Oleh: Mutohharun Jinan
Dalam berkehidupan setiap orang membutuhkan kehadiran orang lain yang dapat memberi nasihat dan mengingatkan agar tetap istiqamah pada jalan yang benar dan terhindari dari jalan yang salah. Kehadiran orang lain juga sangat diperlukan untuk menjadi pengingat apakah tata laku dan tutur kata seseorang mengandung kebaikan atau sebaliknya justru mengumbar keburukan. Namun, hampir setiap orang juga menyadari pada waktu tertentu bahwa dirinya sendirilah yang harus menentukan nilai perbuatannya.
Terkadang orang diharuskan menentukan sendiri apakah perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk, bermanfaat atau sia-sia. Diri sendiri dituntut menjadi hakim yang memutuskan apakah sebuah gagasan, rencana, dan program dilakukan atau ditinggalkan setelah mempertimbangkan berbagai hal. Tidak selamanya perbuatan dan perkataan seseorang dinilai benar atau salah diukur dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat atau menunggu nasihat dari orang lain, baik itu orangtua, guru, ataupun sahabat karibnya.
Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Hai Wabishah, bertanyalah kepada hati nuranimu sendiri, kebaikan adalah sesuatu yang jika kamu lakukan jiwamu merasa tenang, hati nuranimu pun merasa tentram. Sedangkan keburukan adalah sesuatu yang jika kamu lakukan jiwamu bergejolak dan hati nuranimu berdebar-debar, meskipun orang banyak memberi tahu kepadamu (lain dari yang kau rasakan).” (HR Ahmad).
Hati nurani manusia yang bersih dapat dijadikan sebagai sumber penilai perbuatan manusia. Sesuai dengan fitrahnya yang cenderung kepada kebenaran dan kebaikan, manusia dikaruniai hati nurani yang dapat membedakan antara hal yang baik dan yang buruk. Karena itu, setiap orang yang akan melakukan perbuatan pada dasarnya telah disensor oleh nuraninya sendiri. Sensor itu kemudian menginformasikan apakah perbuatan yang akan dilakukan tersebut baik atau buruk dan benar atau salah.
Ada sebagian orang yang sering melawan suara hati nuraninya sendiri atas pertimbangan berbagai kondisi. Orang semacam ini lebih banyak dikuasai oleh nafsu buruk sehingga cenderung melawan nasihat baik dan benar dari hati nuraninya. Dorongan-dorongan lahiriyah seringkali mengalahkan kehendak terdalam dirinya. Bisa juga kondisi lingkungan yang mengarahkan sehingga seseorang melakukan hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan keinginannya.
Raja Ali Haji, dalam karyanya yang termasyhur Gurindam Dua Belas, pada pasal keempat bertutur: ”Hati itu kerajaan di dalam tubuh, jikalau zalim segala anggota pun rubuh.” Hati yang zalim adalah hati yang tertutup oleh nafsu kemaksiatan.
Sementara, ada juga sebagian orang yang sangat taat dan patuh dengan suara nuraninya sendiri sehingga perbuatannya terkendali dan tidak terpengaruh oleh hal-hal yang berada di luar dirinya. Nasihat dan dukungan orang lain hanya sebagai penguat saja. Sikap dan perilaku yang muncul adalah disiplin, amanah, dan jujur dalam setiap pekerjaan dan tugas-tugas menjadi bagian dari sikap hidupnya sehari-hari.
Dalam dunia pendidikan, hampir setiap tahun muncul persoalan dilema kejujuran. Bahkan pernah ada kasus seorang murid menolak untuk berbuat tidak jujur atas perintah gurunya, menolak menyontek, bahkan melaporkan gurunya kepada yang berwajib. Tentu saja ketika seorang guru menyuruh muridnya berlaku tidak jujur bukan karena sang guru tidak tahu perbuatan itu salah atau keliru dalam mendidik. Namun ada alasan lain, bahwa perbuatan terpaksa dilakukan atas dorongan dari luar nuraninya, yaitu meluluskan semua murid dan menyelamatkan nama baik sekolah. Tekanan dan dorongan-dorongan dari luar begitu kuat berpengaruh sehingga mengorbankan hakikat seluruh proses pendidikan itu sendiri.
Mendengarkan dan mengikuti suara hati nurani sebagai lentera hidup tidaklah mudah betapapun potensi itu ada dalam diri manusia atas kemurahan Sang Khalik. Hati nurani bisa saja tertutup oleh kebiasaan-kebiasaan nafsiah yang bertentangan dengannya. Karena itu setiap manusia tetap dituntut untuk mengasah dan membersihkannya dari kotoran yang dapat menghambat getarannya, dengan cara mengontrol kata dan laku agar senantiasa dalam jangkaun radar Al-Qur’an dan Sunnah.•
__________________
Mutohharun Jinan, pengasuh Pondok Shabran dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.