Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim
Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi MUI & Ketua Dewan Pakar Fokal IMM
Sejak awal, Islam diturunkan untuk sebuah missi agung menciptakan atau menebarkan “rahmat” bagi semesta. Ini genuin. Ratusan kata rahmat/rahmah dengan berbagai derivasinya terdapat dalam Al-Qur’an.
Hadits juga banyak menjelaskan kata rahmat ini. Bahkan, disebutkan sebetulnya Allah menyediakan 100 rahmat. Satu rahmat sudah diturunkan oleh Allah berupa segala bentuk In’am (kenikmatan hidup) atau Ifdhol (keutamaan, kelebihan) atau Fadhoil yang dirasakan oleh manusia siapapun mereka dari waktu ke waktu.
Hidup itu sendiri dengan segala fasilitasnya adalah satu bagian kecil saja dari kenikmatan itu. Alam semesta dengan segala isinya juga kenikmatan yang disediaksn Allah. Tak terbilang. Dan itu, baru satu rahmat yang diberikan. 99 rahmat lainnya, baru akan diberikan nanti di akherat, begitu sebuah Hadits menjelaskan. Itu semua menegaskan bahwa soal rahmat ini sangatlah penting dan mendapatkan perhatian besar oleh Allah.
Jika disumarikan, ada sejumlah ide prinsipal yang terkandung dalam kata rahmat ini, antara lain kemakmuran, kemaslahatan, keadilan, kebersamaan, kesederajatan, kebahagiaan, proteksi, respek, martabat, kedamaian. Jika dicermati ternyata ide -ide prinsipal tersebut sangatlah bersesuaian atau kompatibel misalnya dengan konsep tentang tugas atau fungsi negara dalam pemikiran politik Islam (Fiqih Siyasah) dan bahkan dengan konsep negara modern sekalipun.
Bisa juga dikatakan, dalam bahasa agama, bahwa tugas negara/pemerintah adalah mewujudkan kerahmatan ilahi di dunia. Artinya, negara atau pemerintah yang gagal adalah negara/pemerintah yang tidak memiliki kekuatan, kesanggupan atau bahkan melalaikan tugas utamanya sebagai Khadim, pelayan, pengabdi rakyat/masyarakat mewujudkan gagasan-gagasan penting di atas.
Dalam realitasnya, memang tidak sedikit negara atau pemerintahan yang mengalami kegagalan. Faktornya bermacam-macam, antara lain munculnya berbagai bentuk persekongkolan dari berbagai kelompok sosial, politik, tentara dan penegak hukum lainnya, profesi dan bahkan kelompok agama untuk membajak, merampok dan menjarah apa saja yang tersedia. Dan negara tidak hadir untuk menghadapi persekongkolan jahat ini dan bahkan membiarkan atau memberikan perlindungan.
Dalam situasi seperti ini masyarakat menjadi sangat skeptikal tidak memiliki kepastian hidup karena kejahatan sosial, ekonomi, politik, hukum dan kejahatan terhadap martabat dan kemanusiaan terbiarkan. Apa yang disebut-sebut sebagai Madinah Fadhilah oleh al-Farobi jauh panggang dari api. Ini juga termasuk persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita.
Madinah Fadhilah, bisa juga diartikan sebagai Negara ideal atau Kota/Negara Utama yang dipimpin oleh orang-orang yang memiliki keutamaaan. Bagi Farobi, mereka adalah para Nabi dan Fillsof. Bagaimana mungkin sebuah Negara Utama yang bertugas menciptakan keutamaan hidup (Ifdhal atau Fadhoil), sebagai bagian dari rahmat Ilahi di dunia bisa terwujud jika dipimpin oleh orang-orang yang tidak memiliki keutamaan secara apapun?.
Orang-orang yang (terbukti) cacat secara moral, sosial, intelektual, hukum dan politik tidaklah mungkin menjadi pemimpin membangun Negara/Kota yang baik, utama (clean government dan good governance). Jika para Nabi dan Filosof tidak ada saat ini, maka pemimpin yang dipilih haruslah orang2 yang memiliki kapasitas untuk melanjutkan misi Kenabian (Nubuwah atau Prophecy) dan smart, visioner, berjangka jauh ke depan, cermat, mampu membaca kebutuhan masyarakat, mencerahkan sebagaimana yang dilakukan oleh para filosof. Hanya di tangan pemimpin seperti inilah kemaslahatan publik bisa diwujudkan, bukan pemimpin yang Jahil, begitu Farobi menyebut. Pemimpin yang Jahil akan menciptakan Negara/Kota Jahiliyah karena kesibukan utamanya adalah menjarah, merampok dan korupsi. inilah negara/pemerintah yang gagal karena para pemimpinnya dan semua kolega dan kroninya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya menjarah bangsa.
Tentu ini sebuah ironi jika masih ada sebuah negara, pemerintahan di mana agama menjadi sumber penting dalam menyelelanggarakan kehidupan sehari-hari justru merupakan negara yang korup. Para Nabi dan Filosof atau mereka yang telah memperoleh pencerahan darj spirit, jiwa, karakter dan watak Nabi dan Filosof sudah saatnya hadir melakukan perubahan penting membawa masyarakat ke masa depan yang jauh lebih mencerahkan, lebih utama sehingga Rahmatun Lil Alamin benar-benar dirasakan: rahmat sosial, ekonomi, hukum, politik, kebudayaan. Dan inilah keagungan, keutamaan yang dinanti-nanti. Wallahu a’alam.