Oleh: Achmad Afandi
Konsep ilmu pengetahuan di dalam al-Qur’an sebenarnya sudah sedemikian lengkapnya. Hanya saja dalam pengembangannya untuk kemaslahatan umat manusia, sejak awal ummat Islam masih tertinggal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, seperti Yunani, Rumawi, Persia, Cina, dan bahkan juga India. Sebagai upaya untuk memahami konsep-konsep ilmu pengetahuan di dalam al-Qur’an, para cendikiawan muslim mencoba menggali hasil-hasil kajian dari bangsa-bangsa yang sudah maju di atas untuk diselaraskan dengan konsep-konsep al-Qur’an. Salah satu bentuk upaya penggalian itu adalah melalui gerakan penerjemahan terhadap karya-karya cendikiawan non muslim dari bangsa-bangsa yang maju. Sebagai hasilnya kemudian muncul karya-karya cendikiawan Islam masa klasik yang sangat banyak dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang kemudian mengantarkan peradaban Islam pada kejayaannya sejak abad 9 sampai dengan 11 M.
Gerakan penerjemahan merupakan salah satu jalan utama menuju kemajuan umat Islam di bindang ilmu pengetahuan. Seperti dikatakan John L. Eposito, bahwa gerakan penerjemahan merupakan satu aspek bagi kemunculan ilmu pengetahun dalam realitas kehidupan umat Islam. Dari gerakan penerjemahan itulah umat Islam kemudian mengenal berbagai ragam ilmu pengetahuan yang selanjutnya dapat dikembangkan lebih maju.
Eugene A. Miyers dalam bukunya, Arabic Thaught and The Western Word in the Golden Age of Islam, menyatakan bahwa gerakan penerjemahan terbukti menjadi sesuatu yang memainkan peranan utama dalam menjadikan Islam sebagai pusat pengetahuan. Aktivitas penerjemahan memungkinkan satu kebudayaan dapat memperlajari kebudayaan lainnya dan hasil yang diperoleh melalui penerjemahan lebih menakjubkan daripada kemajuan melalui penaklukan terhadap wilayah-wilayah lain.
Kemandegan Gerakan Terjemahan
Sebenarnya cukup lama, yaitu sekitar 3 abad (abad 9-11 M), umat Islam berada pada era keemasan, temasuk di bidang ilmu pengetahuan. Hanya saja, jika dibandingkan dengan lamanya perjalanan sejarah umat Islam yang kini telah mencapai 15 abad, masa keemasan selama 3 abad hampir tidak ada apa-apanya. Selepas abad 11 M dan masuk abad 12 M, umat Islam yang sebelumnya begitu semangat mengejar ilmu pengetahuan ke segala penjuru dunia tiba-tiba mengedur dan praktis berhenti begitu memasuki abad 13 M.
Berhentinya sebagian besar aktivitas umat Islam dalam membangun kemajuan ilmu pengetahuan selanjutnya berdampak pada menganggurnya berjuta-juta khazanah yang ditinggalkan generasi sebelumnya. Khazanah ilmu pengetahuan yang cukup kaya dan banyak kemudian hanya menjadi barang pajangan di lemari-lemari dan rak-rak kitab di perpustakaan yang tersebar di kota-kota Islam.
Ketika umat Islam asyik dalam kemundurannya, tiba-tiba bangsa Barat menggeliat dan mengalami pencerahan. Belajar dari pengalaman umat Islam yang sukses membangun kemajuannya salah satunya melalui gerakan penerjemahan kemudian ditiru oleh bangsa Barat. Bangsa barat semakin bersemangat melakukan gerakan penerjamahan terhadap khazanah umat Islam setelah mereka menyadari bahwa sebenarnya telah banyak khazanah ilmu pengetahuan nenek moyangnya telah diambil oleh umat Islam. Oleh karena itu, pada abad 14-15 M bangsa Barat balik melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran terhadap khazanah milik umat Islam.
Hasil dari gerakan bangsa Barat itu, kemudian hampir tiga perempat dari khazanah ilmu pengetahaun umat Islam jatuh ke tangan mereka. Oleh karena itu, nama-nama ilmuwan muslim yang cukup tersohor seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Farabi, al-Kindi, al-Fargahni, al-Khawarizmi, ar-Razi, al-Kawakibi dan sebaginya lebih dikenal oleh bangsa Barat dengan nama-nama yang dibaratkan dibandingkan oleh umat Islam. Bahkan, teori-teori keilmuan mereka lebih banyak dikuasai oleh bangsa Barat dibandingkan oleh umat Islam. Praktis, sejak abad 15 M, superioritas umat Islam di bidang ilmu pengetahuan jatuh terjerambab ke jurang yang terendah dibandingkan dengan bangsa Barat.
