CATATAN CATATAN LEBARAN

CATATAN CATATAN LEBARAN

Oleh: Mustofa W Hasyim

CATATAN LEBARAN 1961

Ayah masih agak kaya, berani mengundang tetangga

shalat tarawih di emper rumah,

gebyok jati masih kokoh jadi penahan dingin malam

ibu memasak jaburan, juga penganan bagi yang tadarus

setiap malam Jum’at, nasi gurih dalam bungkusan daun pisang.

 

Kabarnya, aku cukup nakal

suka naik ke punggung ayahku ketika jadi imam

dari atas pundak ayah, kupukuli kopiah teman kiri kanan

mereka tertawa riuh

akibatnya, sehabis shalat kakiku dicubit ganas

gaya paruh angsa menggigit putar daging, sakit bukan main

aku menangis, ibu tak membela.

 

Paling suka, setelah tanggal Selikur

ada lampu senthir atau lampion menerangi jalan kampung

berangkat ke Subuh aku tak takut,

walau lewat bawah kuburan Thokolan yang angker

indah bunyi sandal kayu yang bisa berpijar kalau dihentakan ke batu jalan

ada batu korek api bensin diselipkan di sana

 

Murid ngaji ayah ramai bertakbir di emper rumah, makan-makan

paginya, seluruh jamaah berkumpul di lorong kampung

berangkat bersama, bertakbir bersama, menuju lapangan Giwangan

sejauh satu kilometer jalan kaki

pulang dari tanah lapang, ayah mengajakku

menjelajahi jaring-jaring persaudaraan

dan persahabatan, sehari seluruh kota

hari berikut, keluar kota

jalan kaki, dengan gaya santri

 

“Kemana Yah?” tanyaku dengan kaki pegal

“Itu ke balik persawahan, tempat teman berjuang di zaman perang,

dia jadi penjahit di sana,” jawab Ayah.

“Lalu kemana lagi?”

“Ke rumah Wo Dul Raup di Salakan

dia masih saudara mbah buyutmu dari Karangkajen.”

capek, tapi senang juga kalau banyak suguhannya.

 

Hari raya, entah kenapa

kami demikian sibuknya.

      2008

CATATAN LEBARAN 1971

Mundur maju setrika kayu, besi berlubang baris, arang menyala

aku mengipasi waktu, baju baru, selesai dijahit ibu

Sehabis takbiran, lomba antaranak kampung, sisa suara masih meresap di telinga

juga luka, kenapa Siti lebih suka mendekat Ario anak juragan perak kuno?

Petasan seperti meledakkan telinga

Baju halus dilindas besi, nafas panas, serbuk abu, percik api

memancar sepi, gemeretak, mirip janji yang tidak ditepati

Ada rasa syukur sedikit menghibur, tahun ini aku dapat membelikan rokok

untuk ayahku, juga gula dan minyak untuk ibu,

uang persen sehabis mencari derma untuk masjid lumayan,

ada sarung masih dalam plastik, minyak rambut pomade

sedikit sisa untuk jajan di warung gule Lik Bahir  di bawah pohon beringin sana.

Bau brongkos menyergap, perkedel baru separo digoreng,

manisan dari Bulik sudah disimpan di almari.

Aku sempat membeli sebotol sirup tadi sore,

sekaleng roti buatan Semarang.

 

Ah, ini agama atau pesta?

 

2008

 

CATATAN LEBARAN 1981

 

Aku sudah merantau

dan makin mengenal jatuh cinta

 

dari pojok rumah sederhana di lembah Code

bersama teman, nonton pawai takbiran

di bekas kuburan Belanda, Kerkoff

yang berubah THR

 

kibaran obor, suara mengalir dari mulut-mulut mungil

membuatku menggigil

mereka akan menerangi kota

membuat gaduh kampung

dan menenteramkan rumah-rumah miskin

di sepanjang pinggir selokan

 

kerja di koran seperti dihajar waktu

suasana ini kutulis, juga bunyi khutbah esok hari

di lapangan Sewandanan

di hari raya, aku masuk kerja, membereskan halaman

yang ditinggal mudik redakturnya

menyempatkan diri menengok rumah calon mertua

dan aku baru bisa pulang

setelah malam hari

ketika Pak AR memberi pengajian di kampungku.

tentu saja, aku menyalami ayah, ibu dan saudaraku

lalu aku tidur di bagian timur rumah kelahiran.

 

Malam itu, aku bermimpi ketemu

dengan semua teman sepermainanku

termasuk teman yang telah tenggelam di muara Opak

ketika kemah dulu

aneh, wajah mereka semua bercahaya.

mungkinkah aku rindu?

tapi kenapa bukan kepada gadisku?

 

2008

 

CATATAN LEBARAN 1991

 

Ini adalah tahun yang mencemaskan

ada kabut di cakrawala

teman-teman menutup rekening di Bank Duta

mengambil habis semua pesangon dari koran tempat bekerja

 

untung, aku sudah diminta membantu kerja

di sebuah majalah purba

puasa, betapa pun pedihnya

masih ada yang dapat dimakan untuk berbuka

 

dua anakku sudah suka jajan,

malam

setelah tarawih mereka dijemput pulang.

 

untung ada kesibukan ringan

menjadi yuri lomba baca puisi

atau lomba apa saja

honor yuri tak seberapa, tapi bermakna

bagi rumah mungil yang kusewa,

kadang ditambah honor tulisan dari seberang kota.

