Oleh: Asep Purnama Bahtiar
“Aku cepat-cepat menutup mataku dengan kedua tanganku. Tapi aneh, jari-jariku bergeser sendiri dengan tenaga yang tak dapat kutandingi, sungguh, bergeser sendiri dengan tak terkendali. Aku dipaksa oleh diriku sendiri untuk mengintip dari sela-sela jariku. Kututup kembali jariku, tapi jari-jari itu melawan tuannya. Aku mengintip lagi. Aku malu dan merasa sangat bersalah pada Buya Kiai Haji Achmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah.” (Andrea Hirata, Sang Pemimpi, 2007: 98).
Apa makna kutipan tadi, dan apa kaitannya dengan judul tulisan ini? Sengaja rangkaian kalimat itu dipinjam, untuk menunjukkan bahwa betapa pendidkan yang menyentuh hati dan pembelajaran yang membangun jiwa, daya lekatnya bisa bertahan lama atau bahkan terus ada bersemayam sepanjang hayat. Karena itu pengaruhnya bagi warga didik luar biasa berkesan dalam kehidupan yang diarunginya di kemudian hari.
Itulah yang terjadi pada diri tokoh Ikal dalam novel Sang Pemimpi, yang telah menginjak masa-masa bersekolah di SMA. Ia dan kawan-kawannya harus menyaksikan dunia dan kehidupan yang lebih kompleks daripada ketika masih di sekolah Muhammadiyah. Dalam kutipan di atas tersirat pergulatan batin sang tokoh: antara menuruti rasa ingin tahu dan godaan untuk melihat poster film Indonesia yang tidak senonoh dengan rasa malu dan kesadaran moral yang melekat pada dirinya sebagai lulusan perguruan Muhammadiyah.
Tokoh ini—yang tak lain adalah sang penulis tetralogi novel itu—sebelumnya mengenyam pendidikan dasar di perguruan Muhammadiyah yang ada di Belitong. Dalam Laskar Pelangi, novelnya yang pertama, kita akan bisa ikut merasakan bagaimana dan seperti apa pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung di sekolah Muhammadiyah yang reot dan bocor itu, hingga bisa melahirkan lulusan yang terdidik akal budi dan jiwa-raganya.
Perguruan Muhammadiyah Sekarang?
Dalam novel yang pertamanya itu, bisa terasa berlangsungnya model pendidikan dan pola hubungan antara guru dengan anak-anak didiknya yang mampu membangun karakter. Anak-anak itu bukan saja memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan yang membebaskan mereka dari keterbelakangan, tetapi juga mendapatkan tumpuan dan jalan untuk memekarkan akal budi, emosi dan jiwanya. Keakraban hubungan antara guru dan murid serta pertemanan yang mengesankan, dengan tidak mengabaikan kesantunan dan kepatutan, telah menumbuhkan kelekatan dan sikap hidup yang penuh semangat untuk belajar dan menghargai hidup.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan perguruan Muhammadiyah sekarang? Masihkah model pendidikan yang membangun karakter itu terselenggara dalam seluruh jenjang perguruan Muhammadiyah, mulai tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi?
Tidak bisa dimungkiri, bahwa pendidikan karakter atau implementasi konsep pendidikan yang utuh dan otentik sudah lama hilang dari perguruan Muhammadiyah. Dikatakan sudah lama, karena fenomena yang memprihatinkan ini bukan terjadi akhir-akhir ini saja. Kritik dan gugatan atas kondisi seperti ini juga telah banyak mengemuka lebih dari setengah abad yang lalu.
Dalam Suara Muhammadijah No. 2/XXVI/1950, hlm. 14 ada tulisan menarik berkaitan dengan masalah ini. Saya kutipkan di sini sesuai dengan ejaan aslinya, “…Mdr/sek. (Madrasah/sekolah–Pen.) kini hanja seakan-akan merupakan tempat beladjar, tempat pemasak otak belaka. Didikan ruhani telah asing dari tempat-tempat itu. Guru jang mengadjar kebanjakkan bukan lagi seorang guru dalam arti sesungguhnja, melainkan semata-mata mendjadi seorang pengadjar belaka. Hubungan djiwa antara guru dan murid tiada ada sama sekali. Guru datang disekolah tiada lagi merasa akan mendidik djiwa, melainkan hanja terasa olehnja ada kewadjiban mengadjar belaka, dalam waktu antara setengah delapan pagi sampai djam satu siang. Demikian pula dari pihak murid hanja tergambar datang disekolah akan mengisi otaknja dengan bermatjam-matjam ilmu jang ditumpahkan oleh gurunja. Isi otaklah jang ditudju. Siapa jang akan mengisi, tiada pula penting baginja. Maka oleh karenanja djiwa anak2 (pemuda2) tetap kosong sunji dari didikan ruhani sepi dari perasaan tjinta kepada gurunja”.
Sekarang pun pendidikan yang diselenggarakan di perguruan Muhammadiyah banyak yang sama kasusnya dengan statemen di atas. Pendidikan yang berlangsung masih terbatas dalam konteks pengajaran saja, dan itu pun tidak optimal dalam memperkaya ranah kognitif warga didik. Sementara itu, pembinaan sikap dan kepribadian–misalnya dalam desain kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual—masih minim atau bisa jadi tidak termasuk bagian dalam kurikulum dan konsep penerapan sistem pendidikannya.
