Oleh : David Efendi dan Hempri Suyatna
Salah satu butir rekomendasi Musyawarah Wilayah Muhammadiyah DIY yang dilaksanakan pada akhir tahun 2015 adalah pentingnya respon persyarikatan Muhammadiyah dalam menghadapi ekspansi toko modern berjejaring nasional yang melakukan ekspansi kuat di daerah, bahkan ke desa-desa. Jika ekspansi toko modern jejaring dibiarkan, tidak menutup kemungkinan banyak produsen dan warung-warung rakyat akan gulung tikar.
Bertitik tolak dari hasil Muswil inilah, PWM DIY khususnya Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) bertekad untuk terus mencegah dominasi pasar modern yang menindas dan meminggirkan pasar rakyat di DI Yogyakarta khususnya, dan seharunya menjadi gerakan Muhammadiyah di seluruh tanah air. Salah satu bentuk pembelaan ini adalah dengan mendorong secara sunguh-sungguh kepada pemerintah agar melakukan evaluasi keberadaan modern berjejaring. Dalam teologi Muhammadiyah, upaya ini adalah amalan teologi Al-maun yang diajarkan KH A Dahlan. Jadi, Muhammadiyah yang tidak berpihak kepada pasar rakyat dan pedagang yang tergilas pasar modern adalah bukan Muhammadiyah yang sebenar-benarnya.
Tuntutan atas penataan toko modern berjejaring ini sebenarnya sudah menjadi isu publik yang cukup lama. Data Kementerian Perdagangan Tahun 2014 menunjukkan bahwa toko modern di Indonesia berjumlah 23.258 gerai dalam bentuk ritel, rumah makan, apotek, minimarket, dan waralaba. Dari hasil kajian riset dan realitas yang terjadi, pertumbuhan toko modern berjejaring yang tidak terkendali memberikan dampak negatif bagi warung-warung rakyat dan produsen lokal.
Tantangan ke depan juga ada di depan mata. Implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan memberikan peluang bagi perkembangan ekspansi toko-toko modern asal negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.
Regulasi-regulasi penataan toko modern juga banyak dikeluarkan oleh pemerintah. Misalnya di level pusat ada Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, Permendag Nomor 70/M-Dag/Per/12/2013 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dan Permendag nomor 56/M-Dag/Per/9/2014 Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-Dag/Per/12/2013 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar. Di DIY, setiap daerah juga sudah memiliki peraturan-peraturan mengenai toko modern ini misalnya Perbup Bantul Nomor 35 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan ijin usaha toko modern, Perda Sleman nomor 18 Tahun 2012 Tentang Perijinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, Perda Gunungkidul nomor 16 tahun 2012 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan toko modern, Perda Kulonprogo nomor 11 Tahun 2011 mengenai Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Tradisional serta Penataan Pusat Perbelanjaan dan toko modern dan Perwali Kota Yogyakata nomor 79 Tahun 2010 tentang Pembatasan Usaha Waralaba Minimarket.
Meskipun telah banyak regulasi, akan tetapi jika dicermati ada beberapa kelemahaan baik dari sisi substansi dan implementasi regulasi tersebut. Dari sisi substansi, banyak kelemahan-kelemahan yang muncul dalam berbagai peraturan daerah tersebut misalnya terkait dengan proses dan persyaratan-persyaratan perijinan usaha toko modern yang cenderung terlalu longgar dan memberikan celah bagi siasat pemilik kapital, kurangnya penekanan dimensi sosial dalam pembangunan toko modern, jarak antara toko modern dengan warung rakyat dan toko modern lainnya juga aspek kemitraan antara toko modern dengan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Celah-celah kelemahan dari sisi regualasi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pemilik toko modern berjejaring untuk mensiasasti berbagai bentuk proses perijinan yang ada. Dari kasus di lapangan banyak ditemukan pembangunan toko modern ini seringkali mendahului legalitas ijin usaha yang dimiliki, banyak toko modern yang berjarak kurang 1 kilometer dari pasar tradisional. Bahkan seiring gencarnya penertiban yang dilakukan pemerintah daerah, banyak toko-toko modern berjejaring nasional yang kemudian mengganti namanya dengan brand nama-nama lokal. Akibatnya banyak muncul toko-toko “siluman”. Ironisnya, pemerintah daerah seringkali tidak kuasa menahan berbagai strategi yang dilakukan para pemilik kapital di dalam mengembangkan ekspansi usahanya. Di sisi lain, masyarakat dan para pelaku warung rakyat seringkali tidak memiliki keberanian di dalam mengadvokasi nasib mereka. Mereka seringkali takut kalau ada ancaman ataupun intimidasi terhadap mereka.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut maka upaya penertiban toko modern memang perlu dilakukan secara kontinyu. Verifikasi perijinan yang lebih ketat dan pemantauan yang rutin diharapkan dapat dilakukan oleh pemerintah daerah. Gerakan-gerakan moral untuk tidak membeli produk di toko-toko modern yang bermasalah dalam perijinan mungkin dapat menjadi sebuah alternatif. Kapasitas pengawasan terhadap toko modern juga perlu lebih melibatkan pemerintah kecamatan maupun pemerintah desa karena mereka yang lebih dekat dengan lokasi. Kemudahan di dalam permodalan dan pengembangan usaha serta pelatihan sumber daya manusia diharapkan dapat menjadi alternatif kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing waralaba-waralaba lokal tersebut. Pengembangan waralaba lokal ini diharapkan juga dapat dipandang sebagai bagian mengembangkan UMKM dari hulu ke hilir. Oleh karena itu, waralaba lokal harus menampung produk-produk lokal yang dihasilkan para pelaku UMKM.
Indonesia tidak boleh malu belajar dari Malaysia maupun Thailand misalnya. Di Malaysia, perhatian pemerintah cukup intens di dalam menggarap waralaba lokal. Demikian juga di Thailand yang mengembangkan pusat pasar dalam memfasilitasi proses penjualan waralaba dari usaha Black Canyon Coffee.
Untuk mendorong peran pemerintah untuk hadir di dalam melindungi kepentingan warung rakyat, maka dukungan dari berbagai stakeholders sangat dibutuhkan dan bersinergi satu sama lain. Dalam konteks inilah LHKP PWM DIY berikhtiar untuk terus dapat memberikan dorongan dan melakukan gerakan-gerakan moral agar ekspansi toko modern semakin tidak meminggirkan keberadaan pasar tradisional dan juga warung-warung rakyat. Agar perjuangan penataan dan penolakan atas toko modern ini dapat lebih berhasil, maka sinergi antara kekuatan Muhammadiyah dan berbagai aktor lainnya adalah suatu keniscayaan. Dengan demikian diharapkan perjuangan ini akan lebih komprehensif dan terintegrasi
menjadi satu kesatuan sehingga memiliki “bargaining politics” lebih kuat di dalam melakukan advokasi kebijakan terkait kepentingan rakyat.
————————————–
David Efendi, Wakil Ketua LHKP DIY, Dosen Ilmu Pemerintahan UMY
Dr Hempri Suyatna, Fisipol UGM, LHKP PWM DIY