Kulon Progo-– Pengaruh dan dominasi pasar oleh swalayan yang merugikan pedagang kecil dan lokal sudah sangat parah. Kerakusan pebisnis pasar berjejaring ini sudah mulai berani untuk mengakali regulasi dan melanggar batasan jarak dengan pasar traditional. Bahkan beberapa swalayan nekat memalsukan nama, demi memuluskan operasionalnya, setelah sempat ditutup. Dalam praktiknya, gerai illegal tetap beroperasi, bermain kucing-kucingan buka tutup jika ada hari penertiban. Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM DIY menilai praktik menghalalkan segala cara ini merupakan sebuah kemungkaran dalam tata niaga. Oleh karena itu, praktik yang menimbulkan gejolak sosial ini harus segera dihentikan.
Merespon isu tersebut, pada Minggu siang (27/03/2016), LHKP PWM DIY menggelar Forum Grup Discussion dengan tema “Perlindungan Pasar Tradisional di DIY”. FGD yang berlangsung di Rumah Makan Dapur Semar, tidak jauh dari RSUD Wates ini menghadirkan pemantik diskusi Farid B Siswantoro dari LHKP PWM DIY, Dr. Hempri Suyatna, David Efendi, MA., Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Kulon Progo, dan dari unsur LO DIY. Turut hadir sebagai keynote speaker, anggota DPD RI Drs. M Afnan Hadikusumo.
Gerakan perlawanan ini berangkat dari landasan yang kuat. Di dalam satu butir rekomendasi Musyawarah Wilayah Muhammadiyah DIY yang diselenggarakan tahun 2015 silam memuat isu penting perihal berkuasanya bisnis dengan merk dagang minimarket modern berjejaring yang telah menggurita. Di dalam keputusan musyawarah tertinggi Muhammadiyah di DIY tersebut dituliskan bahwa: “Dominanya bisnis swalayan modern berjejaring memukul kekuatan ekonomi lokal. Hal ini jika tidak direspon serius tidak menutup kemungkinan banyak produsen lokal akan gulung tikar dalam waktu yang tidak lama khususnya di DI Yogyakarta. Respon persyarikatan harus komprehensif meliputi aspek pemberdayaan kelompok ekonomi dan juga advokasi terhadap keberadaan regulasi yang berpihak kepada masyarakat lokal.”
Hasil kajian LHKP menunjukkan bahwa berbagai perda perlindungan pasar tradisional dalam wilayah DIY dirasakan tidak menyentuh aspek penegakan regulasi terkait perlindungan pasar tradisional, sehingga liberalisasi pasar waralaba telah menyuburkan praktik eksploitatif di daerah. Di dalam perda dikatakan bahwa pasar modern harusnya membina pasar tradisional. Namun dalam kenyataannya, antara pasar modern dan tradisional memiliki relasi yang kontradiktif. Karenanya, pemerintah perlu melakukan evaluasi atas kebijakan atau regulasi mengenai pasar modern yang telah berlaku selama ini untuk ditekankan pada pembelaan atas eksistensi pasar rakyat.
Pernyataan sikap yang ditandatangani oleh 75 perwakilan dari asosiasi pasar tradisional warung, individu, majelis lembaga dan ortom Muhammadiyah, dan aktifis kemasyarakatan ini juga menyoroti tentang tiga ranah yang berimbas secara langsung, sehingga penegakan etika bisnis harus dilakukan. “Ini menyangkut tiga ranah bottom line, yakni ekonomi, lingkungan dan sosial, yang secara sederhana menekankan bahwa perusahaan memiliki tanggungjawab pada ketiga aspek tersebut.”
Di bagian akhir, dibacakan Deklarasi Gerakan Bela Pasar dan Warung Rakyat. Di antara poinnya menyatakan bahwa, “Konstitusi Negara mewajibkan pemerintah memberikan perlindungan kepada segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, dengan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945). Kami mendesak Pemerintah beserta segenap institusi organiknya di tingkat mana pun, untuk bekerja keras memajukan kesejahteraan umum dalam arti sebenar-benarnya”
LHKP juga mendorong kepada Pemerintah beserta segenap institusi organiknya di tingkat mana pun, untuk tidak mudah larut dalam idealisasi ekonomi neo-liberal dengan terus berupaya membangun untuk kemajuan daerah dengan kearifan lokalnya. “Melihat kenyataan pahit struktur ekonomi-pasar yang timpang, khususnya antara pemilik modal lemah berhadapan dengan pemodal kuat, seperti tampak antara warung rakyat dan pasar tradisional dengan toko modern berjejaring. Kami meyakini bahwa ketimpangan ini terjadi lebih disebabkan kebijakan yang hanya ramah kapitalis dan tidak ramah terhadap usaha-usaha kecil seperti pelapak di pasar tradisional dan warung rakyat.” (Ribas)