Bisa dikatakan, perguruan Muhammadiyah tidak ada bedanya dengan sekolah-sekolah lain atau perguruan-perguruan tinggi pada umumnya. Dari aspek materi pelajaran atau perkuliahan, hanya Al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang secara lahiriyah masih bisa dijadikan ciri khasnya. Lainnya tidak berbeda, atau sering dikatakan sebagai fotokopi buram dari sekolah atau kampus negeri.
Pandangan tersebut tentu tidak bermaksud menggeneralisir masalah, karena pendidikan karakter masih tersedia di sebagian kecil perguruan Muhammadiyah. Namun, karena masalah yang menjadi problem umum di sebagian besar perguruan Muhammadiyah itu berkaitan dengan kurangnya atau tidak adanya pendidikan karakter, maka itulah yang perlu mendapatkan prioritas perhatian secara seksama.
Urgensi Pendidikan Karakter
Seperti halnya yang menajdi keprihatinan bangsa kita dewasa ini, tentu alangkah strategis bila Muhammadiyah mengambil inisitif lebih dalam hal pendidikan karakter. Dengan melihat ekses dari problematika dunia pendidikan di negeri kita, dan juga mengingat kepentingan iternal Persyarikatan sendiri baik dalam hal kaderisasi melalui institusi pendidikan maupun dakwah bilhal, maka pendidikan karakter bukan saja penting tetapi juga sudah mendesak waktunya untuk diselenggarakan atau menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan di perguruan Muhammadiyah.
Secara leksikal, karakter bermakna sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; tabiat; watak. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989: 389). Dalam hal ini pendidikan karakter (character education), seperti yang pernah dikemukakan oleh Ratna Megawangi, adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan, dan tindakan.
Definisi lain menyebutkan, character education is an umbrella term generally used to describe the teaching of children in a manner that will help them to develop as personal and social being. Concepts that fall under this term include social and emotional learning, moral reasoning/cognitive develompment, life skills education, health education, violence prevention, critical thinking, ethical reasoning, and conflict resolution and mediation. (www.wikipedia.org)
Berdasarkan dua pengertian tersebut, tampak jelas bahwa pendidikan karakter membingkai kebutuhan tumbuh kembang warga didik sebagai pribadi yang utuh secara menyeluruh dan komprehensif, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial. Ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik; serta kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual dieksplorasi dan diaktualisasikan melalui pendidikan karakter sehingga mendorong warga didik untuk menjalani hidup dan memaknainya secara secara bertanggung jawab.
Karena itu, nilai dasar dan orientasi pendidikan karakter di perguruan Muhammadiyah perlu dirumuskan untuk memuliakan hidup dan kehidupan warga didik dan lingkungan sekitar atau—meminjam istilahnya Mochtar Buchori (2001)–ennobling life. Berlandaskan pendidikan karakter ini, maka orientasi yang bisa dibangun mengacu pada dua aspek yang bersifat mutual.
Pertama, membangun kesadaran bagi warga didik di perguruan Muhammadiyah bagaimana mereka belajar dan terdidik untuk menjadi diri-pribadi yang memiliki integritas dan karakter yang mulia (learning to be). Kedua, meneguhkan keyakinan dan sikap respek atas kehidupan yang tidak boleh mengabaikan kehadiran orang lain (learning to life together). Dua aspek inilah yang melengkapi kemauan untuk belajar dan beraktivitas, baik dalam aspek learning to know maupun learning to do.
Dalam penerapannya, pendidikan karakter di perguruan Muhammadiyah harus menyentuh basis pemahaman, kesadaran, kepedulian, dan tindakan nyata yang mencerminkan nilai-nilai kebajikan dan kemuliaan sebagai manusia. Bukan perkara gampang untuk mewujudkan pendidikan karakter tersebut di perguruan Muhammadiyah. Tetapi, dengan kesadaran dan komitmen bersama, maka pendidikan karakter itu akan bisa direalisasikan di setiap jenjang perguruan Muhammadiyah.
Untuk itu ada beberapa prinsip pendidikan karakter yang perlu digarisbawahi dan direspons secara aktif, sebagaimana pernah diajukan oleh Character Education Partnership (2003). Pertama, mempromosikan nilai-nilai etis sebagai dasar bagi karakter yang baik. Kedua, memberikan batasan karakter secara lengkap yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku. Ketiga, menggunakan suatu pendekatan yang komprehensif, intens, proaktif, dan efektif untuk pengembangan karakter. Keempat, menciptakan sebuah komunitas sekolah yang peduli. Kelima, menyediakan berbagai kesempatan bagi warga didik untuk melakukan tindakan moral. Keenam, melibatkan kurikulum akademik yang penuh makna dan menantang yang menghargai seluruh pembelajar, perkembangan karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses.
Semoga dengan menyadari arti penting pendidikan karakter di perguruan Muhammadiyah ini, maka upaya dan program Persyarikatan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi semakin bermakna dan menemukan basis dukungan yang autentik. Dengan demikian, warga didik dan alumni perguruan Muhammadiyah bisa menjadi sosok dan pribadi yang kuat, tegar, loyal, serta memiliki integritas dan committed—seperti Ikal dengan Laskar Pelanginya–sehingga dalam karier dan kehidupannya tidak gampang terseret ke dalam barisan koruptor, pelaku kriminal, aktor ketidakpatutan, dan rombongan narapidana.[]
*Penulis adalah Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.