Oleh : Setyadi Rahman
Jamaah sidang Jum’at yang dimuliakan Allah.
Pada awal tahun 2016 yang lalu, jagat Indonesia digemparkan dan diharubiru oleh suatu gerakan yang sesat dan menyesatkan yang bernama Gafatar, singkatan dari Gerakan Fajar Nusantara. Gerakan ini merupakan metamorfosis dan transformasi dari gerakan Al-Qiyadah Al-Islamiyah pimpinan nabi palsu Ahmad Mushaddeq yang muncul lebih dahulu dan sudah difatwakan sesat oleh MUI. Ahmad Mushaddeq dan beberapa pengikutnya yang penting, termasuk Mahful Muis Tumanurung, Ketua Umum Gafatar, ditangkap dan dipenjara oleh pihak yang berwajib.
Kelihatan sekali bahwa mereka tidak jera dengan perbuatan mereka yang tidak benar tersebut. Terbukti kemudian Mahful Muis Tumanurung mendirikan dan mendeklarasikan Gafatar. Yang mengagetkan sekali bahwa pria kelahiran Pangkep, Sulawesi Selatan pada tahun 1975 yang merupakan figur sentral organisasi Gafatar adalah alumnus terbaik Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) Mangkoso Kampus II Tonrongnge pada tahun 1994. Ia juga lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2006 dan mengenyam pendidikan S3. Ia dikenal memiliki kemampuan menghafal al-Qur’an, membaca kitab, dan jago pidato.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.
Kita patut bersyukur karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah mengeluarkan fatwa bahwa aliran Gafatar adalah sesat sekaligus menyesatkan. Ada dua alasan MUI mengeluarkan fatwa seperti itu. Pertama, Gafatar merupakan metamorfosis dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah, pimpinan Ahmad Mushaddeq, sebuah aliran kepercayaan yang melakukan sinkritisme ajaran dari al-Qur’an, Injil, Taurat, dan wahyu yang diakui turun dari pemimpinnya. Kedua, Gafatar memilih faham “Milah Abraham” yang menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Mereka yang meyakini “Milah Abraham” ini adalah murtad dan keluar dari agama Islam.
Muncul pertanyaan: bagaimana sikap umat Islam jika di kemudian hari menghadapi masalah yang serupa tetapi dengan wujud yang berbeda? Jawabnya: siapa pun orangnya dan apa pun nama gerakan dan organisasinya, apabila terbukti salah dan sesat, bahkan menyesatkan karena mengajak orang lain untuk tersesat, maka kita harus memiliki sikap menolak yang jelas dan tegas. Kita abaikan saja janji-janji muluk, rayuan maut yang menghanyutkan hati dan pikiran, serta segala argumentasi palsu yang mereka tawarkan. Perlu kita renungkan peringatan Allah SwT betapa banyak jalan kesesatan dan kegelapan di dunia ini, yang tak pernah berhenti bermunculan, seakan mati satu tumbuh seribu. Allah SwT berfirman:
Artinya: “Dan bahwasanya inilah jalan-Ku yang lurus [yakni, Islam dan ajarannya], maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Qs Al-An’aam: 153)
Kemudian Rasulullah saw memperkuatnya dengan sabdanya:
Artinya: “Aku telah meninggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah [Al-Qur’an] dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik)
Zumratal mukminin a’azzakumullah.
Kasus Gafatar menunjukkan betapa masih ada di antara umat Islam yang belum sepenuhnya beriman kepada al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw, padahal percaya kepada keduanya merupakan perwujudan dari beriman kepada Kitab dan Rasul Allah sebagai bagian dari Rukun Islam yang lima. Apabila hal itu terjadi, maka otomatis mereka masih meragukan firman Allah Swt yang termaktub dalam Qs al-Baqarah: 2, yaitu:
Artinya: “Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya, menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa,” (Qs al-Baqarah: 2).
Di samping itu, salah satu indikasi sikap tidak sepenuhnya menerima Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah yang terakhir adalah keengganan untuk menerima sunnah Rasulullah secara utuh. Wajarlah jika Allah menganggap sikap seperti ini sebagai sesat dan kafir, sebagaimana firman-Nya:
Artinya: “… Dan barangsiapa yang kafir [atau ingkar] kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang jauh,” (Qs an-Nisaa’: 136).
KHUTBAH KEDUA
Jamaah sidang Jum’at yang dimuliakan Allah.