Tidak hanya khazanah-khazanah ilmu pengetahuan al-aqliyah saja yang direbut oleh bangsa Barat dari umat Islam. Bahkan, khazanah ilmu pengetahuan di bidang ilmu keislaman (an-naqliyah), misal ilmu tafsir, hadits, ushul dan fiqih, nahwu, teologi, tasawwuf dan sebagainya juga secara sempurna mereka ambil. Oleh karena itu, orang-orang Barat yang notebene non muslim jauh lebih menguasai khazanah ilmu pengetahuan keislaman dibandingkan dengan umat Islam sendiri
Lamanya masa kemunduran umat Islam di bidang ilmu pengetahuan yang hingga sekarang masih belum juga mengalami kebangkitan, tidak dapat dipungkiri, salah satu penyebanya adalah karena adanya keterlambatan untuk memilikinya. Umat Islam juga terlambat untuk segera menerjemahkan segenap kekayaan khazanah ilmu pengetahuannya, termasuk juga khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang cukup banyak ke dalam bahasa-bahasa lokalnya.
Gerakan Terjemahan Khazanah Islam di Indonesia
Memasuki abad 20 M, sekitar 10 abad setelah umat Islam mulai mengalami era kemunduran, umat Islam di Indonesia mulai menggeliat. Sekitar 1000 tahun lamanya bukanlah waktu yang cukup singkat bagi umur satu komunitas. Meski demikian, terlambat tidak apa-apa dibandingkan tidak sama sekali. Mungkin gerakan penterjemahan terhadap khazanah ilmu pengetahuan Islam, khususnya yang berkaitan dengan ilmu keislaman telah dimulai cukup lama di awal-awal abad 20 M. Hanya saja, hasil-hasil penterjemahan itu masih cukup terbatas dan baru dinikmati oleh kalangan yang terbatas juga.
Semakin lama geliat umat Islam di Indonesia dalam hal gerakan penterjemahan semakin menunjukkan grafik kenaikan, khususnya setelah memasuki era kemerdekaan. Beberapa upaya penterjemahan terhadap khazanah pengetahuan Islam masa klasik mulai gencar dilakukan, khususnya di bidang fiqih dan tasawwuf, missal kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, KitabSubulus Salam, Kitab Riyadhus Shalihi, Kitab Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Atsqalani, Kitab Induk al-‘Um karya Imam asy-Syafi’i, dan Kitab Muktashar Nailul Authar karya dari Imam asy-Syaukani. Hampir semua kitab-kitab itu diterjemahkan pada era 1980-an oleh penerbit Bina Ilmu.
Memasuki era 1990-an, satu gebrakan dilakukan oleh Penerbit Asy-Syifa’. Dia mulai menerbitkan beberapa kitab hasil terjemahan mulai dari kitab-kitab hadits, fiqih dan juga tafsir. Satu gebrakan yang spektakuler adalah upayanya untuk menerbitkan hasil penterjemahan dari kitab-kitan hadits para Imam sunan secara lengkap, yaitu Sunan Abu Dawud, Sunan Nasa’i, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah dan Musnad Ahmad. Di bidang fiqih, Asy-Syifa’ menerbitkan hasil terjemahan dari Kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd serta di idang tafsur menerbitkan hasil terjemahan dari Ringkasan Kitab Tafsir al-Qur’anil Adhim karya Imam Ibnu Katsir. Hanya saja, upaya penterjemahan itu, khususnya terhadap kitab-kitab hadits kurang maksimal sehingga sedikit mengalami kegagalan.
Berikutnya, pada awal abad 21 M, sekitar tahun 2000-an terjadi ledakan dan booming penerbitan khazanah Islamiyah di Indonesia dari segala bidang ilmu. Memanfaatkan momentum tersebut, apalagi juga ditunjang oleh publikasi serta pemasaran yang cukup maksimal, missal melalui gerakan Pameran Buku Islam ataupun Islamic Book Fair yang hadir secara rutin setahun dua kali di beberapa kota besar, maka melalui penerbit Darul Falah dan Pustaka Azzam, misalnya dimunculkanlah gerakan penterjemahan terhadap khazanah Islamiyah secara besar-besaran, khususnya yang berbahasa Arab baik yang klasik, pertengahan maupun yang terkini.
