Oleh: Lutfi Effendi
Kyai Haji Ahmad Dahlan setiap subuh memberikan pengajaran pada murid-muridnya. Pada satu periode pengajarannya, berkali-kali KH Ahmad Dahlan mengajarkan tafsir surat Al-Maun, hingga berhari-hari tidak ditambah-tambah dan akhirnya menimbulkan gerakan Al Maun.
Saat itu Kyai Dahlan meminta santrinya pergi berkeliling mencari orang miskin. “Kalau sudah dapat, bawa mereka pulang ke rumah masing-masing. Mandikan dengan sabun yang baik, beri mereka pakaian yang bersih, berilah makan dan minum, serta tempat tidur di rumahmu. Sekarang juga pengajian saya tutup. Dan saudara-saudara silahkan melakukan petunjuk-petunjuk saya tadi.” Ujar Kiai Dahlan
KBaca KHA Dahlan Pelopor Tafsir Amali di Indonesia
Itulah gerakan Al Maun dimulai. Kyai Dahlan tidak hanya omong dan memerintah saja dalam hal gerakan ini, ia selalu di depan dalam menerapkan Al Maun. Ini dibuktikan tatkala ia mendapat surat dari Drijowongso, sosok yang tidak dikenalnya. Intinya ia yang saat itu di penjara minta tolong kepada Kyai Dahlan untuk membantu penghidupan anak isterinya yang tinggal di Porong Jawa Timur.
Meskipun Kyai Dahlan tak mengenal sosok Drijowongso yang dipenjara akibat pemogokan buruh, tetapi ia berniat untuk menolongnya karena alasan kemanusian dan semangat gerakan Al Maun. Kyai merasa perlu menolong orang yang kena musibah, apalagi orang tersebut telah minta tolong pada Kyai.
Kebetulan pada tanggal 20 November 1921, SI cabang Kediri mengundang HB Muhammadiyah Bagian Tabligh untuk menghadiri open barver gadering di tempat tersebut. Utusan HB Muhammadiyah terdiri dari K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin. K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin diundang oleh SI cabang Kediri karena dalam struktur CSI, keduanya menjabat posisi teras. Dalam memenuhi undangan tersebut, HB Muhammadiyah mengajak Siti Moendjijah, adik kandung Haji Fachrodin yang menjadi salah satu santri putri KH. Ahmad Dahlan.
Dari Kediri, utusan HB Muhammadiyah melanjutkan kunjungan ke Sidoarjo. Pada tanggal 23 November 1921, utusan HB Muhammadiyah menjemput anak dan istri Drijowongso di Porong (Sidoarjo). Drijowongso memberikan kepercayaan kepada HB untuk menjaga, mendidik, dan menghidupi anak dan istrinya selama dia dalam penjara (Magelang).
Dalam kasus yang hampir sama, saat ini Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendapat permintaan Suratmi (Istri Siyono yang tewas di tangan Densus 88) untuk memberi advokasi karena mendapat perlakuan yang kurang adil dari kematian suaminya. Tentu ini menjadi kewajiban PP Muhammadiyah untuk mengadvokasi Suratmi, terlebih Komnas HAM juga telah meminta kerjasama dalam hal ini.
Jadi sebagaimana Drijowongso yang bukan orang Muhammadiyah, Siyono yang bukan orang Muhammadiyah juga mendapat bantuan dari Muhammadiyah. Muhammadiyah dalam hal ini memberi pertolongan atas dasar kemanusiaan sebagaimana diajarkan KHA Dahlan dalam tafsi Al Maun.
Baca juga Pembelaan Muhammadiyah Terhadap Siyono Karena Alasan Kemanusian
Bedanya, kalau dalam kasus Drijowongso, Drijowongso sendirilah yang meminta tolong agar isterinya ditolong, Tetapi dalam kasus Siyono ini, isteri Siyono sendiri yang minta tolong karena memang suaminya sudah meninggal.
Jadi sebetulnya kasus Siyono ini bukan kasus tunggal yang ditangani Muhammadiyah. Sebelumnya sudah ada kasus-kasus serupa yang ditangani Muhammadiyah dalam sunyi dan tidak disoroti lampu media.
Memang sudah galibnya watak Muhammadiyah untuk menolong orang yang kesusahan. Ini merupakan pengamalan tafsir amali, tafsir amali dari surat Al Maun yang menimbulkan gerakan hingga saat ini. (***)