Hubungan Baik Muhammadiyah Dengan Kraton

Hubungan Baik Muhammadiyah Dengan Kraton

Oleh: Imron Nasri

RH Haiban Hadjid, pernah menulis  tentang hubungan  dekat Muhammadiyah dengan  Sultan  Hamengkubuwono VII, VIII dan IX. Dalam tulisannya itu Haiban Hadjid menceritakan bahwa sejak berdirinya Muhammadiyah, yang diprakarsai KHA Dahlan, Kraton (Kasultanan) Yogyakarta sejak Sultan HB VII  menaruh  perhatian kepada  Persyarikatan  Muhammadiyah. Perhatian  Sultan HB VII ini ditunjukkan  dengan  memberikan kemudahan-kemudahan  terhadap kegiatan-kegiatan  Muhammadi­yah.

KHA Dahlan, yang menjabat Khotib Amin  Masjid  Besar Yogyakarta,  mendapat  dukungan  penuh  dari Kanjeng  Kiyai Penghulu Kraton, Muhammad Kamaludiningrat, ketika mendirikan dan  memimpin Muhammadiyah. Selain itu mendapat  restu  dari Sultan HB VII kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menda­patkan  “Rechtspersoon” (pengakuan legalitas) sebagai  orga­nisasi yang berbadan hukum. Restu Kraton (Sultan HB VII) kepada Muhammadiyah diper­kuat  dengan  masuknya Penghulu Kraton,  Kiyai  H Muhammad Kamaludiningrat sebagai anggota Muhammadiyah dengan  stambuk no.1  dalam  daftar anggota Muhammadiyah.  Juga  keleluasaan bagi KHA Dahlan melakukan kegiatan di Pendopo Dalem Kasul­tanan Kepenghuluan Kauman. Ketika Sultan HB VII mengundurkan diri dan pindah rumah dari Kraton ke Ambarukmo, barisan kepanduan  Hizbul Wathon dibawah pimpinan KH Mochtar  pada tahun 1918, ikut mengawal dan satu-satunya barisan organisa­si masyarakat yang diperkenankan bersama-sama dengan  per­lengkapan upacara Kraton. Sehingga sejak saat itulah  masya­rakat mengenal Pandu Hizbul Wathon. Hubungan  Muhammadiyah  dengan Kraton (Sultan  HB  VII) semakin akrab dengan diizinkannya Alun-alun Utara diperguna­kan  sebagai tempat Kongres, setiap Muhammadiyah  mengadakan musyawarah tahunan.  Selain itu, perumahan  Kasultanan  di Ngampilan diizinkan untuk dipergunakan sebagai asrama pela­jar  Madrasah  Muallimin Muhammadiyah dan  pendoponya  untuk berbagai pertemuan.

Demikian  pula  ketika Kraton Yogyakarta  dipimpin  Sri Sultan  Hamengkubuwono  VIII, hubungan  dengan Muhammadiyah tetap baik. Kehadiran Sultan HB VIII bersama Gubernur Yogya­karta pada peresmian gedung Madrasah  Muallimin,  merupakan suatu perisitiwa yang mengejutkan. Yang oleh berbagai kalan­gan  masyarakat, sering disalah tafsirkan sebagai  kerjasama Muhammadiyah  dengan penjajah Belanda.  Padahal  sebenarnya Gubernur ingin melihat bagaimana kedekatan hubungan  antara Sultan  HB  VIII  dengan Muhammadiyah.  Maka adalah  wajar, ketika  wafatnya Sultan HB VIII barisan Hizbul Wathon  turut dalam  prosesi  mengantarkan  jenazah sampai  di  tepi  kota Yogyakarta (Karangkajen). Hubungan  Muhammadiyah dengan Kraton  Yogyakarta  tetap baik dengan setiap pergantian kepemimpinan di Kraton. Apala­gi  dengan Sultan HB IX, yang nampak  sekali  kerakyatannya. Keakraban tidak  hanya  dengan  Persyarikatan Muhammadiyah sebagai suatu lembaga, tetapi juga dengan tokoh-tokoh Muham­madiyah.  Sultan  HB IX memberi izin kepada  barisan  Hizbul Wathon  dalam upacara kirab dalem Sultan HB IX,  pada  waktu upacara  penobatan Sultan HB IX. Demikian pula pada  Kongres Akbar Muhammadiyah ke-29 tahun 1941 di Lapangan Asri  (dulu  kampus UMY, sekarang AMC), Sultan memberikan bantuan  materiil  dan mengutus  Pangeran  Hangabehi  (kakak  Sultan  HB  IX)  untuk mewakili beliau dalam acara itu.

