Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim (Ketua Dewan Pakar Fokal IMM)
“al-Imamah maudhuatun li khilafatin nubuwati fi harosatid dini wa siyasatid dunya.” Ini statement yang sangat terkenal diantara statement-statement lainnya yang disampaikan oleh Imam Mawardi, seorang Juris muslim yang kesohor. Statement ini sering dikutip oleh banyak sarjana kontemporer ketika membahas soal kaitan islam dan politik. Era Abbasyiah dulu Imam Mawardi menulis sebuah gagasan tentang kepemimpinan politik yang sangat penting berjudul al-Ahkam al-Sultoniyah.
Buku ini ditulis pada saat pemerintah Abbasyiah menghadapi kesulitan politik karena berbagai pertentangan, konflik dan sikap perlawanan yang dilakukan oleh berbagai kelompok kepentingan terhadap penguasa. Situasi ketidak menentuan ini dihawatirkan akan merusak stabilitas, mendelegitimasi kekuasaan yanga ada, political turmoil yang semakin ekstenif, merusak tatanan kehidupan secara menyeluruh. al-Ahkam al-Sultoniyah ditulis dalam situasi seperti ini dan dimaksudkan bisa menjadi semacam guideline agar ekuilibrium sosial politik tercipta dengan baik dan kebersatuan (Jama’ah) terwujud secara maksimal.
Jadi, buku ini didedikasikan untuk itu dan tentu saja pemerintah Abbasiyah memperoleh lejitimasi secara keagamaan dan intelektual dari buku Mawardi ini. Pasalnya, ketaatan kepada pemimpin yang ditunjukkan oleh segenap masyarakat memperoleh perhatian dalam buku ini. Dan soal loyalitas, dedikasi dan ketaatan publik ini tentu saja merupakan modal politik yang sangat penting disamping public trust. Jadi, tidak berlebihan untuk berpandangan babwa buku Mawardi ini secara khusus memberikan makna untuk social and political reconsiliation antar berbagai kelompok kepentingan, social and political equilibrium dan effective political leadership.
Soal rivalitas atau yang lebih tajam lagi tensi dan pertentangan politik berbasis etnis dengan bumbu atau sumbu sumbu agama dalam sejarah jauh sebelum pemerintah abbasyiah sudah muncul. Bahkan political assasination juga telah menjadi bagian dari sejarah umat Islam. Lihatlah contoh yang tragis pembunuhan terhadap para khalifah. Akarnya sebetulnya ethnic-based conflict, konflik suku-suku atau kabilah-kabilah yang sudah cukup lama terjadi. Islam kemudian digunakan sebagai alat lejitimasi antar kelompok yang bertikai. Muncullah, misalnya, Khawarij (seceeder), yang dengan terang-terangan menggunakan ayat Qur’an.
Hal ini kemudian diikuti oleh berbagai kelompok lainnya menggunakan simbol dan kesuciaan agama sebagai political vehicel memperjuangkan kepentingan politik mereka. Muncullah juga Syiah yang secara terus menerus melakukan gerakan dan mempermatang doktrin politik dan berhadapan dengan kelompok Suni yang nyaris abadi, the almost long lasting conflict. Akarnya, sesungguhnya ethnic rivalry and conflict.
Konsep-konsep seperti Darul Islam, Darul Harbi dan Imamah menghiasi banyak karya doktrinal tentang politik. Karya-karya ini terus menjadi rujukan dan memperpanjang kisah pertentangan dan kekerasan politik dalam sejarah umat Islam hingga hari ini khususnys di Timur Tengah. Buku Mawardi sepertinya ingin mendekonstruksi semua hal di atas mesipun tentu saja sangat tidak mudah.
Gagasan dasar statement Mawardi di atas ialah : (1) membangun atau menciptakan kepemimpinan itu adalah sebuah keniscayaan, urgent. Tentu kepeminpinan politik yang efektif, yang memperoleh mandat atau kepercayaan kuat secara publik, yang bersih, berkomitmen tinggi atau amanah, adil dan berdedikasi tinggi memperjuangkan kepentingan umum, tidak diskriminatif dan tidak melakukan abuse of power. Ini yang sering disebut sebagai a Prophetic Leadership. Tidak gampang tapi harus dibangun kepemimpinan seperti ini (2) menciptakan kepemimpinan di atas itu sesungguhnya berarti melanjutkan missi Nubuwah yang sangat agung penuh pengorbanan tak lepas dari gangguan dan intimidasi. Tidak ada jaminan semua kelompok kepentingan dan elemen masayarakat menerima dengan berbagai alasan dan latar belakang. Membutuhkan keterpanggilan, kegigihan, keteguhan, cita cita atau visi yang jelas tentang masyarakat dan bangsa ke depan seperti apa yang harus diciptakan untuk kemaslahatan bersama, (3) Dua missi Nubuwah yang harus diwujudkan oleh kepemimpinn sosial politik itu, pertama, merawat melindungi agama-agama dan umat beragama serta mendorong dan memfasilitasi secara adil agat masyarakat mentaati dan melaksanakan ajaran agama masing-masing. Pemerintah atau negara dan siapapun tidak berhak mendiskriminasi agama. Agama justru harus diyakini sebagai sumber penting untuk kemaslahatan, kedamaian dan kemaslahatan umum. Kedua, membangun kehidupan yang makmur, berkeadilan, maslahat dalam bidang apapun. Ekonomi harus dibangun sehingga tidak ada disparitas yang tajam; harus ada jaminan dari pemerintah atau negara bahwa keadilan ekonomi harus terwujud. Feeling of security masyarakat secara umum secara sosial dan ekonomi musti benar-benar memperoleh perlindungan secara maksimal. Begitu juga hak-hak pendidikan, kesehatan, hukum dan politik haruslah menjadi perhatian serius. Membangun kehidupan yang maju dan berkeadaban adalah urgent karena ini missi Nubuwah, sebagaimana kata Mawardi.
Hemat penulis, statement dan gagasan dasar Mawardi di atas masih sangat relevan dijadikan rujukan untuk merenungkan ulang situasi national leadership kita. Kepemimpinan yang mencerahkan sangat dibutuhkan bagi bangsa Indonesia antara lain untuk menyesaikan berbagai persoalan kebangsaan yang nampaknya semakin memprihatinkan. Itulah a Prophetic Leadership. Konsep Muhammadiyah tentang Indonesia, Negara Pancasila, sebagai Darul Ahdi was Syahadah sangat tepat dikembangkan.