Oleh: Ruslan Fariadi, SAg, MSi
Berikut ini do’a agar terhindar dari sifat hasad:
“Dari Ibnu Abbas ia berkata; Nabi saw. berdoa dengan mengucapkan: “Rabbi A’innii wala tu’in ‘alayya, wanshurnii walaa tanshur ‘alayya, wamkurlii wala tamkur ‘alayya, wahdinii wa yassir al huda lii, wanshurnii ‘ala man bagha ‘alayya. Rabbij’alnii laka syakkaaran laka, dzakkaaran laka, rahhaaban laka, mithwaa’an laka, mukhbitan ilaika, awwaahan muniiban. Rabbi taqabbal taubatii, waghsil haubatii, wa ajib da’watii, wa tsabbit hujjati, wa saddid lisaanii, wahdi qalbii waslul sakhiimata shadrii.” (Ya Allah, bantulah aku dan jangan Engkau bantu (musuhku) untuk mengalahkanku, dan tolonglah aku dan jangan Engkau tolong musuhku untuk mengalahkanku, buatlah tipu daya (strategi) untuk keberhasilanku dan jangan Engkau membuat tipu daya (bagi musuhku) untuk mencelakai diriku. Berilah aku petunjuk dan mudahkanlah petunjuk untukku, dan tolonglah aku melawan orang yang melampui batas terhadapku. Wahai Tuhanku, jadikanlah aku orang yang senantiasa bersyukur kepadaMu, senantiasa ingat kepadaMu, senantiasa takut serta taat kepadaMu, bertaubat kepadaMu, dan senantiasa kembali kepadaMu. Wahai Tuhanku, terimalah taubatku, cucilah dosaku, dan kabulkan doaku, kokohkan hujjahku, luruskan lidahku, tunjukilah hatiku, dan hilangkanlah kedengkian hatiku! Abu Isa berkata; Hadits ini adalah Hadits hasan shahih. Mahmud bin Ghailan berkata; dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr Al ‘Abdi dari Sufyan seperti Hadits ini.” (HR At-Tirmidzi).
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi pada bab “Fi du’ai an-Nabi shallahu ‘alaihi wasallamma” nomor 3474, bab “Ma ja’a fi al-hasad” (Pembahasan tentang hasad) nomor 1859, dan beliau menilai Hadits ini sebagai Hadits Hasan-Shahih. Selain imam at-Tirmidzi, Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah pada bab “Du’ai Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallama” nomor 3820, bab “al-hasad” nomor 4198-4199, Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya pada bab “musnad abdullah bin mas’ud radhiyallu ta’ala ‘anhu” nomor 3469, 3900, “musnad Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu” nomor 4322, 4688, 5361, 6115, dan “musnad abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu”, nomor 9824, sehingga semakin menguatkan kualitas Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi di atas.
Ghadab (Emosional/Pemarah)
Ghadab secara harfiah berarti “marah” atau “pemarah”, atau disebut juga dengan temperamental. Ghadab dalam arti pemarah merupakan salah satu sifat negatif. Karena sifat pemarah dapat membakar jiwa dan menghanguskan akal seseorang. Artinya, akal seseorang tidak berfungsi normal ketika ia memiliki sifat pemarah. Oleh sebab itulah sifat pemarah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits berikut ini:
“Dari Abu Hurairah ra bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw; “Berilah aku wasiat?” beliau bersabda: “Janganlah kamu marah.” Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, beliau tetap bersabda: “Janganlah kamu marah.” (HR Bukhari).
Hadits ini terdapat dalam kitab al-Jami’ as-Shahih li Al-Bukhari pada bab al-Hadzru min al-Ghadab (Mewaspadai marah), nomor 5651 dengan kualitas shahih. Selain Imam Al-Bukhari, Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya, sebagai berikut:
“Dari Abu Hurairah ia berkata; Seorang laki-laki menghadap Rasulullah saw. seraya berkata, “Ajarkanlah sesuatu kepadaku, namun jangan engkau memperbanyaknya, sehingga aku mudah untuk mengingatnya.” Maka beliau pun bersabda: “Janganlah kamu marah.” Lalu beliau mengulang-ngulang ungkapan itu” (HR at-Tirmidzi).
Imam at-Tirmidzi mencantumkan Hadits tersebut dalam kitab Sunan-nya pada bab Ma ja’a fi Katsrati al-Ghadab (Tentang Mudah Marah) nomor 1943, dan dikomentarinya sebagai Hadits hasan shahih. Selain Imam at-Tirmidzi, matan Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad pada bab Musnad Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash Radliyallahu ta’ala ‘anhuma, nomor 6346, bab Musnad Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu nomor 8389 dan 9630, bab Hadits Jariyah bin Qudamah Radliyallahu ta’ala ‘anhu nomor 15398, bab AHadits ba’dhu Ashab an-nabi Shallallahu ‘alaihi wasallama nomor 22056, 22081, dan 22088, dan Imam Malik dalam kitab Muwattha’-nya pada bab Ma Ja’a fi al-Ghadab (Tentang Marah) nomor 1408, sehingga semakin menguatkan kualitas Hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi di atas.
Selain Hadits-Hadits di atas, juga terdapat Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam bab Al-Hazdru min al-Ghadabi (mewaspadai marah) no 5649, sebagai berikut;
“Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah orang yang kuat adalah orang yang pandai bergulat, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan nafsunya ketika ia marah” (HR. Al-Bukhari).
Selain Imam Al-Bukhari, matan Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bab Fadhlu man yamliku Nafsahu ‘Inda al-Ghadabi bi’Ayyi Syai’in Yudzhubu al-Ghadab (Keutamaan orang yang mampu menahan dirinya saat marah) nomor 4722, 4723 dan 4724. Imam Ahmad dalam bab Musnad Abdullah bin Mas›ud Radliyallahu ta’ala ‘anhu nomor 3444, bab Musnad Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu nomor 6921, bab Musnad Abu Hurairah Radliyallahu ‘anhu nomor 10284, dan imam Malik dalam kitab Muwattha’-nya pada bab Ma Ja’a fi al-Ghadabi (tema tentang Marah) nomor 1409.
Sekalipun sifat pemarah termasuk sifat tercela dan salah satu penyakit hati, namun tidak berarti seseorang tidak diperbolehkan untuk marah pada saat dan skala tertentu. Bahkan para nabi pun marah jika ajaran agama dilecehkan atau ketika umatnya tidak mematuhi dan menjalankan perintah Allah SwT. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa marah dapat dibenarkan jika kemarahan itu dilakukan secara proporsional, wajar dan dalam dosis tertentu serta terkait dengan persoalan tertentu pula. Bahkan kata bijak menyatakan; “marah pada sewaktu seharusnya marah, itu terpuji. Sebaliknya diam pada waktu seharusnya marah, itu tercela.”•
____________________
Ruslan Fariadi, SAg, MSi, Wadir 1 Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, guru Fikih dan Ilmu Hadits, serta Peminat masalah sosial keagamaan.