Tafsir Amali Kyai Dahlan Bukan Tafsir Stempel

Tafsir Amali Kyai Dahlan Bukan Tafsir Stempel

Oleh: Lutfi Effendi

Alkisah seorang Kyai (sebut saja fulan) kedatangan seorang pejabat untuk meminta fatwa tentang suatu persoalan. Usai mendengar pertanyaan, Kyai masuk ke perpustakaannya untuk mencari jawaban pertanyaan dari pejabat tersebut. Setelah ketemu jawabannya, Kyai Fulan keluar dan menerangkan jawaban dari persoalan yang dihadapi pejabat tersebut,

Pejabat mendengar jawaban tersebut tidak puas, karena jawabannya bertentangan dengan yang ia mau. Lalu meminta Kyai lagi untuk mencari jawaban di kitab yang lain. Kyai pun masuk lagi dan mencari jawaban yang lain dari persoalan yang dihadapi pejabat tersebut. Setelah ketemu. Ia keluar lagi dan memberi jawaban pada pejabat tersebut.

Pejabat sudah mulai tersenyum dengan jawaban tersebut, karena sudah mendekati apa yang dimaui. Tetapi ia masih belum puas. Ia pun masih meminta Kyai untuk mencarikan jawaban lain dari kitab-kitab yang dimiliki Kyai. Kyai pun masuk lagi dan keluar dengan jawaban yang lain.

Pejabat pun nampak bergembira. Jawaban ini yang ia tunggu-tunggu. Jawaban ini sesuai dengan persoalan yang ia hadapi. Jawaban ini sebagai dasar bagi kebijakan yang akan ia luncurkan yang menguntungkan baginya dan kelompoknya. Ia puas dengan jawaban Kyai yang terakhir dan sebelum pulang ia mengucapkan terima kasih dengan meninggalkan sesuatu di tangan Kyai. Dan Kyai pun tersenyum.

Kisah ini menunjukkan agama muncul sebagai stempel atau pengesahan terhadap kebijakan yang akan ditetapkan oleh seorang pejabat. Qur’an dan Hadist ditafsirkan hanya sebagai stempel untuk mengesahkan kebijakan tertentu yang akan dibuat.

Tafsir Amali bukan untuk pengesahan suatu kebijakan, tetapi Tafsir Amali diterapkan untuk melahirkan kebijakan. Kebijakan yang lahir dari kajian Al Qur;an dan didukung oleh Sunnah Rasulullah saw. Ini bisa dilihat dari metode yang diajarkan Kyai Dahlan dalam mempelajari Al Qur’an.

Dalam hal metode ini, Kiai Dahlan pernah menerangkan bagaimana cara mempelajari Al-Qur’an, yaitu ambillah satu, dua atau tiga ayat, dibaca dengan tartil dan tadabbur (dipikirkan). Pertama, bagaimana artinya? Kedua, bagaimanakah tafsir keterangannya? Ketiga, bagaimana maksudnya? Keempat, apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan itu? Kelima, apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? Sudahkah kita menjalankannya.

Dari metode ini jelas bahwa kebijakan atau amaliah itu berasal dari kajian ayat-ayat Al Qur’an. Bukan sebaliknya, ayat Al Qur’an dan Hadits untuk menyetempel kebijakan atau amaliah yang sedang dan akan dilaksanakan yang hanya menguntungkan orang-orang yang ada di lingkaran kekuasaan. Sekali lagi, berangkat dari ajaran kemudian melahirkan amalan. Bagaimana dengan kita? (***)

 

Exit mobile version