Oleh: Isngadi Marwah Atmadja
Alhamdulillah, tulisan tentang ODOJ model baru selasa yang lalu telah dijawab beberapa pembaca. Salah satunya dari Sumarno Edy, Sekretaris PCPM Kottabarat Surakarta yang mengusulkan ada semacam gerakan untuk menyadarkan seluruh Warga Muhammadiyah untuk membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur’an.
Salah satu gerakan konkrit yang diusulkan adalah dengan membentuk semacam ODOJ di tingkat Ranting sampai tingkat pusat.
Komunitas ODOJ di masing-masing tingkat itu dievaluasi secara periodik untuk memantau perkembangan kemampuan dan pemahaman masing–masing anggota pada tema-tema pokok Al-Qur’an.
Point penting yang perlu digaris bawahi dari gerakan ini adalah supaya komunitas ini bisa menciptakan kader-kader Muhammadiyah yang cinta Al-Qur’an dan terbiasa berbagi kebaikan kepada sesama.
Usulan dari Sumarno Edy ini mengingatkan saya pada dongeng panjang yang saya baca di satu majalah bahasa Jawa berhuruf latin. Saat itu saya masih belum lancar baca-tulis. Dongeng itu berjudul “ngupaya serat pangruwat papa”. Kalau diterjemahkan menjadi “mencari kitab pembebas derita”. Dongeng ini mengisahkan seorang guru yang mengembara bersama tiga muridnya. Seekor kera, manusia berwajah babi, dan manusia idiot. Empat tingkat makhluk. Hewan, manusia setengah hewan, manusia tanpa akal, dan manusia sempurna yang jadi guru.
Dalam pengembaraan itu mereka menemui banyak cobaan dan halangan serta bertemu dengan berbagai peristiwa yang bisa menjadi kisah tersendiri.
Di salah satu episode dongeng yang ternyata gubahan dari cerita China itu, ada kisah yang cukup menarik. Yaitu tentang panglima kerajaan yang berbakti kepada ibunya. Panglima andalan kerajaan itu sangat dipercaya sang raja sehingga dipercaya untuk memimpin seluruh pasukan yang ada.
Namun, di balik semua kecemerlangan yang ada, panglima itu ternyata mempunyai seorang Ibu yang karena kesalahan harus dipenjara di Goa Sunyi. Tidak ada satu orang pun yang boleh menemuinya, termasuk putranya sendiri.
Walau ibunya di penjara, sang putra yang jadi panglima itu terus berbuat jasa demi jasa kepada kerajaan. Setiap ditanya tentang hadiah atas jasa yang telah diperbuat, panglima itu hanya minta untuk diperkenankan menemui sang Ibu. Raja akhirnya luruh.
Raja mengabulkan permintaan itu dengan satu syarat. Kalau dia berbuat kebaikan yang membuktikan jiwa welas-asihnya sebanyak seratus kali, dia boleh tinggal bersama ibunya selama satu hari.
Oleh karena itu, panglima itu setiap saat terpacu untuk berbuat baik. Setelah matahari tenggelam dan dia mencopot baju militernya (jam dinas ketentaraannya berakhir saat matahari tenggelam) dia berkeliling negeri untuk berbuat baik kepada sesama.
Dia pun bersumpah tidak akan tidur sebelum berbuat 10 kebaikan. Dengan begitu setiap 10 hari dia bisa tinggal bersama ibunya.
Panglima yang ganas di medan perang itu, setiap malam berubah menjadi tuan penolong yang dicintai seluruh makhluk. Dia tidak enggan merawat kucing kudisan yang sedang kelaparan. Dia juga tidak segan menggendong orang berpenyakit kusta ke tempat pengobatan. Dengan senang hati dia juga akan menolong anak ayam yang terpisah dari induknya. Satu hari sepuluh kebaikan. Hanya itu yang ada dalam pikiran anak berbakti itu.
Ketika saya masih kanak-kanak, konsep yang mirip satu hari sepuluh kebaikan ini juga pernah diterapkan seoarang guru ngaji di sebuah mushala kecil.
Guru mengaji ini hanya mau menambahkan ayat baru kepada muridnya apabila sang murid mengerjakan sejumlah kebaikan. Misalnya sang murid berbuat enam kebaikan maka dia berhak menambah tiga ayat untuk disimak.
Walau lancar membaca ayat sebelumnya, tapi dia tidak menyerahkan laporan kebaikan hari itu, maka dia tidak ditambah ayatnya. Dia harus mengulang ayat yang kemarin.
Daftar kebaikan yang diserahkan juga cukup beragam, mulai dari menolong menimba air seorang ibu, sampai menyingkirkan batu dari jalan semua dilaporkan. Hebatnya lagi, guru mengaji itu selalu mengapresiasi semua catatan kebaikan itu dengan tulus hingga semua murid “bangga” dengan catatan kebaikannya sendiri dan terpacu untuk terus meningkatkannya.
Setelah hampir menyelesaikan tulisan ini, hari sudah hampir sore. Saya sempat mengingat. Dari pagi tadi, berapa kebaikan yang telah saya bagi pada sesama? ternyata saya belum melakukan apa-apa.
———————————
Catatan: Mohon Pak Sumarno Edy berkenan mengirimkan alamat lengkap agar kami bisa kami mengirimkan hadiahnya.