Cerpen: Achmad Munif
Setelah enam tahun menikah dengan Hardini, kami belum dikaruniai seorang anakpun. Sudah tak terhitung lagi kami periksa ke dokter ahli kandungan hasilnya selalu positif dalam arti kami berdua normal. Artinya kami bisa punya anak dan dokter selalu meminta kami bersabar. Kami memang selalu bersabar dan selama lima tahun itu kehidupan rumah tangga kami baik-baik saja. Kami tidak pernah menyesali karena belum punya anak. Hanya saja kami selalu direpotkan oleh omongan, rasanan, sindiran bahkan ejekan dari anggota keluarga besar yang lain. Kasihan Hardini, setiap pulang dari arisan keluarga atau pertemuan keluarga besar lainnya ia selalu menangis kalau sampai di rumah.
Dan aku benar-benar terkejut ketika menerima telpon dari Pakde Marwan. Aku diminta datang ke Surabaya. Ada urusan penting katanya. Tapi anehnya aku tidak boleh mengajak serta Hardini. Rasanya ini sesuatu yang tidak mungkin. Sebab isteriku paling gembira kalau diajak ke Surabaya. Sebab Hardini suka rujak cingur khas Surabaya. Lalu bagaimana aku harus mengatakan itu kepada isteriku? Tapi Allah menolong aku. Ketika aku bercerita tentang panggilan Pakde Marwan itu Hardini dengan cepat mengatakan.
“Tapi aku tidak bisa ikut lho Mas.”
Aku bersikap seolah-olah terkejut.
“Lho kok tidak bisa ikut?”
“Lha bagaimana Mas? Banyak pekerjaan yang harus aku rampungkan.”
Aku memutuskan ke Surabaya naik kereta saja dan Dini mengantar aku sampai stasiun Lempuyangan. Sepanjang jalan aku tidak bisa melepaskan pikiran apa maksud Pakde Marwan meminta aku datang tanpa boleh membawa isteriku. Dari stasiun Pasar Turi Surabaya, aku langsung ke rumah Pakde Marwan. Pakde Marwan dan Bude Lisa menyambut kedatanganku dengan ramah.
“Matur nuwun kowe gelem teko. Terima kasih kamu mau datang, Le.”
“Ya masak Pakde Marwan yang nimbali saya tidak mau datang Pakde? Bisa kualat nanti Pakde.”
Bude Lisa dengan cepat menyeret lenganku untuk masuk ke dalam dan mendorongku untuk duduk di sofa tamu. Pakde Marwan duduk di depanku. Bude Lisa masuk ke dalam dan tidak terlalu lama keluar lagi membawa minuman dan makanan kecil.
“Ngene lho Le. Begini lho Zan, Fauzan, Pakde sengaja mengundang kamu, karena besuk ada pertemuan keluarga, khusus mendiskusikan masalahmu. Besuk akan berkumpul Paklikmu Mahmud dan isterinya, Bulik Salamah, Kangmasmu Basori dan isterinya Susana. Datang juga Mbakyumu Suminah dan suaminya Basuki.”
Setelah meletakkan minuman dan makanan kecil di meja Bude Lisa duduk di samping Pakde. Bude Lisa dengan cepat menimpali kata-kata Pakde.
“Ngene lho Le, Fauzan, terus terang kita semua gelisah karena kalian belum punya anak. Kalau Pakdemu minta kamu datang tanpa isterimu itu memang disengaja. Lha besuk yang menjadi pembicaraan utama itu Hardini, kalau isterimu itu ada kan kasihan. Lha wong dia yang akan kita bicarakan.”
“Lho onten nopo to Bude? Lha Hardini itu baik-baik saja.”
“Jelasnya itu besuk saja kalau semuanya sudah ada di sini. Wis kono kowe ngaso disik.” Bude Lisa membawa aku ke kamar tamu. Kamar itu bersih dan sejuk karena ada AC yang dinginnya normal. Sekalipun demikian, aku tetap gelisah. Sedikit-sedikit aku sudah bisa menebak. Aku tidak tahu apa yang akan diputuskan mereka tentang aku dan Hardini. Mungkin mereka sudah mendengar kalau kami, aku dan Dini akan mengangkat anak.
Dan benar esuk harinya datang Paklik Mahmud dan isterinya Bulik Salamah, Kangmas Basori dan isterinya Mbakyu Susana. Datang juga Mbakyu Suminah dan suaminya Kangmas Basuki. Pertemuan dilaksanakan di ruang tengah rumah Pakde Marwan yang cukup luas. Aku merasa sangat kikuk karena merasa seperti terdakwa yang diadili dan Pakde Marwan yang akan menjadi Hakim Ketua. Sedang yang lain menjadi Jaksa, Pembela dan Panitera.
Hening beberapa lama, semua menunggu Pakde Marwan mengawali sidang. Bude Lisa memberikan isyarat agar suaminya segera memulai pembicaraan.
“Begini lho Zan, Fauzan langsung pada inti pembahasan ya?”
“Iya Pakde”.
Aku cepat menyahut karena aku sendiri ingin tahu maksud pertemuan yang sesungguhnya.
Pakde Marwan menarik nafas panjang kemudian dengan tenang dan berwibawa menatap wajahku.
