Oleh: Isngadi Marwah Atmadja
Walau tidak sekonyol dalam dongeng berlatar zaman Pajang dan Mataram (tentang-kitab-suci-dan-kitab-sakti1-2), kalau boleh jujur, sebenarnya masih banyak di antara umat Islam yang belum memfungsikan Al-Qur’an sebagai “kitab suci”.
Di antaranya adalah mereka yang memfungsikan Al-Qur’an sebagai pengusir hantu. Masih banyak pula yang menulis ayat-ayat dari surat tertentu untuk jimat penolak bala. Di tulis di buritan kapal untuk mencegah kapal itu karam di lautan. Ditulis di atas pintu agar rumah tidak terbakar. Di taruh di atas almari penyimpanan agar harta disimpan tidak hilang dicuri maling.
Banyak di antara kita, membaca ayat-ayat tertentu di malam tertentu untuk meningkatkan derajat, menolak miskin, atau menjadi menjadi enteng jodoh.
Bahkan ada pula yang memfungikan sebagai mantra pembunuh. Dibaca di hadapan orang yang sakit keras dengan harapan yang sakit itu cepat meninggal dunia.
Mungkin, karena mayoritas umat Islam tidak memfungsikan dan memperlakukan Al-Qur’an secara benar seperti inilah yang menyebabkan mayoritas umat Islam di berbagai dunia hidupnya terpuruk. Menjadi pesakitan peradaban.
Mengingat yang Islam pernah menjadi pusat perdaban dunia. Menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Keterpurukan umat Islam ini sebenarnya aneh dan penuh ironi.
Memang, masih banyak umat Islam yang bisa mengkhatamkan Al-Qur’an berkali-kali dalam satu bulan. Namun kebanyakan di antara pengkhatam Al-Qur’an bertujuan semata-mata hanya untuk “mengejar pahala”.
Banyak di antara kita yang mendaras Al-Qur’an seperti merapal mantra. Dikumandangkan tanpa mencoba berusaha untuk mengetahui maknanya.
Masih terlalu sedikit umat Islam yang menjadikan Al-Qur’an sebagai teman berdiskusi untuk mencari solusi setiap masalah kehidupan yang membelit hidup kita.
Kita semua sudah tahu bahwa Al-Qur’an, kitab suci kita ini, bukanlah bacaan untuk orang yang sudah mati. Namun bacaan untuk orang yang masih hidup dan untuk menghidupkan peradaban manusia.
Al-Qur’an adalah anugerah terbesar untuk umat manusia, keberadaannya menyadarkan kita untuk terus belajar dan melawan setiap bentuk pembodohan. Kehadiran Al-Qur’an senantiasa membawa pencerahan bagi setiap kehidupan. Kita semua pasti pecaya akan hal itu. Namun, apakah Al-Qur’an yang seperti itu bisa kita hadirkan hanya dengan membaca satu juz satu hari?
Gerakan membaca Al-Qur’an satu hari satu juz (one day one juz/ ODOJ) yang sekarang lagi ramai, memang bagus dan layak dikembangkan dan diikuti. Kita tentu merasa bangga dan senang melihat semakin banyak orang yang meski berdesakan di bus dan angkutan umum masih menyempatkan diri membaca Al-Qur’an.
Namun, kalau dulu Pak AR pernah mempelopori yasinan model baru (http://devsm.smitnetwork.com/mutiara/2016/01/12/yasinan-model-baru) saya tidak tahu apakah perlu ada gerakan satu hari satu juz model baru juga?
Saya yakin di antara pembaca pasti ada yang mau berbagi ilmu dengan menjawab kegelisahan saya ini. Kami tunggu email anda di [email protected] dengan subjek ODOJ model baru. Jawaban jangan terlalu panjang cukup 1000-2000 karakter saja. Jawaban terpilih akan diberi hadiah dari penerbit Suara Muhammadiyah. Terimakasih