Oleh: Hajriyanto Y Thohari
Dr dr Ahmad Watik Pratiknya wafat hari Jum’at, tanggal 19 Februari 2016, dalam usia 68 tahun di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ), salah satu rumah sakit yang didedikasikan oleh Muhammadiyah untuk bangsa dan kemanusiaan di mana beliau sendiri menjadi ketua Badan Pembina Harian (BPH)-nya selama lebih dari sepuluh tahun. Bangsa Indonesia, khususnya umat Islam dan warga Muhammadiyah, kehilangan lagi salah seorang putra dan pemimpin terbaiknya yang sangat setia menghela berbagai gerakan Islam sepanjang hidupnya.
Meski pernah terdaftar sebagai calon pengumpul suara (vote gatter) anggota legislatif (DPR RI) dari Golkar daerah pemilihan Jawa Tengah dalam Pemilu 1997, Dr. Watik bukanlah seorang politikus. Dan meski Dr. Nurcholish Madjid dalam suatu wawancara dengan Tempo pernah menyebutnya oposan “orang seperti Watik Pratiknya yang selama ini dikenal oposan dan sekarang ikut ICMI, saya tak mengenal itu kompromi. Itu adalah kedewasaan” (baca Tempo edisi 29 Desember 1990; lihat juga Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai-Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Penerbit Paramadina, Jakarta, 1998, hal 46), rasanya Pak Watik bukanlah oposan dalam pengertian politik, melainkan lebih sebagai amar ma’ruf nahi munkar.
Aktivis sepanjang hidup
Barangkali kita lebih tepat menyebutnya sebagai seorang aktivis yang berlatar belakang akademisi, profesional, dan atau teknokrat. Sebagai akademisi beliau adalah seorang dosen ahli anatomi pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sebagai profesional beliau adalah seorang dokter bedah. Sebagai teknokrat beliau pernah menjadi Sekretaris Wakil Presiden dan Presiden Republik Indonesia, Presiden B.J. Habibie, dan beberapa jabatan birokrasi lainnya. Dan sebagai aktivis beliau aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), Muhammadiyah, dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Sebagai seorang yang pernah bersama dalam jajaran Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah (periode 2000-2005) penulis tahu betul bahwa Pak Watik adalah seorang organisator handal dan aktivis gerakan Islam par excellence. Beliau seorang konseptor, organisator, dan administrator yang sangat piawai (canggih). Sebagai orang gerakan, Pak Watik menghabiskan hampir seluruh hidupnya dalam gerakan Islam. Sejak usia belia, beliau telah menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), sebuah organisasi pelajar Islam yang dikenal sangat ideologis dan militan yang melahirkan banyak sekali kader-kader umat dan bangsa yang malang melintang dalam blantika perpolitikan nasional.
Ketika menjadi seorang profesional dan dosen di Universitas Gadjah Mada, beliau bukan hanya rajin memberikan khutbah dan ceramah pengajian, melainkan juga memelopori gerakan dakwah kampus dengan merintis pendirian Yayasan Salahudin. Bersama-sama dengan Dr Amin Rais, Dr Zulkifli Halim, dan almarhum Dr Said Tuhuleley, melalui Yayasan Salahudin itu Pak Watik memperkenalkan apa yang dikenal dengan Bengkel Dakwah dan Peta Dakwah secara sangat saintifik. Sebuah gerakan dakwah, baginya, haruslah dilakukan dengan berdasarkan peta yang akurat dan data yang valid sehingga pesan-pesan dakwah dapat benar-benar mencapai sasaran sesuai dengan visi dan misi dakwah.
Setelah beliau masuk menjadi anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah (1985-1990) proyek Peta Dakwah dan Bengkel Dakwah yang semula hanya berjalan dalam lingkup Yayasan Salahuddin itu masuk menjadi program utama Muhammadiyah sehingga menjadi semakin berdimensi nasional. Sebagai organisator yang ulung yang sangat cerdas pikiran-pikiran beliau sangat mewarnai gerakan Muhammadiyah sehingga benar-benar menjadi gerakan dakwah Islam yang secara organisasional moderen dan tidak miopik, sebuah kata yang sangat sering diucapkannya. Keterlibatannya dalam Muhammadiyah semakin intensif dan ekstensif ketika beliau terpilih dalam jajaran elite 13 PP Muhammadiyah (periode 1990-1995, 1995-2000, dan 2000-2005).
