Oleh: Isngadi Marwah Atmadja
Sejak peristiwa itu, nama sang santri kian mashur. Warga desa yang merasa dirinya awam juga semakin yakin bahwa kitab suci memang tidak boleh dibuka sembarangan. Mereka yakin bahwa kitab Al-Qur’an memang sakti bahkan bisa memilih harus menampakkan diri kepada siapa dan dalam wujud apa.
Sampai kemudian seorang santri lain datang ke desa itu. Dia mengaku sebagai kakak seperguruan si santri mashur. Saat dia datang, santri mashur sedang tidak ada di rumah. Saat menunggu kedatangan sang adik, dia mendapat cerita tentang kehebatan Kiai Kitab Watu Abang. Kitab Al-Qur’an, pusaka sang adik.
Yang tidak hanya bisa membuat pingsan yang kejatuhan. Kain pembungkusnya (yang sekarang ditambah menjadi lima lapis) juga sangat manjur untuk menolak hama tikus cukup dengan mengibarkannya di pematang sawah yang sebelumnya sawah itu harus disebari rajangan buah mengkudu.
Mendengar semua itu, santri baru itu tersenyum penuh arti dan dengan sopan meminta izin untuk melihat wujud sang kitab sakti Setelah melihatnya dia kembali tersenyum dan membungkusnya kembali.
Ketika sang adik pulang, mereka kemudian berdiskusi di gubug tengah sawah. Isi pembicaraanya tidak ada yang bisa mendengar selain mereka berdua. Penduduk desa hanya tahu setelah pulang dari gubug tengah sawah itu, si santri mashur terlihat sangat tunduk kepada sang kakak.
Kepada penduduk desa dia mengatakan bahwa tugasnya di desa itu sudah selesai, dia harus kembali ke pesantren memperdalam ilmu lagi, karena ilmu yang dia punya baru sepersepuluh dari ilmu sang kakak. Kiai Kitab Watu Abang juga harus dia bawa pulang.
Atas permintaan warga desa yang membutuhkan pusaka pengusir hama, tiga lembar bungkus kitab sakti ditinggal desa itu. Santri baru itu juga berjanji bahwa setelah mengantar sang adik pulang ke pesantren, Ia akan kembali ke desa itu untuk membimbing mereka.
Sebenarnya santri muda itu adalah komandan prajurit Pajang yang bertugas menangkap penjahat yang kabur ke desa itu. Namun, karena melihat sikap warga desa yang begitu menghormati kitab suci, dia tidak tega membongkar semua kebohongan sang penjahat. Dia tidak tega untuk mengatakan kalau sebenarnya itu bukan kitab sakti melainkan hanya tiga buah batu bata tua biasa.
Hari terus berganti penduduk desa yang awam itu masih terus memuja tiga lembar kain pembungkus batu bata itu sebagai sebuah pusaka sakti. Mereka percaya bahwa kain itu menjadi sakti dan bertuah karena telah dijadikan pembungkus kitab yang sangat bertuah. Kitab tanpa aksara yang bisa bersuara tanpa berbunyi. Kiai Kitab Watu Abang.
Beberapa tahun kemudian, saat kekuasaan Pajang beralih ke Mataram, Komandan Prajurit yang sekarang sudah pensiun dan meperdalam ilmu agama itu ingat pada janjinya untuk kembali ke desa itu.
Walau sedang sakit parah Ia memaksakan diri memenuhi janjinya, datang ke desa itu dengan membawa sebuah kitab Al-Qur’an yang sebenarnya. Di hadapan seluruh penduduk dia berceramah.
“Ini adalah kitab suci kita semua. Selama kita bersama kitab suci ini, maka kita akan selamat, selama kita bersamanya tidak ada perlu kita takuti, selama kita memegang kitab suci ini kalau kita mati maka kita akan langsung masuk syurga”. Katanya sambil menunjukkan kitab suci Al-Qur’an.
Setelah mengucapkan nasehatnya, komandan prajurit Pajang itu meninggal dunia. Penduduk desa sempat bingung. Namun, karena ingat pada nasehat terakhirnya, bahwa kitab suci milik mereka, dan harus mereka pegangi dan selalu bersamanya, mereka kemudian membagi kitab suci Al-Qur’an itu menjadi lembaran-lembaran kecil dan dibagi rata pada semua penduduk desa.
Agar lembaran itu tidak berpisah dengan mereka, ada yang dilipat kecil dimasukkan dalam saku ikat pinggang, ada yang dibungkus kulit kambing dijadikan kalung, dan lain sebagainya.
Karena jumlah penduduk kian banyak, ada di antara mereka ada yang menyalin (sebisanya dan sejadinya) serpihan halaman kitab suci itu dalam kertas baru untuk diberikan kepada karib kerabat dan keturunanya.