 

tarawihku sendiri agak kacau

lebih sering di rumah, sendiri

mirip ayahku ketika jatuh miskin

menyukai doa panjang

 

shalat Id di bawah rimbun pepohonan kebun kampung

menyalami tetangga, para perantau yang tidak sempat pulang

lalu naik andong ke kota kelahiran

seperti masuk ke masa silam

ayah telah meninggal agak lama

rumah tua terasa makin keropos saja

ketemu paman bibi, tidak semua

dan aku tak mengerti

kenapa mulai terasa ada sepi

di tengah hari yang indah ini.

 

2008

 

 

CATATAN LEBARAN 2001

 

Ini sungguh suasana berbeda

isteriku ikut berjualan di pasar sore

untungnya lumayan

anakku tiga

riuh dan gaduh saat sahur biasa

saat berbuka

kelezatan tertata di meja

tinggal pilih yang mana

setup, kicak, caranggesing, tempe pedhes

ada beberapa potong daging rendang?

kadang sup segar masakan sendiri

 

Puasa, kadang diajak teman masuk ke pesantren

jauh, kota-kota di pesisir dan pedalaman

sibuk menanam kata agar berbuah kata

menggali buku dari balik cakrawala

dan aku mulai menulis novel

pengalaman hidup diberi bumbu

uangnya bisa untuk menambal anggaran

yang nyaris bocor setiap bulan

 

takbiran  sedikit lebih meriah

obor melawan lampu merkuri

teriakan takbir melawan klakson mobil

dan pawai menghadang orang yang memuja belanja

 

keluargaku mulai mengenal liku-liku Alun-alun Utara

tempat shalat bersama

suasana, khatib, rumput dan langitnya

berangkat dan pulang lewat lorong berbeda

di antara rumah kuno kusam

menyimpan sejarah bendera yang mulia

percakapan terhenti

ada yang perlu membeli makanan di pojok kampung

Menyalami tetangga, melaju ke masjid Pakualaman

menjelajahi penjual sate gajih dan jaringan penjual mainan,

makanan instan dan jajanan.

tak lupa, mengunjungi para simbah

di kampung –kampung terpisah

 

Hari Raya, makin terasa menjadi hari biasa

 2008

 

CATATAB LEBARAN 2011

 

Adalah hari-hari yang berbeda

Aku bisa lebaran bersama cucu

Menjadi kakek, mulanya terasa lucu

Aku teringat semasa kecil

Ketika Mbah Hasyim menggendongku

Dari rumahku ke rumahnya

Melewati sela rumah tetangga

Yang teduh oleh pohon jeruk nipis

Atau ketka aku mengajak anak sekampung

Pesta jambu air di kebun Mbah Kamim

Sehabis Asar, aku dimarahi dia

”Jamju didol kok dirayah!” katanya

Dengan berlari, sambil tertawa

Aku dan temanku kembali ke tanah lapang

Milik Mbah Kaji Anwar

Tempat kami meneruskan permainan sepakbola

Yang sempat tertunda

 

Aku teringat, suatu hari liburan

Keluargaku berkunjung ke Mbah Karangkajen

Yang  baru pulang naik haji

Aku diberi oleh-leh mank-manik

Dan kotak ajaib

Di dalamnya ada gambar kota Makkah –Medinah

 

Sebagai cucu, aku dulu jadi bahan mainan para simbah

Ayah ibuku bangga

”Ini cucu lelaki pertama dalam keluargaku
kata Ayah

Seorang pensiunan tentara yang terluka

Aku kini pun pensiunan Redaksi Pelaksana

Yang mudah-mudahan tidak terluka

Aku tidak mudah lagi terluka

Sebab sudah terlalu banyak luka

Mirip perihnya anak panah Baratayuda

Menancap di kulit Abimanyu

Satria yang dkorbankan

Agar perang menjadi lebih berwarna

 

Mulanya, ketika cucu diajak shalat Id

Di Alun-alun Utara yang terbuka

Sempat menangis

Bingung, dia di shaf neneknya

Melihat semua perempuan memakai mukena putih

Tahun-tahun kemudian biasa

Dia ikut dengan kakek, ayahnya dan para paman

Waktu ada khutbah,

Biasa, dia gelisah

Ingin segera pulang, makan-makan, jalan-jalan

 

Seorng cucu selalu bermata bening

Lebih-lebih di Hari Raya

Sukanya minum es jeruk

Padahal aku suka es campur

Dia suka bakso kuah

Aku suka mie ayam lengkap

Pestanya, di Alun-alun Sewandanan

Yang agak lama tidak ada jatilan dipertunjukkan

 

Kadang, menyusuri jejak rumah kontrakan dulu

Aku seperti diberi pelajaran

Mengatasi persoalan

Betapa derita bisa menjadi pemanis cinta

Sampailah, biasanya sore

Di Gedongkuning, di rumah seorang nenek yang ramah

Yang sangat terasa Jawanya

“Piye kabare? Apik-apik wae ta?”

 

Ya, yang baik-bak saja yang layak diceritakan

Di hari yang mulia ini

Makanan bisa manis, pedas  dan gurih, semua lezat

Minuman yang disuguhkan, selalu manis

Mungkin itulah makna hidup

Yang bisa dibagi ke isteri, anak, cucu.

2016

Exit mobile version