“Begini, Zan, kami semua mendengar kamu akan mengangkat anak. Dan kami tidak setuju. Le, anak angkat itu bukan darah dagingmu. Dia adalah darah daging orang lain. Apakah kamu yakin darah daging orang lain akan mau berbakti kepadamu?”
Aku pandang wajah Pakde Marwan.
“Paklik Mahmud tiba-tiba mengangkat tangan
“Zan, Fauzan ingat kalian sudah enam tahun menikah. Sampai sekarang kalian belum punya anak. Pasti salah satu di antara kalian ada yang mandul.”
Bude Lisa langsung angkat bicara:
“Dan aku yakin yang mandul itu bukan kamu tapi Hardini. Dalam keluarga besar kita tidak ada satupun yang mandul, sedang di dalam keluarga isterimu ada dua yang tidak punya anak sampai tua. Jadi kesimpulannya isterimu yang mandul.”
Ketika aku mau bicara sudah keduluan Mbakyu Suminah.
“Ya, kamu harus punya anak dari darah dagingmu sendiri adikku, Fauzan. Ada cara lain. Misalnya kamu bercerai dengan Hardini dan mencari calon isteri yang subur. Atau kamu menikah lagi. Kan agama kita tidak melarang poligami to, Dik?”
Bagiku usul Mbakyu Suminah itu sangat keterlaluan dan kejam. Yah kejam terhadap Hardini dan tidak adil. Dan keduanya tidak akan dan tidak mungkin aku lakukan. Aku sangat mencintai Dini dan Dini mencintai aku dengan +sepenuh cinta. Kami sudah bertekad, kami akan berpisah kalau Allah yang memisahkan kami, kalau Allah berkenan memanggil salah satu dari kami.
Pakde Marwan memandang wajahku lekat-lekat.
“Piye Zan? Bagaimana dengan usul Mbakyu kamu itu?”
Aku menggeleng.
“Pakde, Bude, Paklik, Bulik, Kang Mas, Mbakyu, saya ingin bicara.”
Pakde Marwan mengacungkan jempolnya.
“Semua sesepuh yang saya hormati. Keluarga besar kita ini semua kan sejak dulu pengagum Mbah Dahlan?”
“Maksudmu Mbah Dahlan KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, Le?”
“Lha iya Pakde siapa lagi kalau bukan beliau.”
“Maksudmu apa kok kamu membawa-bawa nama Mbah Dahlan? Apa hubungannya dengan masalah kita ini?”
“Ngaten lho Pakde, Bude, Pak Lik, Bulik dan semuanya saja. Apakah njenengan semua tidak ingat pesan Mbah Dahlan dengan membacakan suratul Al-Maa’uun, bahwa kita harus peduli kepada anak yatim dan orang miskin? Kami itu bermaksud melaksanakan pesan Mbah Dahlan dengan mengangkat anak yatim yang sekaligus miskin untuk menjadi anak kami. Setelah saya dan Hardini mengkalkulasi kekuatan kami, kami bermaksud mengangkat 2 orang anak sekaligus, laki-laki dan perempuan.”
Semua yang di ruangan itu memandang aku tanpa berkedip. Paklik Mahmud angkat bicara.
“Kalian yakin benar, mereka akan berbakti kepada kalian seperti anak kandung.”
“Pakde Bude, Paklik, Bu Lik, dan semuanya yang hadir. Apa di sini tidak ada yang ingat firman Allah dalam Kitab Suci Al-Qur’an bahwa yang menjadikan anak kita itu, anak kandung atau angkat menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah orangtuanya yang mengasuh dan mendidik mereka dalam hal ini saya dan isteri saya.”
Semua yang hadir seperti tersihir kata-kataku. Pakde Marwan mengangguk-anggukkan kepala, Paklik Mahmud menarik nafas panjang, Bude Lisa, Bulik Salamah dan Mbakyu Suminah dan Mbakyu Susana saling pandang.
“Nyuwun sewu sedoyo mawon. Kami akan mendidik mereka seperti Luqmanul Hakim mendidik puteranya, seperti yang difirmankan Allah dalam suratul Luqman ayat 12 sampai 19. Akan kami didik mereka agar tidak musyrik. Akan kami didik mereka agar selalu bersyukur kepada nikmat Allah. Akan kami didik mereka agar tidak durhaka kepada orangtua. Akan kami didik mereka agar senantiasa bersabar menghadapi cobaan. Akan kami didik mereka agar selalu berbuat makruf dan menjauhi yang munkar. Akan kami didik mereka agar selalu rendah hati dan tidak sombong.”
Tiba-tiba ruangan menjadi hening lama sekali. Dan semuanya, Pakde, Bude, Paklik, Bulik, Kangmas, Mbakyu berebut untuk memeluk aku. Bude Lisa, Bulik Salamah dan Mbakyu Suminah dan Mbakyu Susana bergantian menciumi wajahku.
Dan paginya ketika meninggalkan Surabaya dan menuju Yogyakarta, aku bagaikan keluar dari kegelapan menuju cahaya terang “Minaz zulumaati ilan nuur” •
_______________
Achmad Munif, cerpen-cerpennya dimuat di media Jakarta dan daerah.