Ibn Taimiyah Tokoh Mujadid Akbar
Oleh Dr H Haedar Nashir, M.Si.
(Bagian Ketiga Dari Tujuh Bagian Tulisan: Muhammadiyah Dan Matarantai Pembaruan Islam)
Pasca kejatuhan kekhalifahan Islam di Baghdad tahun 1258 masehi, umat Islam mengalami kemunduran panjang di berbagai sektor kehidupan hingga tahun 1800 masehi ketika penjajahan asing (Barat) semakin meluas di negeri-negeri muslim. Kendati begitu masih terdapat masa kebangkitan pada periode tersebut, yakni dalam fase tahun 1500-1700 masehi dengan bangkitnya tiga kekuasaan besar Islam yaitu dinasti Ustmani di di Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India. Namun, dengan kondisi kejatuhan kekuasaan Islam secara luas, penjajahan asing, dan kejumudan di bidang agama, periode panjang itu boleh dikatakan sebagai masa kemunduran peradaban Islam setelah selama sekitar empat abad (650-1258 M) mengalami masa dan puncak keemasan. Lebih-lebih setelah perang Salib, kondisi umat Islam mengalami pelemahan secara politik, di samping mengalami krisis keagamaan.
Pada periode yang kritis itulah lahir para pembaru (mujadid) di sejumlah negeri muslim, salah satu yang paling awal dan menonjol ialah Ibn Taimiyyah. Nama lengkapnya Taqiyyuddin Ahmad Ibnu Taimiyyah, lahir di Harran, sebuah kota kecil di Syiria pada hari Senin 10 Rabiul Awwal (sebagian pendapat tanggal 12 Rabiul Awwal) tahun 661 hijriyah bertepatan tahun 1263 Miladiyah) dan meninggal di penjara Damaskus pada hari Ahad malam tanggal 20 Dzulqa‘dah tahun 728 H (1328 M).
Ayahnya bernama Syihabuddin, seorang ahli Hadits dan menjadi Khatib terkenal di Masjid Besar Damaskus. Pamanya, Fakhruddin, juga seorang ulama dan penulis yang masyhur di Damaskus. Kepada ayah dan pamannya itulah Ibn Taimiyah menimba ilmu, untuk kemudian belajar ke guru dan tempat lain setelah keluar dari Harran. Di kota Harran yang memiliki tradisi keilmuan tinggi itulah Ibn Taimiyah menghabiskan masa kecilnya selama enam tahun hingga kemudian pindah (mengungsi) ke Damaskus (ibukota Syam kala itu atau Syiria saat ini) karena serangan tentara Mongol (Tartar) yang membabibuta ke kota kelahirannya itu.
Di Ibukota Syiria itulah Ibn Taimiyah mengasah ilmunya dan berkenalan secara intensif dengan pemikiran Imam Ibn Hanbal atau mazhab Hanbali, yang sejak lama di kota itu memang sudah berdiri lembaga pendidikan Hanbali yang termasyhur yang didirikan oleh Abu Faraj Abdul Wahid Al-Faqih, seorang murid qadhi Mazhab Hanbali yang ternama yaitu Abu Ya‘la yang hidup di akhir abad kelima hijriyah.
Ibn Taimiyah memang sering dihubungkan dengan penerus dan pemikir yang memiliki kaitan dengan Mazhab Hanbali. Pemikirannya untuk menghidupkan kembali ajaran Salaf al-Shalih (tiga generasi terbaik sesudah Nabi) yang membawa misi pemurnian akidah yang sering diklaim sebagai golongan yang selamat (firqah najiyah) sebagaimana pesan Nabi mengenai lahirnya berbagai golongan dalam Islam.Gerakan untuk menghidupkan ajaran Salafiyah yang murni itulah yang membawa persentuhan Ibn Taimiyah dengan Madzhab Hanbali yang sejak awal menggelorakan Salafiyah.
Karena itu, hingga batas tertentu, gerakan Salafiyah bahkan memperoleh napas baru di tangan Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah, yang menampilkan pemikiran dan gerakannya dengan begitu cerdas dan cemerlang. Pemikirannya selain tentang tauhid, tafsir, hadis, dan fiqh yang begitu luas dan mendalam, juga tentang politik sebagaimana termaktub antara lain dalam karya utamanya As-Siyasah As-Syar‘iyyah. Dia sangat keras pula menentang tasawuf, terutama yang membawa paham wihdat al-wujud atau phanteisme. Dia juga pendobrak pintu ujtihad yang ditutup rapat kala itu. Di sinilah Ibn Taimiyah menjadi sosok ulama dan pemikir besar yang menonjol dalam menggelorakan gerakan “Kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” (al-ruju‘ ila al-Quran wa al-Sunnah) , yang dikenal pula dengan gerakan pemurnian Islam.