Setelah  acara  Kongres  selesai,  PB  Muhammadiyah hasil  Kongres ke-29 itu, sowan dan diterima  langsung  oleh Sultan HB IX, di Dalem Peristirahatan Ngeksigondo di  Kaliurang. Dengan sikap kekeluargaan, lesehan tanpa dampar kenca­na,  KH Mas Mansyur duduk berdekatan dengan Sultan HB  IX. Maksud  utama pisowanan adalah perkenalan PB hasil  Kongres, serta  menyampaikan  pangayu bagyo penobatan  Sultan  HB  IX serta menghaturkan simbul Dakwah Islamiyah dalam ujud  saja­dah sulaman halus. Dengan suasana akrab penuh  kekeluargaan, salah  satu diantara yang ikut sowan ialah, KH R  Hadjid, memberanikan  diri  secara spontan mohon  izin  tanah  wakaf Kasultanan di dekat Kaliurang, tepatnya di Ngipiksari  untuk didirikan masjid pesantren, dan langsung diperkenankan  oleh Sultan HB  IX, dengan mengajukan  surat  permohonan  secara resmi (masjid tersebut sampai saat ini masih bagus).

Ketika zaman pendudukan tentara  Jepang, Sultan HB IX, dengan kebijakannya melakukan berbagai kegia­tan  dengan  terjun  langsung di  lapangan.  Walaupun  tetap berbusana Kejawen, Sultan HB IX tanpa protokoler ketat  dari Kraton,  keliling meninjau berbagai amal usaha  Muhammadiyah di Kota Yogyakarta, antara lain Madrasah Muallimin,  Muallimat, Sekolah Rakyat Khusus Wanita Pawiyatan dan  Purwodinin­gratan,  Rumah  Sakit  PKU  dan Panti  Asuhan  di   Tungkak (Lowanu). Himbauan  Sultan HB IX, untuk menggerakkan kerja  bakti di  Selokan  Mataram  (sebagai  taktik  menghindari romusha keluar daerah) mendapat sambutan positif dari keluarga besar Muhammadiyah.  Para  ulama  seperti KH Ahmad Badawi, KH  A Muslim,  KH  Johar, dengan dukungan  Ki  Bagus  Hadikusumo bersama para santri pengajian malam Selasa dibawah  pimpinan HM  Wasir Nury, para pelajar Sekolah Muhammadiyah  seluruh Yogyakarta  secara serentak kerja bakti  secara  bergiliran menggali selokan Mataram. Dalam  kegiatan keagamaan pun Sultan HB IX  menyerahkan pengelolaannya kepada Muhammadiyah seperti Shalat Jum’at di Masjid Besar Kauman, diserahkan pada Penghulu Keraton bersa­ma  Majelis  Tabligh Muhammadiyah yang waktu  itu  dipimpin KH Ahmad  Badawi termasuk para khatibnya. Tradisi semacam  itu terus berlanjut hingga sekarang.