Gerakan Penterjemahan dari penerbit Pustaka Azzam, misalnya telah menggarap dan menerbitkan terjemahan semua kitab hadits mulai dari Kitab Al-Muwatha’ nya Imm Malik, Al-Musnadnya Imam Ahmad bin Hambal, Kitab Shahih Bukhari dari Imam Bukhari, Kitab Shahih Muslim dari Imam Muslim Kitab-kitab Ash-habus Sunan, dan lain-lain. Hampir semuanya telah diterbitkan terjemahannya. Bahkan kitab syarah dari shahih Imam Bkuhari, yaitu Fathul Bari dari Imam Ibnu Hajar Asqalani dan Syarah Shahih Muslim Imama Nawawi pun juga diterbitkan terjemahannya. Di bidang Tafsir tidak kalah menariknya. Kitab babon dari kitab Tafsir, yaitu Jami al-Bayan dari Imam Ath-Thabri serta Kitab Jami’ al-Ahkam dari Imam al-Qurthubi, kitab Tafsir Fathul Qadir dari Imam asy-Syaukani juga diterbitkan terjemahannya. Selain itu ada Kitab Tafsir Adwa’ul bayan dari Imam Ash-Shanqithi juga telah diterbitkan terjemahannya.
Di bidang Fiqih, gebrakan penterjemahan juga dilakukan Penerbit Pustaka Azzam. Diawali dari diterbitkannya terjemahan kitab Nailil Authar dari Imam Asy-Syaukani, kemudian menyusul Kitab Ringkasan Al-Um nya Imam Syafi’i, Kitab al-Mughni dari Ibnu Qadamah dan kitab Al-Muhalla dari Imam Ibnu Hazm. Semuanya itu adalah baru sebagian kecil dari kitab-kitab induk dari khazanah Islamiyah klasik yang sangat membantu untuk mengantarkan umat pada prses pemahaman terhadap ajaran Islam.
Sungguh luar biasa apa yang dilakukan penerbit-penerbit dalam gerakan penerbitan hasil penterjemahan di atas. Tanpa memandang dari mahzhab mana kitab-kitab tersebut muncul semuanya diterjemahkan dan diterbitkan. Dengan gerakan penterjemahan secara besar-besaran itu, maka kini umat Islam di Indonesia telah disuguhi hasil pencerahan umat Islam masa lalu yang begitu luar biasa. Yang lebih penting lagi, pemahaman terhadap ajaran Islam melalui kitab-kitab induk tersebut tidak lagi hanya menjadi monopoli para kiai dan santri di pesantren, tapi sudah dibuka untuk seluruh umat. Tidak ada lagi dinding pemisah antara santri dan non santri dan bahkan antara kiai, ulama dan umat Islam dalam memahami ajaran islam melalui referensi kitab-kitab induk itu. Dengan begitu, umat sudah bisa mencari pemahaman terhadap ajaran Islam dengan mengacu pada kitab-kitab yang telah diterjemahkan itu, meski dalam batas-batas tertentu masih tetap perlu bimbingan dari ulama ataupun para guru.
Selain itu, gerakan penterjemahan di atas juga sekaligus mendobrak adanya sakralisasi terhadap kitab-kitab kuning induk klasik yang menjadi rujukan para ulama dan kiai. Tidak ada kitab karya manusia, meski seorang mujtahid besar pun yang suci. Hanya al-Qur’an-lah satu-satunya kitab yang suci karena ia datang dari Allah swt.
Di era keemasan umat Islam pada abad 8-10 M dahulu, gerakan terjemahan menjadi salah satu pemicunya. Mengambil pelajaran dari masa lalu itu, jika umat Islam Indonesia ingin mencapai pencerahan dalam keberagamannya, maka gerakan penterjemahan khazanah Islamiyah harus segera direspon secara positif.
Perlu diingat, maju dan mundurnya umat Islam tidak terletak di tangan Allah swt. Semata, akan tetapi juga tergantung pada kemauan dari umatnya untuk menggapainya. Bukankah Allah itu tidak akan mengubah nasib satu kaum jika kaum itu tidak berupaya untuk mengubahnya sendiri?
Wallahu A’lam bishawab!