Oleh: Prof Din Syamsuddin
Indonesia meluncurkan program deradikalisasi untuk melawan tindakan radikalisme. Tetapi tindakan ini ternyata tidak menyelesaikan masalah malahan menambah masalah baru, munculnya ekstrimisme baru.
Untuk membahas hal ini, Ganjar Sri Husodo dari Suara Muhammadiyah menghubungi Prof Din Syamsuddin, Presiden Moderator of Asian Conference of Religions for Peace (ACRP). Ia mengetengahkan moderasi sebagai jalan tengah. Untuk selengkapnya, simak berikut ini:
Sejumlah negara merasa terancam adanya radikalisme termasuk Indonesia. Untuk menangkal hal ini, Indonesia melakukan program deradikalisasi. Menurut Prof Din bagaimana?
Seluruh negara, bahkan hampir seluruh dunia, dewasa ini tantangan utamanya adalah radikalisme. Tidak sedikit paham radikalisme ini, yang implementasinya dalam bentuk kekerasan, yang mengatasnamakan ajaran agama. Ada yang menjawab ancaman ini dengan melakukan deradikalisme.
Baik radikalisme maupun deradikalisme adalah sama-sama bentuk ekstrimitas. Di satu sisi radikalisme dengan gerakan fundamentalnya sangat dekat dengan kekerasan dan jauh dari proses kompromi dan komunikasi.
Sebaliknya deradikalisme dengan deradikalisasi, sebagaimana yang diwacanakan oleh pemerintah Indonesia, juga cenderung meniadakan toleransi terhadap prilaku radikal. Akibatnya deradikalisasi yang dimunculkan untuk mengurangi dan memerangi radikalisme justru memunculkan tindak ekstrimisme baru.
Radikalisme sering memunculkan kekerasan atas nama agama. Apakah gerakan ini betul-betul merupakan gerakan agama?
Bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama adalah tantangan yang harus dihadapi oleh umat Islam juga oleh seluruh masyarakat internasional lainnya. Karena gerakan kekerasan yang mengatasnamakan agama sudah mengusik jantung politik dan peradaban dunia.
Seperti gerakan ISIS yang langsung mengritik sistem politik dan sistem ideologi yang ada, serta ingin mengajukan alternatif yang mereka klaim sebagai Islamic State. Walaupun pendapat kita berdasarkan pengkajian, termasuk mengkaji latar belakang dan siapa dibalik gerakan itu, ISIS bukanlah gerakan keagamaan tetapi adalah gerakan politik yang menggunakan nama agama dengan bentuk pembajakan dan pembegalan agama serta melakukan tindakan sadis dan kejam.
Maka, gerakan kekerasan yang mengatasnamakan agama, yang ingin mengubah sistem politik yang ada menjadi sistem Islamic State itu sebenarnya tidaklah bersumber dari ajaran agama. Tidak ada akar hubungan dalam Islam khususnya, yang membolehkan melakukan tindak radikal bahkan gerakan radikalisme atau terorisme.
Hal itu sangat jelas dilarang oleh Al-Qur’an. Barangsiapa yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan maka perbuatan itu sama seperti menghilangkan nyawa seluruh umat manusia. Inilah salah satu alasan mengapa radikalisme itu sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia.
Apa bahaya lain dari radikalisme yang mengatasnamakan agama?
Gerakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama yang mengambil jalur dan menempatkan diri pada pengajuan alternatif dari sistem politik sebagaimana ISIS sangatlah membahayakan. Jika dibiarkan dan mereka berhasil melakukan itu, tentu akan meruntuhkan sistem politik yang ada, terutama sistem politik yang sudah berlaku di dunia Islam.
Kembali ke program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia, kenapa bisa memunculkan ekstrimisme baru?
Upaya untuk memerangi radikalisme khususnya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan melakukan deradikalisasi dengan paham deradikalisme yang menolak segala bentuk radikal, terkadang juga terjerumus dan akhirnya melakukan tindakan radikal, kekerasan pula. Itu artinya, memerangi perbuatan ekstrim dengan tindakan yang ekstrim juga bahkan mungkin bisa lebih ekstrim dari radikalisme itu sendiri.
Jika deradikalisme itu benar-benar dijalankan dan diterapkan oleh pemerintah, tentu itu akan lebih berbahaya dari bentuk radikalisme yang ada, walaupun tujuannya adalah untuk memerangi radikalisme. Apalagi aksi-aksi deradikalisme itu didasarkan pada kacamata kuda yang tidak melihat secara menyeluruh faktor-faktor di belakang terorisme dan radikalisme. Bahkan hasil pengamatan mereka, radikalisme itu muncul karena adanya ideologi dan kadang kala mereka mengerucutkan ideologi tersebut pada paham kelompok agama tertentu, entah itu wahabisme atau jihadisme, tentu niat baik itu justru akan memunculkan ektrimisme baru.