Demikian pula dizaman Perang Kemerdekaan, Daerah  Isti­mewa Yogyakarta dibawah kepemimpinan Sultan HB IX, menunjuk pimpinan  Komite  Nasional DIY antara lain  dengan  ketuanya Muhammad  Saleh  Werdisastro  (bekas Daidanco  Peta,  tokoh Muhammadiyah) bersama anggota pemerintah DIY antara lain  H Farid  Ma’ruf dan H A Hamid menangani bidang sosial  agama. Kelancaran serta kemudahan berdirinya Sekolah Tinggi  Islam (perintis  berdirinya UII dan IAIN), yang awal  peresmiannya diprakarsai  Prof KH Abd Kahar Muzakkir dan Prof  HM Farid  Ma’ruf  dengan pidato pembukaan  (kuliah  umum)  dari Muhammadiyah KH R Hadjid, atas restu Sultan HB IX  dilak­sanakan  di Pendopo Pengulon Kauman, dan  dihadiri  Presiden Soekarno  dan Wakil Presiden Moh Hatta. Sultan HB IX  juga merestui  pembentukan  Markas Ulama Angkatan  Perang  Sabil, yang diprakarsai para ulama Muhammadiyah tahun 1947  dengan imam  Ki  Bagus Hadikusumo, KH R Hadjid dan  KH Ahmad Badawi direstui pula oleh Panglima Besar Sudirman.

Pada zaman kemerdekaan pun Sultan HB IX tetap berhubungan dengan  Muhammadiyah.  Kongres Muhammadiyah tahun 1950  dengan izin  Sultan  HB IX menggunakan  Pendopo  Dalem  Notoprajan. Demikian  pula  diizinkan penggunaan Alun-alun  Utara  untuk Shalat  Hari  Raya  yang diprakarsai  oleh  Majelis  Tabligh Muhammadiyah  bersama Departemen  Agama  dan   berulangkali dihadiri  Sultan.  Pada saat  pemugaran  Madrasah  Muallimin selesai,  beliau datang meninjau seorang diri.  Dan  diantar anggota PP Muhammadiyah, mengelilingi bangunan baru  terse­but. Beliau juga menyerahkan bekas kuburan di sebelah  selatan Masjid Besar Kauman untuk pendirian SD Pawiyatan Muham­madiyah,  dan waktu peresmiannya tahun 1965 dihadiri  Sultan HB IX.

Beberapa peristiwa diatas menunjukkan bahwa hubungan  dekat Muhammadiyah  dengan Kraton Yogyakarta sudah terbina  sejak lama.  Jadi  wajar  ketika Sultan  Hamengkubuwono  IX  wafat mendapat  perhatian besar dari keluarga besar  Muhammadiyah. Hubungan dekat itu masih terjalin  hingga saat  ini, dengan Sultan Hamengkubowono X. Kedekatan  Sultan Hamengkubuwono  X dengan Muhammadiyah, sudah  terbina  sejak beliau dinobatkan  menggantikan Sultan Hamengkubuwono IX. Pada  Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di  Yogyakarta, Sri  Sultan berkenan hadir dan mengizinkan  Alun-alun  Utara dipergunakan  untuk arena pameran dan bazar, serta  berkenan membuka  pameran dan bazar tersebut. Dalam  acara-acara  nasional di Yogyakarta yang dilakukan oleh Muhammadiyah, Sultan Hamengkubuwono  X  selalu hadir  dan  memberikan  sambutan. Sri Sultan Hamengkubuwono X pernah menjabat   sebagai Ketua Kehormatan Dewan Penyantun Universitas  Muham­madiyah Yogyakarta.

Selain  itu, Muhammadiyah juga selalu berhubungan  baik dengan  kerabat  Puro  Pakualaman. Kedekatan Muhammadiyah  dengan Puro Pakualaman, diperlihatkan dengan keikhlasan salah  seorang kerabat  Puro  Pakualaman, beberapa tahun lalu, yang telah  mewakafkan sebidang  tanah  beserta bangunannya di  daerah  Gunungketur kepada  Muhammadiyah. Wakaf itu dipergunakan  untuk  Sekolah Muhammadiyah  yakni SMP Muhammadiyah IV. Saat ini  di  atas tanah  tersebut juga telah berdiri sebuah masjid  bergaya  kraton. Pada  saat penyerahan  tanah wakaf itu,  diserahkan  pula  seperangkat gamelan  kepada  PD Muhammadiyah Kota  Yogyakarta.  Gamelan tersebut saat ini telah dimanfaatkan oleh Lembaga Seni dan Budaya Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, dan SMP Muhammadiyah 4. Mudah-mudahan hubungan baik antara Muhammadiyah  dengan Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman tetap lestari dan terpelihara dengan baik.***

 

Exit mobile version