerja lebih dibandingkan dengan materi yang didapatnya, maka sesungguhnya, kualitas dirinya berada di atas materi yang diperolehnya. Sebab dengan kualitas kerja yang lebih dan kreativitas yang tinggi, tentunya akan memberikan manfaat yang besar, baik bagi dirinya, maupun bagi perusahaan/kantor dimana dia bekerja.
Oleh karenanya tidak heran, jika dalam banyak kisah, ada beberapa contoh seorang pekerja di level Office Boy (OB) dalam sebuah perusahaan, namun karena kualitas kerjanya melebihi dari apa yang ia peroleh, justru pada akhirnya, ia pun bisa menduduki posisi-posisi strategis, seperti kepala bagian atau posisi lainya di perusahaan tersebut.
*) Penulis adalah Anak Urang Agam Koto Bukittinggi