Hal tersebut dapat kita lihat dengan jelas bagaimana upaya BNPT dan Densus 88 dalam memberantas terorisme. Upaya pemberantasan itu juga lebih banyak menggunakan cara-cara kekerasan daripada cara-cara lain yang jauh dari tindakan ekstrim. Akibatnya, secara tidak langsung terorisme merasa dipatenkan dan justru dengan itu, terorisme melakukan perlawanan.
Seharusnya, mereka yang diberi kewenangan oleh pemerintah untuk memberantas radikalisme bisa melihat lebih jauh faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya tindak kekerasan itu. Tentu ada faktor lain selain agama, karena agama hanya digunakan sebagai media atau alat oleh terorisme, seperti faktor sosial, ekonomi, politik, dan terutama faktor tidak adanya keadilan serta faktor eksternal global in justice.
Lalu bagaimana untuk mengatasi kedua kutub ekstrimisme ini, radikalisme, dan deradikalisme?
Saya sepakat bahwa moderasi adalah solusi untuk menjembatani dua bentuk ekstrimitas ini, baik radikalisme maupun deradikalisme. Karena kekerasan-kekerasan yang terjadi di dunia sekarang ini, tidaklah bentuk kekerasan tunggal dan berdiri sendiri.
Jangan kita melihat kekerasan itu bagian dari individu dan kelompok tertentu serta kekerasan fisik. Namun lebih baik lagi kita juga mampu melihat kekerasan lebih jauh lagi yang sifatnya tidak fisik atau kekerasan verbal. Bahkan kekerasan negara serta kekerasan kekuatan kapitalis (kekerasan modal). Karena sebetulnya dari kekerasan itulah yang menimbulkan aksi dan reaksi ekstrim.
Untuk itu, program pemerintah terkait deradikalisme atau deradikalisasi perlu direvisi. Tujuannya adalah agar niat baik memberantas redikalisme itu benar-benar berjalan dengan pandangan yang luas sehingga tidak memicu munculnya tindak kekerasan baru.
Maka tawaran moderasi sebagai antitesis dari radikalisme dan deradikalisme sangatlah tepat. Saya kira, penting bagi kita untuk mengarusutamakan moderasi sebagai tawaran untuk merespon tindak ekstrimisme yang ada sekarang ini.
Bagaimana upaya melakukan moderasi tersebut?
Moderasi yang dalam Islam disebut sebagai washathiyah yang bertolak pada Ummatan Washathan bisa diartikan sebagai jalan tengah. Yaitu agama yang menjunjung tinggi kasih sayang pada satu sisi, pada sisi lain juga menjunjung keadilan. Washathiyah juga erat kaitannya dengan istiqamah, shirathal mustaqim yang artinya tidak semata jalan yang lurus juga sebagai jalan tengah.
Untuk mengarusutamakan moderasi dibutuhkan strategi dan metode khusus yang baik. Salah satunya adalah melalui jalur pendidikan. Karena melalui pendidikan, kita bisa mengajarkan Islam jalan tengah itu dengan efektif.
Selain itu juga dibutuhkan peran ulama dan tokoh Islam yang mampu dan harus menampilkan tafsir Islam sebagai jalan tengah. Dewasa ini terjadi kontestasi tafsir antara tokoh dan ulama Islam. Tidak sedikit ulama dan tokoh Islam yang menafsirkan ayat Qur’an dengan kaku dan leterlek.
Akibatnya, pemahaman mereka terhadap agama juga kaku. Atau tidak sedikit pula dari umat Islam yang hanya berpegang pada satu ayat dan meniadakan ayat Qur’an yang lain. Untuk itu yang terpenting sekarang adalah bagaimana Islam itu ditafsirkan dan ditampilkan dengan wajah yang lebih moderat, sehingga moderasi bisa dijadikan solusi untuk memerangi radikalisme dan deradikalisme. Karena prinsip utama moderasi adalah Islam rahmatan lil ‘alamiin.
Selain itu, umat Islam juga perlu melakukan counter narrative sebagai bentuk dari moderasi. Yaitu mengajukan narasi seberang dengan percaya diri atas apa yang sedang berkembang tanpa perlu terjebak pada radikalitas dan ekstrimitas, namun lebih kepada bil hikmah.• (eff)