Realisasi kesetaraan gender di berbagai sektor di Indonesia masih menghadapi permasalahan. Salah satunya di sektor pendidikan, minimnya jumlah perempuan yang menduduki pucuk kepemimpinan di perguruan tinggi, membuktikan bahwa keterwakilan suara perempuan dalam pembuatan kebijakan di perguruan tinggi masih dipertanyakan. Berangkat dari hal inilah, Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan (MIP) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bekerjasama dengan alumni The German Academic Exchange Program (DAAD) Indonesia gelar seminar dengan tema “Strategic Gender Management in Higher Education in Indonesia: Gender Equality as Strategic Task in Teaching, Research and Career Development”, Senin (21/3) di Gedung AR Fahruddin A UMY.
Direktur MIP UMY, Dr Dyah Mutiarin mengungkapkan bahwa kegiatan empowerment bagi wanita dalam kepemimpinan masih sangat dibutuhkan di Indonesia. Kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi dari segi management, struktural, dan kepangkatan akademik pun masih tertinggal. Khususnya, Dyah memaparkan, dalam hal manajemen, di perguruan tinggi laki-laki lebih banyak menduduki jabatan struktural. Padahal, perempuan ataupun laki-laki memiliki kompetensi serta kapasitas yang sama dalam mengambil kesempatan menduduki jabatan tersebut. “Karena itulah, kita ingin membawa isu gender ke dalam realisasi penguatan kepemimpinan perempuan di segala sektor, khususnya yang kita bahas kini adalah di perguruan tinggi,” ungkap Dyah.
Ia pun menambahkan bahwa hambatan dihadapi adalah, pertama, secara cultural perempuan lebih cenderung menarik diri dari pencalonan-pencalonan. Ditambah lagi, dengan anggapan dari individu perempuan yang berfikir bahwa tugas perempuan yang utama adalah tugas domestik, sehinga apapun yang ada di luar itu ditakutkan akan mengganggu jalannya keluarga. Kedua, adanya hambatan struktural bahwa untuk jabatan-jabatan tertentu dianggap lebih baik jika diduduki oleh laki-laki. “Selain bahwa dari individu perempuan sendiri masih cenderung withdrawal dari kesempatan memimpin di institusi, kondisi lingkungan struktural juga masih menyumbang hambatan yang besar,” lanjutnya. Dyah pun menyampaikan bahwa apa yang dialami di Indonesia ini tidak berbeda dengan apa yang terjadi di Jerman yang termasuk dalam deretan Negara maju.
Oleh karena itu, menanggapi hal ini, upaya yang akan terus dilakukan adalah melalui penguatan-penguatan, training, serta workshop dalam kepemimpinan perempuan salah satunya dengan apa yang dilakukan oleh Alumni DAAD bersama MIP ini. Sehingga, melalui berbagai penguatan tersebut, akan terwujud Sense of Gender Equality Awareness untuk para perempuan dan laki-laki serta kepemimpinan di perguruan tinggi yang lebih inklusif. Selain itu, Dyah menekankan bahwa untuk mewujudkan kesadaran gender ini, dibutuhkan lingkungan di mana kepemimpinan perempuan bisa diterima dengan tangan terbuka. “Perempuan ataupun laki-laki harus menyadari bahwa dalam kesempatan apapun, khususnya dalam menduduki posisi kepemimpinan keduanya memilki kesempatan yang sama. Karena yang diutamakan adalah bahwa keduanya memilki kemampuan serta kompetensi yang sama,” imbuhnya.
Dyah juga mengatakan bahwa selain menyelenggarakan acara seminar, para peserta juga akan melakukan kunjungan ke Gedung Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah untuk mendiskusikan topik yang sama. “Menurut kami Aisyiyah merupakan gerakan yang kuat dalam melakukan trasformasi dari gender mainstreaming ke gender action. Kami berharap dari acara ini akan ada roadmap baru dalam hal women leadership in higher education,” pungkasnya.
Selain menghadirkan para alumni DAAD, Seminar ini menghadirkan beberapa pembicara di antaranya adalah Dr Alimatul Qibtiyah, Dr Siti Samsiatun, Dr Britta Thege dari University of Applied Science Kiel, dan Dr Christopher Behrens dari Christian Albrecht University yang juga menjadi pengajar di UMY. Acara seminar ini akan ditutup dengan Book Launching yang akan diadakan pada Rabu (23/3). (Th)