Oleh: Budi Asyhari-Afwan
Pasca terbunuhnya Utsman bin Affan, muncul perbedaan pendapat politik di kalangan umat Islam. Pandangan politik itu kemudian merembet ke persoalan kalam (teologi). Bukan lagi persoalan siapa yang berhak menggantikan Utsman bin Affan, melainkan bagaimana status hukum bagi pembunuh Utsman bin Affan: kafirkah? Masih mukminkah? Dosa besarkah? Dan seterusnya.
Murji’ah muncul dilatarbelakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam pecah dalam dua kelompok besar: Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali pun pecah dalam dua golongan: golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij).
Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena dianggap telah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian tersebut, masing-masing saling mengafirkan kelompok lain.
Di tengah suasana pertikaian ini, muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik tersebut. Kelompok inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.
Murji’ah berasal dari kata arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Oleh karena itu, mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir di antara ketiga golongan tersebut.
Persoalan yang memicu Murji’ah menjadi golongan sendiri adalah terkait dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut Murji’ah, manusia tidak berhak dan tidak berwenang menghakimi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka atau surga. Masalah ini mereka serahkan kepada keadilan Tuhan kelak. Mereka menunda penilaian itu sampai hari pembalasan tiba.
Bermula dari terbunuhnya Utsman bin Affan, saat itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar (pembunuh Utsman). Kaum Murji’ah menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak boleh serta merta disebut kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini berlawanan dengan kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar adalah kafir.
Bagi golongan Murji’ah, yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, meskipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Tokoh-tokoh masa itu yang tergolong dalam Murji’ah adalah Abu Hasan al-Shalihi, Yunus bin al-Namiri, Ubaid al-Muktaib, Ghailan al-Dimasqy, Bisyar al-Marisi, dan Muhammad bin Karram.