Fatwa MUI Pusat tentang Gafatar sangatlah jelas dan tegas: Gafatar itu sesat dan pengikutnya murtad! Jikalau mereka murtad maka berarti mereka telah melakukan konversi (perubahan) agama, yakni dari semula Islam menjadi Milah Abraham. Tentu ada penjelasan mengapa para pengikut Gafatar bersedia, secara sadar atau tidak sadar, berganti keyakinan dan agama. Menurut Prof Dr Zakiah Daradjat, seorang pakar psikologi Islam, dalam bukunya yang berjudul Ilmu Agama (2005), terdapat lima faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi agama, yaitu faktor pertentangan batin dan ketegangan perasaan, faktor pengaruh hubungan dengan tradisi agama, faktor ajakan/seruan dan sugesti, faktor emosi, dan faktor kemauan. Adapun penjelasan rincinya adalah sebagai berikut.
Pertama, faktor pertentangan batin dan ketegangan perasaan. Dijumpai pada orang-orang yang melakukan konversi agama suatu kegelisahan di dalam dirinya akibat berbagai persoalan yang tidak mampu dihadapinya sendiri. Di antara ketegangan dan kegoncangan dalam dirinya adalah karena dia tidak memiliki seseorang yang dapat dijadikan rujukan dalam hal nilai-nilai moral dan agama dalam hidupnya. Sebenarnya orang seperti ini mengetahui mana yang benar untuk dilakukan, tetapi dia tidak mampu berbuat, sehingga mengakibatkan segala yang dilakukannya serba salah. Namun demikian, dia tetap tidak mau melakukan yang benar.
Kedua, faktor pengaruh hubungan dengan tradisi agama. Di antara faktor terpenting sehingga terjadi konversi agama adalah faktor pendidikan yang diberikan orangtuanya di waktu kecil, dan keadaan orangtua itu sendiri, yakni apakah dia termasuk orangtua yang kuat dan tekun dalam beragama ataukah tidak. Faktor lain yang tidak sedikit dalam konversi agama adalah lembaga-lembaga keagamaan, masjid atau gereja. Aktivitas lembaga keagamaan itu mempunyai pengaruh besar, terutama lembaga keagamaan sosialnya. Kebiasaan di waktu kecil melalui bimbingan-bimbingan di lembaga keagamaan yang tidak dilakukan secara intensif dan efektif, dapat memudahkan terjadinya konversi agama manakala pada usia dewasanya menunjukkan sikap acuh tak acuh pada agama dan mengalami konflik jiwa dan ketegangan batin yang tidak teratasi.
Ketiga, faktor ajakan/seruan dan sugesti. Peristiwa konversi agama terjadi karena ajakan dan sugesti, yang pada mulanya hanya bersifat dangkal saja atau tidak mendalam, tidak sampai kepada perubahan kepribadian. Namun dia akan melakukan konversi jika dirinya dapat merasakan ketenangan dan kedamaian batin dalam keyakinan barunya itu. Orang-orang yang sedang gelisah karena mengalami kegoncangan batin akan mudah menerima ajakan dan sugesti atau bujukan orang lain, apalagi jikalau sugesti tersebut menjanjikan harapan akan terlepas dari kesengsaraan batin yang sedang dihadapinya.
Keempat, faktor emosi. Salah satu faktor yang mendorong terjadinya konversi agama adalah pengalaman emosional yang dimiliki setiap orang dalam kaitannya dengan agama mereka. Berdasarkan penelitian George A Cob terhadap orang-orang yang mengalami konversi agama, ternyata konversi agama lebih banyak terjadi pada orang-orang yang sedang dikuasai emosinya. Orang-orang yang sedang mengalami kekecewaan dan menghadapinya dengan penuh emosional akan sangat mudah terkena sugesti orang lain.
Kelima, faktor kemauan. Dalam beberapa kasus, terbukti bahwa konversi agama itu terjadi karena adanya hasil dari suatu perjuangan dan berasal dari kemauan orang yang ingin melakukan konversi agama itu sendiri. Dengan kemauan yang kuat, pada akhirnya seseorang akan mencapai puncak keinginannya, yaitu mengalami konversi dalam dirinya. Hal ini dapat diikuti dari riwayat hidup dan pengalaman al-Ghazali —yakni, yang semula menekuni dunia filsafat kemudian berubah menekuni dunia tasawuf dan berbalik memusuhi filsafat— pen. Menurutnya, pekerjaan yang diraihnya dan buku-buku yang ditulisnya bukanlah datang dari keyakinan, melainkan datang dari keinginan untuk mencari nama dan pangkat.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.
Marilah kita arahkan hati dan pikiran kita kepada Allah SwT. Marilah kita akhiri renungan Jum’at kali ini dengan berdoa ke hadirat Allah SwT, disertai harapan semoga Allah Swt berkenan mengabulkan doa kita, antara lain, menjadikan kita sebagai hamba-hamba Allah Swt yang dimudahkan untuk dapat memahami kebenaran Islam dengan pemahaman yang benar, yang tidak menyimpang, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya, serta sebagaimana yang dipahami oleh para ulama salaf dan khalaf yang shalih dan lurus.•
——————————————
Drs Setyadi Rahman, MPI adalah Guru Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta dan Dosen STAIT Jogja.