Gerakan pemurnian Islam yang dipelopori Ibn Taimiyah dan kemudian mengilhami gerakan-gerakan pembaruan Islam babak berikutnya, memang dinisbatkan pada ajaran Salaf al-Shalih, yakni ajaran Islam yang dipraktikkan dan dianut di zaman Nabi, Sahabat, Tabi‘in, dan Tabi’ut Tabi‘in hingga abad ke-3 hijriyah, yang dikenal pula dengan gerakan Islam aseli (Harun Naution, 2001: 19). Islam aseli atau murni tersebut belum tercemar oleh praktik-praktik syirk (kemusyrikan), bid‘ah, tahayul, dan khurafat; yang di lingkungan Muhammadiyah dikenal dengan TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Churafat). Ibn Taimiyah, sebagaimana Imam Ibn Hanbal dan Madzhab Hanbali, memang sosok yang cukup keras dalam menggelorakan pemurnian Islam tersebut. Hal tersebut karena situasi kehidupan umat Islam kala itu memang tengah berada dalam situasi penuh krisis. Dia berada di tengah zaman ketika Islam yang autentik banyak tercemar oleh berbagai penyimpangan, sehingga gerakan “kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah” yang dikumandangkannya memang sangat kontekstual dengan zaman kritis saat itu.
Ketika itu (abad ke-7 dan ke-8 hijriyah), kala Ibn Taimiyah hadir di pentas sejarah umat Islam yang penuh gejolak, umat Islam di Timur (Baghdad) tengah berada dalam penguasaan tentara Mongol, yang sebagian tentaranya banyak yang masuk Islam dan berpengaruh dalam kehidupan penduduk muslim saat itu, tetapi lebih banyak formalitas untuk kepentingan politik.
Lebih jauh lagi, timbul pencampur-adukan praktik-praktik Islam yang berbau TBC, sehingga Islam menjadi agama yang diterlantarkan dan kehilangan kemurniannya sebagaimana zaman Nabi dan generasi Salaf. Pada masa itu pula kaum muslimin tengah berhadapan selain dengan pasukan Mongol, juga ekspansi Kristen dan penjajah Eropa, serta di dalam terjadi perpecahan kekuasaan di tubuh umat Islam sendiri (Qamaruddin Khan, 1971: 34).
Dinasti Mamluk yang tengah memegang tampuk kekhilafahan Islam tengah dilanda krisis, lebih-lebih setelah kedatangan atau invasi tentara Mongol dan kebangkitan kembali kekuasaan Bizantium untuk melakukan balas dendam melalui Perang Salib guna merebut kembali Palestina dan daerah-daerah sekitarnya yang dulu menjadi wilayah kekuasaannya ketika dulu ditaklukan Islam pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Di era krisis itu pula Ibn Taimiyah beberapa kali terjun ke medan perang membela Islam dan umat Islam, sehingga dia pun bukan sekadar mujtahid tetapi juga mujahid Islam.
Ibn Taimiyah, selain menyuarakan kembali pada Islam generasi Salaf, juga memelopori dibukanya pintu ijtihad. Jadi tidak semata-mata kembali ke Islam murni, tetapi juga mengajak tajdid atau pembaruan di tubuh umat Islam kala itu. Dia bukan hanya fuqaha (yuris) yang menonjol, tetapi juga teolog terbesar abad tengah, sehingga dijuluki sebagai “Syeikh al-Islam”. Lebih dari itu, Ibn Taimiyah bahkan dijuluki sebagai “mujadid” atau pembaru ternama di dunia Islam.
Ratusan karya tulisnya luar biasa, baik dalam bentuk makhthuthat (manuskrip) maupun risalah atau buku, juga syair, sehingga merupakan pemikir dan tokoh paling menonjol dalam sejarah pemikiran Islam klasik. Adz-Dzhaby seperti dikutip Ali Sami An-Nasyyar (1995: vi-vii) melukiskan Ibn Taimiyah sebagai figur pembaca yang berhasil, mahir dalam ilmu hadis dan fiqh pada usia relatif muda, ahli tafsir, ushul fiqh, dan seluruh ilmu keislaman secara global, kecuali ilmu qiraat. Dia juga menguasai filsafat sehingga mampu membongkar kelemahan filsafat, juga menguasai secara sempurna masalah lughah, nahwu, dan sharaf. Dialah sosok mujtahid muthlaq yang besar.
Dalam situasi Islam dan umat Islam yang terpuruk itulah Ibn Taimiyah mengumandangkan gerakan pemurnian dan pembaruan Islam. Gerakan tersebut membawa konsekuensi pula pada pergesekan Ibn Taimiyah dengan sesama ulama dan penguasa di sejumlah negeri muslim kala itu terutama di Syiria dan sekitarnya (Mesir, Libanon, dan Palestina), lebih-lebih karena pembawaannya yang keras dan tajam.
Karena itu tercatat pula bahwa Ibn Taimiyah semasa hidupnya penuh pergulatan, bahkan persengketaan paham dengan ulama dan pemerintah di era dinasti kekhalifahan kala itu, sehingga mengalami “mihnah” (penghakiman karena perbedaan pandangan oleh penguasa atau kekuatan dominan) yang membuat dirinya menjadi korban dan beberapa kali dipenjara.
Kondisi yang penuh gesekan dengan ulama pendukung kekuasaan dan yang sejak awal tidak sepaham dengan Madzhab Hanbali, selain dengan penguasa Islam kala itu, menghantarkannya pada nasib buruk hingga dipenjara beberapa kali. Di penjara itu pula, di kota Damaskus, pada tanggal 20 Dzul‘qdah 1328 miladiyah, Syeikh al-Islam sang pembaru dari Harran itu wafat. Kendati nasibnya tragis sebagai korban kesewenang-wenangan rezim ulama dan penguasa kala itu, namun namanya harum hingga saat ini sebagai sosok pembaru dan pelopor kembangkitan Islam yang sangat ternama dan cemerlang di dunia Islam.