Tidak cukup dengan itu, sebagai kader umat dan kader bangsa, Pak Watik juga menjadi salah seorang tokoh Islam yang ikut membidani kelahiran ICMI pada tahun 1990. Sejak saat itu, beliau dikenal sangat dekat dengan Prof Dr BJ Habibie dan tetap setia menemaninya baik selama yang terakhir ini menjabat Menteri Riset dan Teknologi, Ketua Umum ICMI, Wakil Presiden Republik Indonesia (1998) dan Presiden Republik Indonesia (1998-1999), maupun ketika beliau tidak lagi memegang kekuasaan apapun. Sampai akhir hayatnya, Pak Watik menjadi Direktur The Habibie Center (THC), sebagai manifestasi kesetiaan beliau menemani Prof BJ Habibie membangun bangsa.
Tokoh yang setia
Kesetiaan Pak Watik terhadap Bapak Prof Dr BJ Habibie bukanlah kesetiaan seorang politikus, melainkan kesetiaan seorang teman dan sahabat. Kesetiaan tanpa pamrih. Bayangkan, bahkan ketika Prof BJ Habibie menjadi Presiden RI sekalipun, Pak Watik tidak berharap menjadi menteri. Dan memang nyatanya beliau tidak masuk ke dalam kabinet. Tetapi Pak Watik tetap dengan setia membantu dan menemani Prof Dr BJ Habibie. Bahkan hal itu tetap dilakukannya ketika beliau lengser keprabon dengan penuh kenegarawanan. A friend in need is a friend in deed, teman di waktu susah itulah teman yang sebenarnya.
Sikap kesetiaan terhadap teman juga tampak dalam persahabatannya dengan Prof Amien Rais dan Prof Syafii Maarif. Seperti telah diketahui Pak Watik masuk gerbong Majelis Tabligh PP Muhammadiyah (1985-1990) diajak oleh Prof Amien Rais yang terpilih dalam Muktamar ke-42 sebagai anggota Pleno 13 PP sekaligus merangkap Ketua Majelis Tabligh. Bersama-sama dengan Pak Watik masuklah ke dalam gerbong itu Prof Syafii Maarif, Dr Kuntowijoyo, Dr Simuh, dan lain-lainnya. Dan ternyata lima tahun kemudian (dalam Muktamar ke-43 tahun 1995), Pak Watik dan Buya Syafii Maarif terpilih juga menjadi 13 anggota PP Muhammadiyah bersama-sama Dr Amien Rais yang terpilih kembali sebagai Ketua.
Semua orang tahu betapa rukun dan kompaknya trio Muhammad Amien Rais-Ahmad Syafii Maarif-Ahmad Watik Praktiknya dalam Majelis Tabligh dan PP Muhammadiyah ketika itu. Maka betapa terkejutnya kami anak-anak muda Muhammadiyah ketika dalam suasana dinamika politik 1999-2004, apalagi menjelang Pemilu Presiden Tahun 2004, sempat mendengar sinyalemen bahwa hubungan antara tiga pendekar Muhammadiyah itu sempat renggang, atau bahkan retak. Tentu kabar tersebut terbukti hanyalah sinyalemen belaka yang tidak mengandung kebenaran. Pasalnya, Pak Watik Pratiknya dan Buya Syafii Maarif terlibat aktif dalam Tim Menara, sebuah Tim Sukses untuk Calon Presiden Amien Rais (2004) yang dipimpin oleh Dr Din Syamsuddin, yang berpusat di Jl Menteng Raya 62, Jakarta Pusat. Mereka bertiga kompak dan setia sepanjang masa.
Pak Watik menjadi contoh yang sangat bagus akan pentingnya menjaga sebuah persahabatan dan persaudaraan. Pak Watik menjadi inspirasi bagi generasi muda. Sabtu, 20 Februari 2016, malam ba’dha Isya’, bersama Ibu Watik Pratiknya dan semua putra-putrinya, kami berdoa dipimpin oleh Prof Din Syamsuddin dan bercengkerama selama hampir dua jam mengenang aktivisme almarhum selama ini. Terkenang lah kami pada sabda Nabi Muhammad saw bahwa “Jika mati anak Adam maka putuslah amalnya, kecuali mereka yang memiliki tiga hal: amal atau shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak-anak yang salih yang senantiasa mendoakannya” (al-Hadits). Kami yakin, Pak Watik Pratiknya wafat dengan meninggalkan ketiganya sekaligus! Insya Allah.•
____________________________
Hajriyanto Y Thohari, mantan Wakil Ketua MPR RI dan kini Ketua PP Muhammadiyah.