Beda Hari Raya di Era KHA Dahlan

Beda Hari Raya di Era KHA Dahlan

Oleh: Lutfi Effendi

Ketika hasil Tafsir Amali dipraktekkan di masyarakat, bisa saja amaliah itu berbeda dengan amaliah yang berlangsung selama ini di masyarakat. Salah satu amaliah yang kadang berbeda itu adalah amaliah Hari Raya yang dihasilkan perhitungan berdasar Ilmu Falaq.

Perbedaan perhitungan mengenai Hari Raya ini sebetulnya juga pernah dialami pada era KHA Dahlan. Saat itu tanggal 1 syawal yang ditetapkan Kraton Ngayogyakarto berbeda dengan apa yang ditetapkan Muhammadiyah.

Saat itu Grebeg Hari Raya dalam tradisi Kraton Yogyakarta jatuh sehari sesudah hari raya Islam. Adanya perbedaan ini, Kyai Dahlan meminta menghadap Sri Sultan Hamengku Buwono VIII agar masyarakat tidak bingung.

Tengah malam, diantar Kanjeng Kyai Penghulu, Kyai Dahlan diterima Sang Raja dalam sebuah ruang tanpa lampu. Setelah Kyai Dahlan menyampaikan usul agar Grebeg disesuaikan dengan Hari Raya berdasar perhitungan Falaq, Raja bersabda bahwa Grebeg dilaksanakan sesuai dengan tradisi Jawa. Dahlan dipersilakan menyelenggarakan shalat Hari Raya sehari lebih dahulu.

Usai Sabda Raja tersebut, lampu dinyalakan. Kyai Dahlan begitu terkejut mendapati ruang paseban penuh dengan pangeran dan pejabat kerajaan mendampingi Raja saat lampu ruang paseban dinyalakan. Sang Raja kembali bersabda bahwa pemadaman lampu itu sengaja dilakukan agar Dahlan tidak merasa kikuk saat menyampaikan usulnya kepada Raja.

Ada hal yang menarik dari peristiwa ini, Kyai Dahlan berani menyampaikan hasil Tafsir Amalinya yang berbeda kepada Raja. Rajapun bijaksana memberikan ruang dan waktu agar Kyai Dahlan bebas menyampaikan usulannya tanpa terganggu dengan orang lain, meskipun sebetulnya disitu ada orang lain.

Kehadiran pangeran dan pejabat kerajaan ini penting juga bagi Raja, agar keputusan raja bisa didengar langsung oleh mereka dan bisa menyosialisasikan keputusan ini pada masyarakat agar tidak bingung. Oleh karenanya, hingga kini adanya perbedaan tradisi grebeg dengan Hari Raya sudah tidak dipersoalkan lagi.

Kebijakan yang dilakukan Sultan Yogya ini patut diteladani pemerintah dalam hal menghadapi perbedaan Hari Raya, jangan ada pemaksaan dan pemihakan antara yang satu dengan yang lainnya. Adanya pemaksaan dan pemihakan membuat rayat menjadi bingung.

Mereka dipersilahkan menggunakan penetapannya sendiri jika tak dapat disatukan. Bukankan di Indonesia ada berbagai penetapan hari raya dengan metode yang berbeda, Muhammadiyah dengan Hisab hilalnya, Nahdatul Ulama dengan Rukyat Bulan, An Nashr di Sulawesi Selatan dengan Rukyat Alam, Naqsyabandiyah di Sumatera Barat dengan Rukyat Batini dan Kelompok Aboge di Banyumas dengan Hisab tetapnya. (***)

 

Exit mobile version